Refleksi Satu Abad Nahdlatul Ulama

| Rabu, 01/02/2023 20:01 WIB
Refleksi Satu Abad Nahdlatul Ulama Umi Zahrok (foto: istimewa)

OLEH: UMI ZAHROK **

RADARBANGSA.COM - Peran politik umat Islam dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia menempati posisi mayoritas, tentu kepentingan umat Islam harus terakomodasi secara representatif sejauh tidak berbenturan dengan prinsip-prinsip kepentingan bangsa dan negara. Disisi lain, Ormas-ormas Islam yang sering tersudut dalam memperjuangkan aspirasi keislamannya tidak punya pilihan lain kecuali bersikap akomodatif, bila ingin menghindari ketegangan di masyarakat sebagaimana penglaman partai-partai Islam dulu telah memperjuangkan dalam Majlis Konstituante mengisyaratkan bahwa nilai-nilai ajaran Islam yang diidealkan tidak dapat sepenuhnya diterapkan di negara Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Hal inilah yang mendasari kesadaran umat Islam tentang pentingya menyesuaikan tuntutan ideal realitas sosial politik dengan pemangku kebijakan suatu bangsa. Penyesuaian sikap akomodatif inilah dalam pandangan kami sebagai warga Nahdliyin adalah sikap “Washatiyah “ (ambil jalan tengah).

Sikap “Washatiyah“ menunjukkan adanya interdependen antara pergerakan ormas Islam dengan kebijakan politik Negara sehingga menjadi seimbang antara kepentingan Negara dan kepentingan masyarakat dalam satu bingkai Negera Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika.

Pergerakan bangsa Indonesia memperjuangkan kemerdekaan 1945 tidak hanya menghadapai penjajahan secara fisik akan tetapi melalui gerakan spiritual-keagamaan dengan berdirinya Nahdlatull Wathan, Tashwirul Afkar, Nahdlatut Tujjar, dan pada 31 Januari 1926 di Surabaya pertemuan yang dihadiri para ulama dari Jawa dan Madura yang menghasilkan dua keputusan.

Pertama, mengukuhkan berdirinya Komite Hijaz dengan masa kerja sampai delegasi yang diutus menemui Raja Saud kembali ke tanah air. Kedua, membentuk organisasi sebagai wadah persatuan ulama dalam tugasnya memimpin umat menuju tercapainya cita-cita Izzul Islam wa al-Muslimin yang diberi nama Nahdlatul Ulama.

Pada tahun 1926, NU mengukuhkan dirinya sebagai jam’iyyah diniyyah, organisasi keagamaan dan tidak ada nuansa politik praktis dalam pergerakan NU. Namun NU sarat dengan pesan-pesan berdimensi politik, karena materi fiqih nya bersentuhan dengan politik karena basis NU adalah Pondok Pesantren yang mengajarkan kitab fiqih soal bab qodlo, imamah,  al-bughat dll serta kitab-kitab lainnya yang mengandung pendidikan politik. Hal ini pada akhirnya mempengaruhi sikap dan perilaku politik NU.

NU berkeinginan menjadi partai politik pertama kali pada Muktamar Menes 1938 ketika membahas perlunya NU menempatkan wakil dalam Dewan Rakyat (Volksraad) muncul usulan namun ditolak, sehingga secara formal NU tetap menjadi organisasi keagamaan, namun demikian tidak berarti NU tidak bersinggungan dengan hal-hal yang bersifat politis, misalnya pada tahun 1935, NU mengeluarkan keputusan berkaitan dengan pembelaan terhadap negara dari ancaman musuh dan pada 7 November 1945 bersama-sama organisasi Islam lainnya membentuk partai yang diberi nama Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia). Waktu itu NU menjadi anggota istimewa dan mendapat jatah kursi di Majlis Syuro Masyumi. Dan pada masa pemerintahan Jepang, NU menyatakan bahwa membantu Jepang dalam perang pasifik tidak wajib.

