Harga Minyak Diprediksi Tetap Tinggi Hingga Tahun Depan, Ini Pemicunya

| Jum'at, 10/06/2022 11:42 WIB
Harga Minyak Diprediksi Tetap Tinggi Hingga Tahun Depan, Ini Pemicunya Kilang Minyak (Doc: Istimewa)

RADARBANGSA.COM - Harga minyak diperkirakan tetap tinggi sepanjang tahun berjalan tahun 2022 ini.

Goldman Sachs memperkirkan rata-rata harga minyak Brent pada semester II-2022 hingga semester I-2023 akan berkisar USD135 per barel.

Menurut Komisaris Utama PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS), Arcandra Tahar sekiranya ada 5 faktor yang mendorong harga minyak dunia tetap tinggi hingga tahun 2023 mendatang.

Pertama, perang Rusia-Ukraina telah menyebabkan pasokan minyak ke pasar global berkurang. Rusia mendapat sanksi untuk tidak mengekspor minyak mentahnya. Selama ini Rusia memasok sekitar 11% kebutuhan minyak dunia, sekitar 4% digunakan untuk ekspor ke negara lain. 

Menurut Arcandra, terhentinya ekspor minyak Rusia akan menjadi persoalan karena tidak mudah untuk menghentikan produksi dari lapangan yang sedang berproduksi. Ketika sebuah lapangan dihentikan operasinya, selain butuh biaya mahal untuk memulai kembali kegiatan produksi, kemungkinan produksi minyak turun sangat terbuka. Inilah yang menjadi tantangan Rusia saat ini. 

"Dapat dibayangkan ketika nanti krisis Rusia-Ukraina berakhir, produksi minyak Rusia bisa anjlok sementara kebutuhan minyak meningkat, maka harga minyak dunia bisa lebih tidak terkendali lagi," ujar Arcandra.

Kedua, berkurangnya produksi minyak di negara-negara berkembang terdampak kebijakan perusahaan minyak AS yang mengkonsolidasikan asetnya ke dalam negeri dan juga kebijakan dekarbonisasi yang membuat ongkos produksi jadi naik. Beberapa proyek migas milik Chevron, Exxon dan ConocoPhillips di banyak negara berkembang dijual. 

Akibat konsolidasi perusahaan minyak AS, produksi minyak di lapangan yang mereka tinggalkan akan menurun. Peralihan ke operator baru tidak serta merta akan mampu menjaga produksi minyak tetap sama. Faktor kemampuan manusia, teknologi dan dana akan sangat menentukan.

Ketiga, strategi Uni Eropa yang beralih ke Renewable Energy mengakibatkan banyak lapangan migas di Laut Utara yang mestinya masih bisa ditingkatkan produksinya dibiarkan beroperasi apa adanya. Mahalnya biaya untuk mendapatkan lapangan eksplorasi juga mengakibatkan sangat rendahnya minta investasi untuk melanjutkan laju produksi minyak di lapangan Laut Utara. Kondisi ini diperparah oleh semakin susahnya mendapatkan akses pendanaan dari lembaga keuangan dunia dan investor yang secara ketat mensyaratkan ESG (Environmental, Social and Governance) yang lebih terencana. 

Faktor keempat adalah belum terwujudnya harapan akan berkembangnya kendaraan listrik (EV) yang secara cepat untuk menggantikan kendaran berbahan bakar fosil. Banyak hal yang menjadi penyebab kenapa penetrasi EV belum bisa masif. Beberapa diantaranya adalah terbatasnya raw material untuk baterai, pembangunan charging station yang masih terbatas dan kekurangan chip yang sangat dibutuhkan untuk komponen elektronik mobil listrik.

Faktor kelima, persaingan antara pemenuhan kebutuhan pangan atau kebutuhan energi untuk biofuel. Akibat perang Rusia-Ukraina, bahan dasar untuk produksi biofuel dialihkan untuk pangan, biofuel yang diharapkan akan menggantikan fossil fuel belum bisa sepenuhnya diandalkan. 

"Akibatnya kebutuhan dunia ke depan akan fossil fuel akan tetap tinggi. Ini tentu akan mendorong harga minyak dunia naik," tutup Arcandra.

Tags : Harga minyak , brent , wti

Berita Terkait