HNW: Istilah Subsidi Haji dan Bantuan Sosial Tak Sesuai UU

| Jum'at, 29/04/2022 19:15 WIB
HNW: Istilah Subsidi Haji dan Bantuan Sosial Tak Sesuai UU Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (foto Humas MPR RI)

JAKARTA - Wakil Ketua MPR-RI sekaligus Anggota Komisi VIII DPR-RI membidangi urusan agama dan sosial, Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid, MA, mengkritisi penggunaan istilah subsidi haji dalam pengelolaan keuangan haji dan istilah bantuan sosial dalam program penanganan fakir miskin. HNW sapaan akrab Hidayat Nur Wahid menegaskan bahwa kedua istilah tersebut tidak terdapat dalam UUD NRI 1945 maupun UU terkait. Karena itu, pemakaian istilah subsidi haji dan subsidi sosial berpotensi memunculkan salah persepsi. Seolah-olah Negara mensubsidi jemaah untuk biaya naik haji dan membantu Rakyat. Sehingga mengesankan hubungan yang timpang antara negara dan rakyat. Padahal sejatinya uang yang dibayarkan untuk biaya ibadah haji adalah dana jemaah haji sendiri bukan dari APBN. Dan sesuai Pembukaan UUDNRI 1945, negara memang berkewajiban (bukan sekedar membantu) untuk melindungi seluruh Rakyat Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum. 

“Seharusnya salah kaprah penggunaan istilah “subsidi haji” dan “bantuan sosial” dikoreksi. Dan diganti dengan istilah lain yang lebih sesuai dengan UU dan fakta lapangan. Misalnya bisa digunakan istilah "distribusi nilai manfaat” untuk pengelolaan keuangan haji dan istilah “jaminan sosial” serta “transfer tunai” untuk program penanganan fakir miskin,” disampaikan Hidayat dalam keterangannya di Jakarta, Jum’at (29/4/2022).

HNW yang juga Wakil Ketua Majelis Syura PKS ini menilai, penggunaan istilah subsidi dalam biaya penyelenggaraan ibadah haji yang masih digunakan dalam keterangan terbaru BPKH (25/4/2022) berakar dari ketidakmampuan Pemerintah untuk mencapai tingkat pengembalian (return) standar dalam mengelola keuangan haji. Jika return setoran awal jamaah bisa mencapai rata-rata 6% per tahun saja, maka selama menunggu antrean/waktu tunggu menuju berangkat haji, misalnya 25 tahun, maka dana tersebut akan berkembang menjadi lebih dari Rp 80 juta. Jumlah yang sangat cukup untuk ongkos haji, bahkan masih ada kembaliannya.

"Ketidakmampuan mencapai return standar tersebut menyebabkan hasil nilai manfaat harus didistribusikan dari jamaah tunggu kepada jamaah berangkat. Tetapi sekalipun demikian, distribusi tersebut tetap murni berasal dari uang jamaah haji, bukan merupakan subsidi negara, sehingga tidak layak disebut sebagai subsidi," lanjutnya.

Apalagi menurut data daftar tunggu calon jemaah haji yang dikeluarkan oleh Ditjen PHU Kemenag tahun 2021, rata-rata jadwal tunggu calon jemaah haji untuk berangkat haji yang tercepat 14 tahun dan paling lambat 36 tahun, maka bila dibuat rata-rata, jadwal tunggu keberangkatan adalah 25 tahun. Tapi dengan terjadinya 2 tahun tidak ada pemberangkatan, dan tahun ini kuota haji untuk Indonesia hanya sekitar 50% saja, tentu waktu tunggu bagi calon haji yang sudah setor biaya ibadah haji ke Bank hingga tahun 2022 yang berjumlah 5,1 juta calon jemaah, akan semakin lama, tetapi nilai manfaatnya juga jadi bertambah lebih besar lagi. Terbukti dana kelola haji oleh BPKH meningkat drastis dari RP 124,3 T pada tahun 2019, menjadi Rp 158,8T pada tahun 2021. Artinya istilah subsidi akan semakin tidak tepat kedepannya.

“Oleh karena itu saya dan Fraksi PKS di Komisi VIII DPR-RI berulang kali mengkritisi penggunaan istilah subsidi haji karena mengesankan adanya subsidi negara dalam biaya haji. Atau bahwa jemaah yang berangkat haji tak penuhi syarat haji, istitha’ah, kemampuan material, padahal kenyataannya jemaah mampu, dan yang diberikan adalah manfaat dari setoran yang sudah dibayarkan oleh setiap jemaah ke bank, sejak beberapa tahun sebelumnya, itu adalah distribusi nilai manfaat dari uang kelolaan jamaah haji. Apalagi dalam UU 34/2014 tentang Keuangan Haji juga tidak ada istilah subsidi. Agar tak menimbulkan salah paham,  istilah “subsidi” tersebut agar tidak dipakai lagi dan diganti dengan istilah yang sesuai UU,” sambungnya.

Adapun dalam konteks penanganan fakir miskin, penggunaan istilah “bantuan sosial” juga tidak tepat karena tidak sesuai dengan UUD dan UU. UUD NRI 1945 pasal 34 jelas menggunakan istilah jaminan sosial dan pemberdayaan. Istilah tersebut secara konsisten digunakan dalam UU 13/2011 tentang penanganan fakir miskin, di pasal 7 ayat (2) disebutkan bahwa penanganan fakir miskin dilakukan di antaranya melalui pemberdayaan kelembagaan masyarakat, jaminan dan perlindungan sosial.

Program-program Kementerian Sosial selama ini juga bukan merupakan bantuan baik dari Menteri maupun Presiden, melainkan bersumber dari APBN yang dibiayai oleh pajak rakyat. Dan itu sesungguhnya merupakan pelaksanaan atas kewajiban negara melindungi dan memakmurkan seluruh Rakyat Indonesia.

“Sehingga sangat tidak tepat disebut sebagai bantuan. Sebaiknya disesuaikan dengan istilah yang tepat dan digunakan secara global. Yakni istilah bantuan sosial dikembalikan menjadi jaminan sosial (social security). Dan istilah bantuan langsung tunai menjadi transfer tunai (cash transfer),” lanjutnya.

“Kami mendesak agar kesalahan penggunaan istilah “subsidi haji” dan “bantuan sosial” ini segera diakhiri. Segera diubah dengan istilah yang sesuai UU, agar menghilangkan persepsi yang salah. Dan agar UU benar-benar ditaati dan dilaksanakan secara sepenuhnya oleh Pemerintah. Karena hakekatnya BPKH maupun Kemensos  bukanlah lembaga sosial yang memiliki sumber keuangan mandiri untuk mensubsidi maupun membantu masyarakat. Melainkan lembaga negara yang diberi kuasa anggaran dari uang rakyat baik dari setoran biaya haji maupun dari pajak, untuk menjalankan amanat konstitusi yang di antaranya adalah melindungi seluruh Rakyat Indonesia termasuk calon haji. Dan memajukan kesejahteraan umum serta mewujudkan keadilan sosial,” pungkasnya.

Tags : MPR RI , HNW

Berita Terkait