Dalam Muktamar Palembang tahun 1952 diputuskan bahwa NU keluar dari Masyumi. Hal ini disebabkan oleh sikap eksekutif partai yang tidak lagi menganggap Majlis Syuro sebagai dewan tertinggi. Meskipun secara formal Anggaran Rumah Tangga masih seperti semula tetapi pada praktiknya Majlis Syuro hanya dijadikan sebagai dewan penasehat yang keputusannya tidak mengikat, selain itu, kekecewaan NU dipicu oleh persoalan distribusi kekuasaan.

Setelah keluar dari Masyumi dan pada tahun 1952 menjadi partai politik yang berdiri sendiri, NU sibuk dengan persiapan pemilihan umum pertama tahun 1955. Waktu yang dimiliki NU untuk bertarung dalam Pemilu 1955 relatif pendek jika dbandingkan dengan partai-partai besar lainnya. Namun demikian NU berhasil meraih 18,4 persen suara (45 kursi), Partai Nasional Indonesia (PNI) mendapatkan 22,3 persen suara (57 kursi) dan Masyumi memperoleh 20,9 suara (57 kursi).

Kekacauan politik akibat semakin memburuknya ekonomi dan pertiakaian antar partai tidak dapat tertolong dengan keluarnya “Dekrit Presiden“ kemudian diikuti dengan pembubaran parlemen pada tanggal 5 Maret 1960 dan pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR). Pada babak ini NU menghadapi situasi yang cukup sulit. Pembentukan DPR GR melalui keputusan Presiden adalah hal yang tidak demokratis. Membiarkan negara tanpa lembaga perwakilan rakyat akan merugikan parta-partai Islam. Apalagi jika diingat, keputusan tersebut mendapat dukungan pratai-partai lain serta militer, maka melawan keputusan tersebut adalah hal yang tidak membawa keuntungan bagi umat Islam. Dengan mengacu kepada kaidah fiqih “Dar’ul Mafasid Muqaddamun ‘Ala Jalbil Masholih” yang menjelaskan bahwa manusia perlu menjauhi kemafsadatan terlebih dahulu daripada mengambil manfaat “ dan Irtikabu akhaffid dhararain wajib (memilih mudarat yg lebih kecil itu wajib).  akhirnya NU menerima keputusan Presiden, tetapi tetap mengusulkan diselenggarakannya pemilu untuk memilih DPR yang representatif.

Pada tahun 1965 meletus pemberontakan yang didalangi PKI. Peristiwa ini diikuti dengan Supersemar yang memberikan wewenang kepada Jendral Suharto untuk menegakkan ketertiban dan pemulihan kemanan. Peristiwa ini sekaligus menandai dimulainya babak baru sejarah perjalanan bangsa Indonesia yang disebut dengan Orde Baru.

Kemudian pada Pemilu 1971 Golkar dengan dukungan dari aparat pemerintah dan militer menang sangat mencolok dengan perolehan suara 62,80 persen atau 236 kursi DPR di tambah 100 kursi karya ABRI dan non ABRI yang diangkat. Dengan mengantongi 336 dari keseluruhan kursi 460 maka Golkar memiliki suara mayoritas mutlak.

Ketika berlangsungnya pemilu 1971 NU sebagai partai politik memiliki prestasi puncak, yakni dengan memperoleh suara sebesar 18,7%. Meski harus berhadapan dengan Golkar dan delapan partai politik lainnya, Partai NU berhasil meraih kemenangan sekaligus menempati posisi kedua, naik satu tingkat dari pemilu 1955.

Salah satu faktor naiknya perolehan suara NU adalah berakarnya basis Nahdliyin (warga NU) di pedesaan dan gencarnya kampanye yang dilakukan oleh para tokoh-tokoh muda NU seperti Subchan ZE, dkk. Namun setelah pemilu 1971, NU mulai menghadapi persoalan baru dengan pemerintah. Orde Baru memiliki kesimpulan bahwa sistem multi partai kurang menjamin terlaksananya pembangunan nasional. Konsekuensinya adalah perombakan tatanan politik harus segera dilakukan dengan cara melakukan pengelompokan partai.

