Status Kesucian Rontokan Bulu Kucing, Najis atau Tidak?

| Kamis, 23/09/2021 13:57 WIB
Status Kesucian Rontokan Bulu Kucing, Najis atau Tidak? Status Kesucian Bulu Kucing (foto:radarbangsa/neli)

RADARBANGSA.COM - Bagian tubuh yang terpisah dari hewan suci yang masih hidup maka status suci atau najisnya sama seperti status dari hewan tersebut yakni suci. Berbeda hal dengan pootngan hewan yang najis seperti bangkai atau babi yang jelas kenajisannya, maka bagian tubuh hewan tersebut dihukumi najis. 

مَا قُطِعَ مِنْ حَيٍّ فَهُوَ مَيِّتٌ  

“Sesuatu yang terpisah dari hewan yang hidup, maka statusnya seperti halnya dalam keadaan (menjadi) bangkai” (HR Hakim).  

Melansir NU Online, ketika bagian tubuh yang terpotong adalah rambut atau bulu dari hewan. Status rambut atau bulu yang terputus dari bagian hewan tidak langsung dihukumi sama seperti bangkai dari hewan tersebut, tapi terdapat perincian: jika bulu yang rontok berasal dari hewan yang halal untuk dimakan maka dihukumi suci. Seperti bulu yang rontok dari ayam, kambing, sapi, dan hewan-hewan lain yang dagingnya halal dikonsumsi. Sedangkan jika bulu yang rontok berasal dari hewan-hewan yang tidak halal dimakan dagingnya maka bulu tersebut dihukumi najis. Seperti bulu yang rontok pada hewan tikus, anjing, keledai, atau hewan-hewan lain yang dagingnya haram dimakan.

Lantas bagaimana dengan bulu rontok kucing, yang merupakan hewan yang haram jika dimakan?.

Para ulama tetap mengkategorikan bulu yang rontok dari kucing  sebagai benda yang najis. Meski demikian, najis tersebut dihukumi ma’fu (ditoleransi, dimaafkan) ketika dalam jumlah sedikit. Ditoleransi pula dalam jumlah banyak, khusus bagi orang-orang yang sering berinteraksi dengan kucing dan sulit menghindari rontokan buli kucing, misal bagi dokter hewan dan petugas salon kucing yang kesehariannya selalu berinteraksi dengan kucing. Ketentuan hukum ini seperti yang teringkas dalam kitab Hasyiyah al-Baijuri ala Ibni Qasim al-Ghazi:    

(وما قطع من) حيوان (حي فهو ميت الا الشعر) اى المقطوع من حيوان مأكول وفى بعض النسخ الا الشعور المنتفع بها فى المفارش والملابس وغيرها (قوله المقطوع من حيوان مأكول) اى كالمعز مالم يكن على قطعة لحم تقصد او على عضو ابين من حيوان مأكول والا فهو نجس تبعا لذلك وخرج بالمأكول غيره كالحمار والهرة فشعره نجس لكن يعفى عن قليله بل وعن كثيره فى حق من ابتلى به كالقصاصين

“Sesuatu yang terputus dari hewan yang hidup, maka dihukumi sebagai bangkai, kecuali rambut yang terputus dari hewan yang halal dimakan. Dalam sebagian kitab lainnya tertulis ‘kecuali rambut yang diolah menjadi permadani, pakaian, dan lainnya.’   Rambut yang terputus dari hewan yang halal dimakan ini seperti bulu pada kambing. Kesucian rambut ini selama tidak berada pada potongan daging yang sengaja dipotong, atau berada pada anggota tubuh yang terpotong dari hewan yang halal dimakan. Jika rambut berada dalam dua keadaan tersebut maka dihukumi najis, sebab mengikut pada status anggota tubuh yang terpotong itu. Dikecualikan dengan redaksi ‘hewan yang halal dimakan’ yakni rambut atau bulu hewan yang tidak halal dimakan, seperti keledai dan kucing. Maka bulu dari hewan tersebut dihukumi najis. Namun najis ini dihukumi ma’fu ketika dalam jumlah sedikit, bahkan dalam jumlah banyak bagi orang yang sering dibuat kesulitan dengan bulu tersebut, seperti bagi para tukang pemotong bulu” (Syekh Ibrahim al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri ala Ibni Qasim al-Ghazi, juz 2, hal. 290).   

Salah satu hal yang ditimbulkan dari status najis ma’fu pada bulu yang rontok dari kucing adalah ketika bulu kucing ini mengenai air yang kurang dari dua kullah, maka air tersebut tidak dihukumi najis dan tetap dapat dibuat untuk bersuci. Hal ini seperti dijelaskan dalam kitab Fath al-Wahab:

(و لا بملاقاة نجس لا يدركه طرف) أي بصر لقلته كنقطة بول (و) لا بملاقاة (نحو ذلك) كقليل من شعر نجس  

“Air tidak najis sebab bertemu dengan najis yang tidak dapat dijangkau oleh mata, karena sangat kecilnya najis tersebut, seperti setetes urin. Dan juga dengan bertemu najis yang lain, seperti terkena bulu najis yang sedikit” (Syekh Zakariya al-Anshari, Fath al-Wahab, juz 1, hal. 28)  

Sedangkan hal yang menjadi tolak ukur dalam membatasi sedikit banyaknya jumlah bulu yang rontok dari kucing adalah ‘urf (penilaian masyarakat secara umum). Jika orang-orang menyebut bulu kucing yang telah rontok dianggap masih sedikit, seperti dua atau tiga bulu, maka dihukumi najis tersebut ma’fu.

Sedangkan ketika mereka menganggap bulu yang rontok banyak, maka dihukumi najis yang tidak dima’fu, kecuali bagi orang-orang yang sulit menghindarinya.   Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa rontokan bulu kucing merupakan najis yang ditoleransi (ma’fu) selama masih dalam jumlah yang sedikit, dan najis yang tidak ditoleransi ketika dalam jumlah banyak, kecuali bagi orang yang sering dibuat kesulitan dengan banyaknya bulu rontok yang bertebaran di sekitarnya.  



 

Tags : Bulu Kucing , Najis dan Suci , Najis Mafu

Berita Terkait