Menggali Solidaritas dalam Ranah Sufisme

| Senin, 19/11/2018 21:55 WIB
 Menggali Solidaritas dalam Ranah Sufisme Ilustrasi (doc. nu.or.id)

Oleh: Ainur Rasyid*

RADARBANGSA.COM- Selama ini, masih banyak yang beranggapan bahwa, dunia sufi adalah dunia yang mementingkan egoisme dalam mendaki ranah spiritual yang memabukkan. Dalam Islam para penggiat sufi merupakan mistikus. Diyakini setiap muslim yang jujur terhadap apa yang mereka yakini, akan bisa melihat Tuhan setelah mati, tetapi dalam hal ini para sufi adalah orang yang tidak sabar untuk itu. Mereka menginginkan Tuhan sekarang juga —waktu dami waktu, hari demi hari dalam kehidupan ini. Ketika hal ini terjadi, maka mereka yang sudah terlena dengan spiritualnya akan sulit untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesamanya dan akan melupakan bahwa dirinya dicipta untuk bersosial dengan sesamanya.

Anggapan seperti ini, coba dirumuskan Oleh Syekh Muzaffir, seorang guru sufi Modren. Pendekatan sufi dirumuskan dalam ungkapan “Biarlah tanganmu sibuk dengan tugas-tugasmu di dunia dan biarkan hatimu sibuk dengan Tuhan” Jalan sufi bukanlah jalan untuk meninggalkan diri dari dunia, tetapi sebuah jalan dalam mencari Tuhan, sementara pada saat yang sama dirinya tetap aktif berada didunia.

Ketertarikan dalam dunia menyediakan kesempatan-kesempatan lagi pertumbuhan spiritualitas, peluang untuk menerapkan cinta, kesadaran, kemurahan hati, dan ketakterikatan. Dalam setiap tradisi spiritual yang hidup, ada banyak laku sebanyak latihan fisik dan jenis-jenis peralatan pada sebuah kelompok kesehatan. Mereka yang telah mencapai beberapa tingkatan pencerahan akan selalu merasakan kebutuhan untuk melampaui orang lain, dimana laku mereka telah terbukti bermamfaat untuk pertumbuhan diri mereka. Dan berimplementasi kepada keramahan dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan sesama.

James Fadiman & Robert Frager Al-Jerrahi, dalam buku yang berjudul Nyanyi Sunyi Seorang Sufi (2007) menjelaskan bawah sebuah jalan sufi, “matilah sebelum mati” inilah ungkapan sebagai interpretasi, seharusnya manusia belajar mengenai apa yang akan ditujukan pada saat kematian, sementara kamu masih punya waktu untuk mengambil maamfaat dari pengetauan itu.

Di abad yang serba canggih ini, manusia dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok. Pertama,manusia yang memanjakan akal, dan kedua, manusia yang manafikan akal. Dua kelompok ini, saat ini sulit untuk disatukan. Manusia yang sudah dimabukkan oleh akalnya, akan sulit menerima sesuatu yang bersifat intuitif, begitu sebaliknya manusia yang mengabaikan akalnya.

James Fadiman & Robert Frager Al-Jerrahi  member pijakan seorang untuk menerapkan rasa kecintaannya, baik cintanya yang bersifat kedunian atau yang bersifat ukhrawi. Kedua pemahaman berbada yang sudah menemukan titik temu antara orang yang sering memanjakan akal dan orang yang sering menafikan akal dan bagaimana dua persepsi ini bisa dipadukan dan membentuk sebuah kekuatan cinta yang menembus kekuatan nalar.

James Fadiman dan Syekh Ragip Robert Frager al-jerrahi, tampak begitu lihai dan jeli untuk menyajikan dan mempertemukan dua kelompok tersebut, yang berhasil mereka gali ini demi menjelaskan pilar-pilar sufisme yang sebenarnya. Ini pun ditegaskan oleh R.A. Nicholson, sufisme ada dan berkembang dalam setiap tradisi agama, terutama agama-agama yang bersar (Islam, Nasrani, dan Yahudi). Dan yang lebih penting lagi, paradigma sufisme dalam memandang nilai-nilai adalah universal. Sufisme menggali nilai-nilai dari mana saja, siapa saja, dan apa pun. Tidak harus mengabaikan orang yang ada disekeliling kita, meski mereka tidak sepaham.

Seorang untuk menjadi sufi atau meningkatkan spiritualitasnya tidak harus bertapa selama beberapa hari atau lari dari keramaian, kemewahan dunia seperti yang terjadi dari sufi terdahulu, untuk membuka tabir penghalang dengan Sang Maha Pencipta, harus berlari dengan tergopoh-gopoh kebukit untuk mencari tempat kesunyian, hanya untuk mengiramakan dzikirnya, dan untuk bersenda gurau bersama Sang Maha Pencipta. Yang terpentinga disini bagimana kita tidak mementingakan ego keakuannya untuk membawa kepangkuannya. Tapi yang terpenting disini, bertindak untuk membawa manusia lain untuk juga ikut merasakan keindahan Sang Maha Pencipta.

Untuk pijakan kehidupan, tidak boleh tidak kita harus belajar dari sejarah, akan tetapi tidak berarti kita harus mengulang kembali sejarah yang sudah terjadi. Banyak sejarah sufi yang dapat kita jadikan pijakan untuk mendaki ranah spritualitas yang lebih tinggi. Akan tetapi tidak menjamin seseorang dapat menyanyikan irama dzikirnya dengan baik. Situasi ketika sejarah itu terjadi tidak akan sama dengan situasi ketika kejadian atau carita sudah menjadi sejarah. Yang terpentinga disini bagaimana kita mengulah kembali sejarah-sejarah demi pegangan untuk menata hidup yang lebih aktif, dan meningkatkan solidaritas.

   *Ainur Rasyid, Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tags : Solidaritas , Dunia Sufisme , Maulid Nabi

Berita Terkait