Sejarah Catat Kepeloporan Santri Dalam Merebut dan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia

RADARBANGSA.COM - Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Abdul Halim Iskandar atau Gus Halim menghadiri peringatan Hari Santri Nasional yang digelar Forum Pondok Pesantren Kabupaten Subang, Jawa Barat, Rabu, 26 Oktober 2022 malam.

Dalam kesempatan itu, Gus Halim menyatakan sejarah telah mencatat kepeloporan dan keberanian santri pada masa merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

"Tanpa keberanian santri, tanpa keyakinan santri, tanpa kepeloporan santri, tanpa resolusi jihad Hadrastusyech Hasyim Asyari maka dapat kita pastikan cita-cita Indonesia hari ini,hanya akan tetap menjadi mimpi dan angan-angan belaka," ujar Gus Halim.

Gus Halim menceritakan sejarah dimulai sejak 1512, ketika embrio NKRI masih bernama Kerajaan Demak. Saat itu seorang santri bernama Pati Unus yang digembleng khusus Wali Songo dengan gagah berani memimpin 10.000 pasukan dengan 100 kapal menyerbu pasukan Portugis di Malaka.

“Tujuannya cuma satu, agar Portugis tidak lebih jauh masuk dan mengancam kedaulatan Nusantara,” ceritanya.

Selanjutnya pada 1852, imbuh Gus Halim, Pangeran Diponegoro yang juga seorang santri dan ahli tarekat dari Padepokan Tegalrejo, Yogyakarta mengobarkan perang Jawa. Peperangan ini membuat Belanda rugi 20 juta gulden dan nyaris bangkrut karena perang jawa tersebut.

Kemudian pada 1936, para kiai pemimpin pondok pesantren, yang tergabung dalam jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU) menggelar Muktamar NU ke-11 pada 1936 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Muktamar saat itu memutuskan kebulatan tekad memperjuangkan lahirnya Negara Kesatuan Republik (NKRI) Indonesia sebagai darussalam (negara kesejahteraan), bukan darul Islam (negara Islam).

"Ini penting jika sembilan tahun menjelang Kemerdekaan, kiai di NU sudah menetapkan jika Indonesia itu darussalam," tegas Gus Halim.

Sementara itu, kata Gus Halim, di era revolusi kemerdekaan, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa progresif tentang resolusi jihad pada 22 Oktober 1945.  Resolusi jihad inilah yang membangkitkan spirit perang para santri di Jawa Timur untuk mengusir penjajah pada perang 10 November 1945.

"Resolusi jihad menggerakkan masyarakat dari seluruh wilayah di Jawa Timur untuk bertempur di Surabaya meski tanpa ada panglima atau komando," kata Gus Halim.

Perjuangan, pengorbanan, kepahlawanan para santri, tidaklah berakhir ketika Indonesia merdeka. Kepeloporan santri tetap dibutuhkan NKRI. "Hari ini, santri bertanggungjawab melanjutkan perjuangan dan khidmat pada kiai dalam menjaga NKRI," tandasnya.