Pada tahun 1973, Pemerintah Orde Baru mulai merampingkan jumlah partai-partai peserta pemilu. Dari sepuluh partai yang ada disederhanakan menjadi dua partai politik. Partai yang berazas nasionalis dan Kristen seperti PNI, IPKI, Partai Murba, Parkindo, dan Partai Katolik dilebur kedalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sedangkan partai-partai yang berazas Islam seperti Partai NU, Parmusi, Perti dan PSII dilebur ke dalam tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Golongan karya (Golkar) tidak diakui sebagai partai politik, namun diizinkan menjadi salah satu kontestan pemilu.

Setelah pengelompokan partai menemukan formatnya, maka dikeluarkanlah UU Nomor 3 tahun 1975 tentang partai politik dan Golongan Karya, yang menetapkan kehidupan politik di Indonesia hanya diikuti oleh dua partai politik, yaitu PPP, PDI dan satu Golkar.

Setelah terjadi fusi partai politik pada tahun 1973, posisi NU dalam tubuh PPP mengalami beragam persoalan dan memasuki fase yang cukup sulit. Setelah melalui perundingan intensif empat partai Islam ; NU, Parmusi, PSII dan Perti sepakat melakukan fusi yang dituangkan dalam deklarasi tanggal 5 Januari 1973. Deklarasi tersebut menyatakan bahwa keempat partai Islam telah sepakat untuk memfusikan diri politiknya dalam suatu partai politik yang diberi nama Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Segala kegiatan non politik tetap dikerjakan dan dilaksanakan organisasi masing-masing.

Fusi parta-pratai Islam pada awalnya menguntungkan NU, karena fusi itu dilakukan tatkala NU berhasil memperoleh suara yang jauh di atas partai-partai lain. Pada pemilu 1971, NU memperoleh 18,4 persen, Parmusi 6,3 pesen, PSII 2,3 persen dan Perti 0,7 persen. Meskipun NU memperoleh suara mayoritas namun jabatan ketua umum Dewan Pimpinan Pusat dipegang orang non NU.

Pada tahun 1975 Dewan Partai PPP mengadakan sidang dengan mengambil keputusan yang dikenal dengan “Konsensus 1975”. Dalam konsensus 1975 disepakati distribusi kekuatan antar unsur partai sesuai dengan perimbangan yang dihasilkan dalam pemilu 1971. Tetapi ketika PPP dalam pemilu 1977 mendapat tambahan 5 kursi justru jatah NU dikurangi.

NU sebagai organisasi sosial kegamaan sejak Muktamar ke-23 tahun 1962 di Solo. Ada dua alternatif yang ditawarkan pada waktu itu; Pertama, mengembalikan NU sebagai organisasi sosial keagamaan dan menyerahkan kepada politisi NU untuk membentuk wadah baru sebagai partai politik yang menggantikan kedudukan NU. kedua, membentuk semacam biro politik dalam NU. Biro ini berada dalam struktur NU yang mengurusi soal-soal politik. Namun gagasan ini tidak mendapat tanggapan peserta Muktamar.

Dalam Muktamar 1971 di Surabaya gagasan untuk mengembalikan NU sebagai organisasi sosial keagamaan tidak mendapat perhatian peserta. Pada Muktamar ke 26 tahun 1979 di Semarang gagasan itu memperoleh dukungan kembali ke bentuk jam’iyah dirumuskan sebagai usaha menghidupkan kembali bidang garapan NU yang non politik yang selama ini terbengkalai, seperti kepemudaan, kebudayaan, buruh, tani dan nelayan, kaderisasi dan bidang pembentukan kepribadian. Akan tetapi keputusan Muktamar tidak menyinggung bagaimana hubungan NU dengan PPP. Hal ini dapat diartikan bahwa sampai Muktamar ke 26 NU masih berafiliasi dengan PPP.

