Aksi Bela Tauhid, Murni Bela Tauhid atau Ada Muatan Politik?

| Minggu, 04/11/2018 06:31 WIB
Aksi Bela Tauhid, Murni Bela Tauhid atau Ada Muatan Politik? Foto: Falihin Barakati

RADARBANGSA.COM - Peristiwa pembakaran bendera berwarna hitam yang bertuliskan lafadz tauhid (yang menurut kepolisian pembawa bendera mengaku bahwa itu adalah bendera HTI) pada peringatan hari santri nasional di Garut oleh oknum anggota Banser berbuntut pada gerakan massa yang mengatasnamakan aksi bela tauhid. Sekalipun masalah ini sudah ditangani pihak kepolisian dengan menetapkan pengibar dan pembakar sebagai tersangka tetapi aksi ini tetap saja dilaksanakan.

Tentu negara tak boleh melarang aksi ini, karena di negara yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia aksi demonstrasi atau unjuk rasa menjadi hal yang wajar bahkan dilindungi oleh Undang-undang sebagai sarana bagi warga negara untuk menyampaikan aspirasi atau menyatakan pendapat. Maka tidak perlu bagi kita untuk memperdebatkan boleh atau tidak boleh aksi bela tauhid dilaksanakan, karena pada dasarnya negara membolehkan selama sesuai dengan prosedural yang berlaku.

Secara moral, aksi bela tauhid yang dilaksanakan pada Jum’at, 2 November 2018 di Jakarta adalah sebuah respon masyarakat khususnya masyarakat muslim yang beranggapan pembakaran bendera HTI adalah sebuah pelecehan terhadap lafadz tauhid. Namun anggapan bahwa tindakan itu adalah pelecehan lafadz tauhid masih debatable karena banyak perspektif yang bisa digunakan yang dapat melahirkan berbagai kesimpulan berbeda. Pada tulisan ini penulis tidak pada membahas perdebatan tersebut, tetapi lebih kepada menelisik muatan-muatan yang masuk pada aksi bela tauhid yang berangkat dari pertanyaan apakah aksi bela tauhid murni bela tauhid atau ada muatan politik.

Menurut hemat penulis, aksi bela tauhid atau aksi 211 yang dilaksanakan Jum’at kemarin kehilangan bentuk idealnya. Yang semestinya aksi tersebut sebagai bentuk pembelaan tauhid tetapi seakan berubah bentuk menjadi panggung kampanye politik untuk mengkampanyekan salah satu calon Presiden. Dimulai dari teriakan dan nyanyian Prabowo Presiden hingga do’a untuk Prabowo agar jadi Presiden. Hampir tidak ada korelasi antara bela tauhid dan Prabowo Presiden dalam aksi tersebut. Ini menjadi indikasi bahwa dalam aksi bela tauhid ini ada muatan politik sehingga kemurnian membela tauhid tercemari oleh kepentingan politik praktis.

Secara politik, adanya muatan politik dalam aksi bela tauhid tidak lah salah mengingat saat ini masih dalam situasi politik menjelang Pilpres. Namun di lain sisi, publik pun bisa dikatakan benar ketika menganggap bahwa aksi bela tauhid hanyalah topeng dimana isinya adalah kepentingan politik karena di dalam aksi tersebut ada semacam tindakan mengkampanyekan salah satu Capres.

Aksi bela tauhid 211 ini mengingatkan penulis dengan aksi bela agama berjilid-jilid yang ada pada situsi politik menjelang Pilgub DKI Jakarta 2017 lalu. Ahok sebagai Gubernur sekaligus Cagub petahana menjadi sasaran empuk aksi tersebut. Ahok terlihat kesulitan untuk menghadapi masalah ini karena ia menjadi penyebab langsung munculnya aksi bela agama, dimana ia dianggap melecehkan salah satu ayat dalam Al-Qur’an. Masalah ini pun berhasil mengantarkan rival politiknya dalam Pilgub untuk duduk di kursi Gubernur sementara Ahok harus mendekam di balik jeruji besi karena dipidana melecehkan agama.

Ada kemiripan narasi yang coba dibangun dari dua aksi berbeda situasi ini, yaitu sama-sama membentuk narasi yang menggiring isu agama dalam politik. Dimana calon petahana jauh dari Islam sementara calon lain dekat dengan Islam. Hanya saja bedanya dulu Ahok sebagai calon petahana yang juga Gubernur saat itu menjadi penyebab langsung terjadinya aksi bela agama, sedangkan untuk aksi bela tauhid saat ini penyebab langsungnya adalah oknum anggota banser yang dianggap melakukan pelecehan terhadap kalimat tauhid. Jadi sulit untuk menyeret dan menghubung-hubungkan Presiden Jokowi yang juga Capres petahana dalam kasus pembakaran bendera ini apalagi kasus ini sudah ditangani pihak kepolisian. Maka alternatif yang bisa digunakan adalah membangun persepsi publik bahwa Capres non-petahana dekat dan perhatian pada Islam, maka tidak mengherankan jika dalam aksi bela tauhid ada teriakan hingga nyayian dan do’a Prabowo Presiden. Oleh karena itu sulit untuk menghindari persepsi publik bahwa aksi bela tauhid tidak lagi murni bela tauhid tetapi sudah bermuatan politik.

Sebagai akhir dari tulisan ini, penulis mengajak kepada seluruh anak bangsa untuk tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta tidak mudah terprofokasi utamanya karena isu SARA. Sekalipun isu SARA khususnya isu agama masih saja menjadi jualan politik segelintir elit tetapi kita sebagai rakyat memandang itu sebagai pertarungan politik belaka bukan malah ikut membangun kebencian dan permusuhan panjang sesama rakyat. Tempatkan agama sebagai nilai-nilai yang murni untuk menebar kebaikan bukan mencemari nilai-nilainya dengan menjadikannya alat atau topeng untuk saling menjatuhkan demi mendapatkan kekuasaan.(*)

Oleh: Falihin Barakati 

Penulis adalah pegiat sosial-politik yang juga merupakan kader PMII Sultra

Tags : Aksi Bela Tauhid , Bendera

Berita Terkait