Perempuan Rentan dan Sistem Pertanian di Pedesaan

| Jum'at, 24/09/2021 17:06 WIB
Perempuan Rentan dan Sistem Pertanian di Pedesaan Luluk Nur Hamidah (Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PKB). (Foto: istimewa)

Oleh: Luluk Nur Hamidah, M.Si,.MPA

Perempuan memiliki posisi penting dalam lintas sektor. pengarus utamaan peran perempuan di dalam narasi pembangunan kerapkali didereduksi pada persoalan ruang-ruang publik yang erat kelindan dengan isu-isu di kawasan urban. Padahal jangkauan arus utama narasi gender tidak terbatas kerangka geografis tertentu. Hal itu berdasarkan pada hipotesis ‘keadilan gender hadir di semua ruang sepanjang problem kerentanan itu ada’. Keberadaan perempuan sangat signifikan bagi pertumbuhan pembangunan terutama di kawasan pedesaan yang erat kaitannya dengan corak produksi pertanian. Kendati demikian keberadaan perempuan selalu rentan dalam relasi sosial dan ekonomi.

Membincang posisi perempuan dalam sektor perdesaan merupakan tema yang sangat sepesifik dan tipikal. Di mana peran ganda perempuan kerapkali dijumpai. “Perempuan yang bekerja di luar rumah tidak berkurang beban pekerjaan rumah tangga dan pemeliharaan anggota keluarganya; perempuan yang memasak, mencuci, memandikan anak, mengurus suami; berangkat kerja setelah urusan-urusan rumah tangga diselesaikan terlebih dahulu, dan sepulang kerja melanjutkan pekerjaan serupa” (Ariane, 2014). Beban ganda perempuan, dalam prespektif gender, bukan lah sesautu yang ada dan hadir begitu saja. Bukan pula sebuah keniscayaan dalam perjalanan panjang sejarah manusia. Persoalan demikian bertaut dengan relasi sosial yang meniscayakan kontrol dan subordinasi terhadap posisi perempuan. Dalam ungkapan Beauvoir “One is not born a woman, but becomes one”.

Peran ganda yang ada pada perempuan kerapkali menjadi faktor yang signifikan dalam proses domestifikasi perempuan dari peran pentingnya untuk terlibat dan berpartisipasi di ruang publik. Hal ini akan kontras terlihat apabila, kita secara reflektiif-analitis membandingkan kehadiran perempuan dan laki-laki, khususnya dalam konteks pertanian di perdesaan. Kerentanan perempuan di pedesaan Indonesia, berlangsung dalam dua struktur sosial yang patriarkis. Pertama: sistem sosial yang dilanggengkan melalui bentuk-bentuk kebudayaan dan kosmologis yang mengindahkan peran laki-laki daripada peran perempuan. Kedua, sistem pembangunan negara Indonesia yang bercorak neo-liberal.  Keduanya bukan lah hal yang nisacaya terjadi dengan sendirinya, kedua hal tersebut merupakan produk manusia dalam perjalanansejarahnya. Akan tetapi, khusus tipikal perdesaaan sturktur sosial yang ditopang oleh agenda ekonomi-global lebih parah dan sangat signifikan bagi pembentukan status kerentanan bagi perempuan. Seperti yang dialami oleh kebanyakan petani di Indonesia saat ini akibat perombakan struktur pembangunan mengadopsi pendekatan yang sangat kapitalistik dan penetrasi yang diakibatkannya di wilayah pedesaan.

“Pada awal 1970an, Indonesia menjadi objek industri manufaktur dan pertanian pangan (beras), dan kemudian sejak 2000an Indonesia menjadi objek bagi industri ekstraktif (pertambangan dan perkebunan sawit). Masalah yang dihadapi petani dan nelayan perempuan saat ini berhubungan dengan terjadinya pemisahan ruang produksi dan reproduksi dalam ruang hidup mereka. Pemisahan itu terjadi setelah perusahaan-perusahaan TNC/MNC memperoleh konsesi dari pemerintah untuk mengeksploitasi sumberdaya alam stempat. Akibat pemisahan itu maka perempuan petani kehilangan sumberdaya alam untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari bagi anggota keluarga. Sementara bagi perempuan yang menjadi buruh (pabrik, perkebunan, rumah tangga, migran) mengalami eksploitasi waktu dan tenaganya” (Rahayu, 2017).