Keputusan Muktamar Semarang menunjukkan tidak adanya kesamaan pandangan di kalangan NU tentang hubungan NU dan PPP. Namun ada arus kuat yang menghendaki agar NU melepaskan diri dari PPP jika ingin kembali kepada semangat jiwa 1926 waktu pertama kali NU didirikan. Namun arus tersebut menghadapi tembok kokoh karena kepengurusan formal NU masih dikuasai orang-orang yang punya kecenderungan politik praktis. Akan tetapi ketika konflik dalam PPP memuncak antara NU dan kelompok lain, terutama MI, serta rasa kecemasan karena tekanan-tekanan politik pemerintah dan aparat-aparatnya di tingkat bawah, maka keinginan untuk merealisasikan gagasn kembali ke bentuk organisasi sosial keagamaan semakin mudah. Dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama NU tahun 1983 di Situbondo dan dikukuhkan dalam Muktamar 1984 di tempat yang sama, NU menyatakan kembali ke Khittah 1926 dan secara organisasi melepaskan diri dari ikatan organisasi politik. Dengan kata lain Muktamar NU memutuskan bahwa NU tidak lagi berafiliasi dengan PPP.

Di era Reformasi, muncul lagi keinginan warga NU kembali berpolitik praktis, pada tanggal 3 Juni 1998, PBNU mengadakan Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah, Forum ini menghasilkan keputusan untuk membentuk Tim Lima yang diberi tugas untuk memenuhi aspirasi warga NU.

Tim Lima diketuai oleh KH. Ma`ruf Amin (Rais Suriyah PBNU), dengan anggota, KH M Dawam Anwar (Katib Aam PBNU), Dr KH Said Aqil Siroj, M.A. (Wakil Katib Aam PBNU), HM Rozy Munir,S.E., M.Sc. (Ketua PBNU), dan Ahmad Bagdja (Sekretaris Jenderal PBNU). Tim Lima itu dibekali Surat Keputusan PBNU. Dan pada tanggal 20 Juni 1998 Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah PBNU keluarlah Surat Tugas kepada Tim Lima “

Selain itu, dibentuk Tim Asistensi yang diketuai oleh Arifin Djunaedi (Wakil Sekjen PBNU) dengan anggota H Muhyiddin Arubusman, H.M. Fachri Thaha Ma`ruf, Lc., Drs. H Abdul Aziz, M.A., Drs. H Andi Muarli Sunrawa, H.M. Nasihin Hasan, H Lukman Saifuddin, Drs. Amin Said Husni, dan Muhaimin Iskandar. Tim Asistensi bertugas membantu Tim Lima dalam mengiventarisasi dan merangkum usulan yang ingin membentuk parpol baru yang dapat mewadahi aspirasi poitik warga NU.

Pada tanggal 22 Juni 1998 Tim Lima dan Tim Asistensi mengadakan rapat untuk mendefinisikan dan mengelaborasikan tugas-tugasnya, dilanjutkan tanggal 26 - 28 Juni 1998 mengadakan konsinyering untuk menyusun rancangan awal pembentukan parpol menghasilkan lima rancangan, yaitu Pokok-pokok Pikiran NU Mengenai Reformasi Politik, Mabda` Siyasi, Hubungan Partai Politik dengan NU, AD/ART dan Naskah Deklarasi.

Pada 29 Rabiul Awal 1419 H atau 23 Juli 1998, Gus Dur bersama KH Munasir Ali, KH Ilyas Ruchiyat, KH A. Mustofa Bisri serta KH A. Muchith Muzadi, proses deklarasi pun dilaksanakan di Jakarta.

PKB sudah lahir, dan telah memberikan SDM-SDM terbaik untuk bangsa Indonesia, turut ambil bagian dalam pengambilan keputusan politik bersama Presiden dan Pemerintah. Bahkan telah mengantarkan Gus Dur sebagai Presiden tahun sejak 20 Oktober 1999 hingga Sidang Istimewa MPR 2001 dan KH. Ma'ruf Amin sebagai Wakil Presiden 2019-2024.

Pemilu 2024, Insya Allah PKB akan mendorong Abdul Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa sebagai Calon Presiden Republik Indonesia periode 2024-2029 sesuai amanat Muktamar VI PKB di Nusa Dua Bali tahun 2019, dan meninggalkan posisi partai tengah ke partai papan atas. Wallahu’alam. 

**Umi Zahrok merupakan Anggota Fraksi PKB DPRD Provinsi Jawa Timur   

Note: segala isi dalam tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Tags : Satu Abad NU

Berita Terkait