Seturut dengan itu, Developmentalism memberikan dampak langsung pada lanskap ekonomi pedesaan. Terutama aktivitas pertanian. Perubahan struktur pembangunan juga mengakibatkan timbulnya domestifikasi terhadap peran perempuan di perdesaan.

Revolusi Hijau dan rentannya posisi perempuan di pedesaan.

Di dalam masyarakat pedesaan perubahan struktur relasi sosial berubah secara tajam saat revolusi hijau berlangsung dengan massif. Hal itu dikarenakan terdapatnya kecenderungan pola modernisasi pertanian di dalam masa itu dan berlanjut sampai saat ini.  struktur sosial yang timpang ditengarai oleh dua aspek mendasar. Pertama, pendekatan sistem yang memperlihatkan dinamika berbagai faktor internal seperti lingkungan, teknologi, dan demografi dalam sistem agraris. Contoh kasus adalah hasil penelitian Geertz (1963). Dirinya “mengindentifikasi pengguanaan tanah yang terus meningkat melalui sistem irigasi yang canggih dan pola panen yang memiliki kapasitas yang relatif tinggi untuk menyediakan makanan bagi penduduk yang meningkat jumlahnya” (Saptari & Holzner, 1997). Hasil identifikasi Geertz kemudian dilanjutkan oleh Boserup (1970) untuk mengidentifikasi pola pertanian perempuan di Asia dan Afrika. Menurutnya di Asia rata-rata sistem pertanian didominasi penanaman dengan bajak merupakan sistem pertanian laki-laki. Kenyataan demikian di tunjang sistem sosial yang patriarkal, di mana secara partisipasi perempuan dalam kegiatan pertanian sangat rendah. Kedua, pendekatan model-model pengambilan keputusan: seperti kecenderungan pengelolaan lahan pertanian, ongkos produksi, dan sejenisnya lebih menojol peran petani laki-laki dalam setiap momen pengambilan keputusan.  Dala studi ini, kerap dijumpai bahwa perempuan pedesaan sedikit sekali berada dalam relasi yang setara.  Hal itu di karenakan perempuan tersubordinasi oleh pengukuhan konsep “tenaga kerja keluarga”.

Dampak revolusi hijau dengan karekter utamanya yaitu memaksimalkan peran teknologi terbarukan secara langsung memarjinalkan petani di pedesaan, khususnya perempuan. Penggunaan teknologisasi di bidang pertanian berimplikasi pada munculnya komoditisasi  bersar-besaran terhadap alat-alat produksi pertanian dan tenaga kerja pertanian (Saptari & Holzner, 1997). Seperti penerapan paket kredit benih, pupuk, dan pestisida tidak dapat diserap oleh petani miskin yang tidak mampu menjangkaunya. Shiva, seorang pemikir ekofeminis, melontarkan kritik pada penggunaan teknologi ini karena memiliki efek negative terhadap sistem ekologi dan perempuan yang memiliki pengetahuan besar tentang ekologi. Seperti kasus di India. Peran perempuan sebagai produsen utama yang berlangsung selama berabad-abad telah menguasai cara produksi tergantikan oleh teknologi dan penggunaan alat kimiawi lainnya. Keadaan semacam ini kemudian menimbulakn terputusnya mata rantai bahan genetik serta terpinggirkannya pengetahuan perempuan tentang bagaimana menanam secara hati-hati pada kondisi ekologis tertentu. Terpinggirkannya peran perempuan disebabkan oleh aktivitas penyuluhan pertanian yang cenderung di arahkan pada laki-laki berdasarkan asumsi petani lelaki merupakan produsen makanan yang utama sebagaimana paradigm pertanian modern. Secara perlahan, aktifitas komunalisme di pedesaan dipenetrasi dengan relasi gender yang timpang. Terdapat beberapa dampak revolusi hijau terhadap perempuan, Saptari & Holzner (1997):

a) Intensitas tenaga kerja untuk penanaman pada kondisi yang telah ada sebelumya
b) Persyaratan teknis objektif dari metode yang baru
c) Pembagian kerja secara seksual pada keadaan sebelumnya
d) Bentu-bentuk mekanisasi yang diperkenalkan
e) Kelas sosial perempuan.

Intesitas tenaga kerja penanaman yang rendah, meningkatkan waktu kerja perempuan. Sebaliknya, dalam intensitas tenaga kerja tinggi, kerja perempuan sering dikurangi dengan adanya mekanisasi (1997, p. 298). Selain itu, faktor lainnya yang sangat berpengaruh langsung terhadap peran perempuan adalah pembagian kerja secara seksual yang sangat spesifik:  membajak sawah menjadi pekerjaan laki-laki sedangkan mencangkul adalah aktifitas perempuan, pengendalian hama berupa penyemprotan pestisida dilakukan oleh laki-laki, sedangkan penyiangan dengan tangan dilakukan oleh perempuan.

panen dilakukan oleh keduanya. Ini lah contoh kasus keadaan di mana pembagian tugas dalam pertanian digantikan beradasarkan relasi gender yang berubah akibat modernisasi pertanian. Peran perempuan semakin terpinggirkan pada hal yang secara mendasar mekanis, kehilangan peran utamanya yang dapat mengontrol jalannya sistem pertanian dari hulu ke hilir. Sedangkan peran perempuan desa dan perdesaan tidak dapat dipisahkan sama sekali. Keduanya merupakan satu kesatuan. Pertama posisi perempuan yang sangat penting di dalam sistem pertaniana berbasis perdesaan. Kedua, pedasaan merupakan satu ekosistem yang tidak terpisahkan dengan alam. Sedangkan alam memiliki pertautan erat dengan perempuan.

“Salah satu akar ketimpangan yang dialami masyarakat pedesaan bersumber dari lemahnya akses dan penguasaan terhadap tata kelola lahan dan hutan. Bagi perempuan, ketimpangan ini bersilang sengkarut dengan diskriminasi berbasis gender seperti domestikasi perempuan. Domestikasi perempuan memperbesar hambatan akses perempuan terhadap tanah, sumber daya alam, informasi, hukum, dan politik. Data UN Women (2018) menemukan bahwa kepemilikan perempuan terhadap lahan pertanian kurang dari 13%. Sementara itu kebijakan reforma agraria di Indonesia, yang cenderung menguat dalam beberapa tahun terakhir, masih belum memasukkan perspektif keadilan gender. Akibatnya, kaum perempuan masih cenderung  diabaikan dalam kebijakan yang sedianya dapat memberi akses masyarakat terhadap lahan dan sumber daya alam” (Sigiro, 2019).

Kondisi demikian, melanggengkan cara pandang pembangunan yang ditempuh oleh pemerintah kurang memiliki empati terhadap keterlibatan perempuan.

Secara umum kondisi perempuan di pedesaan masih berkutat disektor pirvat: penanggung jawab atas pengasuhan keluarga dan anak, merawat rumah tangga, terpinggirkan dalam urusan ekonomi rumah tangga, dan cenderung dikecualikan dari ruang publik. Sampai saat ini, petani perempuan di pedesaan disubordinasi dengan pandangan sebagai “makhluk tanpa subjektivitas, tanpa agensi” (Sigiro, 2019). Padahal, hasil penelitian Sajogyo (1984) menujukkan bahwa perempuan memberikan kontribusi yang besar dalam ekonomi masyarakat maupun dalam kehidupan keluarga” (Yuwono, 2013). Tetapi tenaga produktif perempuan tidka berbanding lurus dengan alokasi sumber daya pertanian yang memberikan pilihan dan partisipasi yang setara berdasarkan gender. Seringkali, persoalan demikian, ketimpangan relasi gender, di pedesaan dianggap sebagai bukan masalah yang penting.

Pemerintah memadang ketertinggalan pembangunan desa adalah faktor utama yang menyebabkan pola pertanian di dalamnya tidak mengalami progress yang signifikan. Akhirnya, solusi yang ditawarkan semakin menimbulkan diskriminasi gender, seperti memaksimalkan industrialisasi di pedesaan yang menambah problem pokok dalam upaya penyelesaian kasus agraria, khususnya sistem pertanian di Indonesia.

 

*Anggota DPR RI Komisi IV FPKB Dapil Jateng IV, Sekjend KPPRI, Ketua DPP PKB Bidang Hubungan Internasional, Anggota Baleg DPR RI

 

Tags : Luluk Nur Hamidah , PKB , Pertanian , Perdesaan