Samsul, Mengejar Hak Gaji Pekerja Migran di Negeri Sendiri

| Selasa, 08/10/2019 16:45 WIB
Samsul, Mengejar Hak Gaji Pekerja Migran di Negeri Sendiri Samsul Maarif dan rekan-rekannya saat mendatangi kantor Migran Care di Jakarta (foto Istimewa)

Oleh: Sodiqul Anwar

RADARBANGSA.COM - Tidak ada habisnya kisah pilu Pekerja Migran Indonesia (PMI) di luar negeri. Cerita pun beragam, mulai dari disiksa majikan, ditahan polisi karena ilegal hingga tidak digaji majikan. Adalah Samsul Ma`arif, seorang PMI menjadi salah satu contoh dari sekian banyak kisah pilu tersebut. Dia tidak memperoleh gaji sebagaimana mestinya, lalu pulang ke Tanah Air demi mengejar hak gaji.

Tanggal 22 Desember 2014 adalah awal mula Samsul berangkat ke negeri Upin-Ipin. Harapannya pupus setelah 31 bulan gajinya tidak dibayar oleh sang majikan. Kemarin pertengahan tahun 2018, Ia terpaksa pulang dan kembali ke tanah air. Dia mengejar hak gajinya hingga ke Jakarta. Kok bisa?

Selama di Malaysia, Samsul bekerja sebagai caddy golf di salah satu perusahaan di sana. Kabarnya pemilik perusahaan yang mempekerjakan samsul juga mempunyai usaha sama di Indonesia. Namun, sang majikan justru tak kunjung memenuhi haknya selama bekerja.

Kecewa dengan perlakuan sang majikan, Samsul lantas memutuskan untuk balik ke Tanah Air dan melaporkan seluruh persoalannya ke Migran Care yang beralamat di Jl. Jatipadang I No.5A, RT.5/RW.3, Jati Padang, Jakarta, Kota Jakarta Selatan, Selasa 17 september 2019. Ia mengaku sudah capek menunggu ketidak pastian gajinya yang seharusnya ia dapatkan waktu bekerja.

Rasa kesal, sekaligus bingung bercampur aduk tidak karuan. Samsul terus kepikiran, bagaimana caranya meminta gaji ke bos PT. Golfersmate- lesure golf dimana ia bekerja.

“Saya ke Jakarta mencari keadilan, kemana saja mas, ke penegak hukum, lembaga Advokasi PMI, Badan Reserse Kriminal Polri (Bareskrim Polri), dan rencananya akan melaporkan ke lembaga pemerintah terkait, tentang apa yang telah kami alami selama bekerja di Malaysia. Kenapa kami memutuskan mengejar hak saya hingga ke Jakarta?. Bos saya ini juga punya usaha di berbagai daerah di Indonesia,” tutur samsul sambil menunjukan beberapa teman senasib yang duduk bersebelahan.

Samsul bersama kawan-kawan merupakan korban dari perusahaan nakal malaysia. Mereka ditipu, dijanjikan pekerjaan enak dan bergaji tinggi. Proses menipu cukup sistematis, mereka kebanyakan diberangkatkan memalui perseorangan. Memang kasus tenaga kerja Indonesia tidak dibayar sudah menjadi masalah klasik. Perlakuan seperti ini tidak hanya terjadi sekali, dua kali, akan tetapi banyak sekali. Hampir setiap tahun ada.

Baru-baru ini KJRI Penang baru saja berhasil mengurus penyelesaian pembayaran gaji PMI atas nama Siti Khasanah, yang telah bekerja di Malaysia sejak 2007 dan tidak pernah dibayar oleh majikan selama kurang-lebih 11 tahun. Menurut rilis data KJRI Hingga September 2018, KJRI Penang secara keseluruhan telah berhasil menyelesaikan permasalahan gaji TKI sejumlah RM 542.233 atau setara dengan Rp 1.951.762.449.

Pun demikian yang dialami Samsul. Lelaki yang lahir tahun 1982 ini mengaku proses keberangkatannya ke Malaysia tidak memakai jalur resmi. Sebuah langkah praktis yang harus Samsul pilih, karena prosesnya cepat dan tidak ribet. Hanya bermodalkan pasport dan visa berkunjung sudah bisa terbang ke Malaysia dan bekerja.

“Melalui jalur resmi prosesnya lama, sementara perusahaan yang mencari tenaga kerja, segera butuh jawaban dan tindak lanjut,” kelakar bapak dua anak ini di sela-sela menikmati kopi dan cemilan, bapak dua anak ini.

Pria asli Desa Sutojayan, Kabupaten Blitar, ini bercerita, bahwa ia berangkat bekerja atas informasi dan ajakan sang istri, Wijayanti. Kala itu istri sudah bekerja di Malaysia. Mengingat hari-hari menjadi pedagang es lilin semakin sepi pembeli, Samsul berniat mencari pekerjaan lain. Selain itu, Samsul dari awal sudah berniat menyusul istri.

Berbekal pengalaman dan jaringan di organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia ( PMII) yang pernah diikuti waktu menjadi mahasiswa, ia mencari pinjaman uang ke beberapa sahabatnya. Berhasil mendapatkan pinjaman Rp 6.000,000. Dirasa cukup, Samsul yang juga alumni mahasiswa STIT Blitar ini lantas nekat berangkat ke Malaysia.

Singkat cerita, sesampainya di Malaysia langsung bekerja dan mendapatkan gaji setiap tanggal muda di bulan berikutnya. Pria pecinta rokok jenis kretek ini dengan semangat menceritakan, Sempat menikmati gajinya selama sepuluh bulan pertama di Perusahaan milik tuan Steven als Leo keng Liok. Bahkan Beberapa kali keluarga di Indonesia sempat menikmati hasil kerja.

Namun Samsul kembali menunjukan kesedihan, kala ingat perusahaan yang bergerak dibidang lifestyle Golf sudah tidak menggajinya lagi. Ia ingat betul kekejaman perusahan yang berkantor di Leisure golf services 0-46 block O, Jl PJU 1A/3 Taipan 2, Aradamansara 47301, Petalingjaya, Selangor, Darul Ekhsan. Selama 31 bulan terakhir bekerja, Samsul tidak menerima gaji sedikitpun. Kalau di Total gaji tidak terbayar sebesar Rm. 24.600.

Ini belum termasuk karyawan yang senasip, entah berapa bulan tidak digaji. Yang jelas ada salah satu pekerja kalau dihitung rupiah, hak gaji yang tidak diberikan hingga Rp 140 jutaan. Tidak hanya itu, selama bekerja dokumen resmi pekerja ditahan. Pihak penyita dokumen mengatakan, semua gaji dan dokumen resmi akan diserahkan apabila pekerja sudah habis kontrak.

Samsul dan lima puluh pekerja yang senasib harus menerima keadaan tidak bisa kemana-mana. Hari-hari hanya bekerja dan bekerja tanpa bisa menikmati suasana diluar arena tempat kerja. Selama tidak digaji hanya main kartu domino, bermain musik alat seadanya untuk menghibur diri.

Suasana malam semakin hening, sambil menggeser kursi ke arah depan, ia menceritakan, masih ingat di benak Samsul gaji tidak diserahkan pihak perusahaan dengan alasan setiap bulan mendapatkan fee, alangkah baiknya gaji dikumpulkan di keuangan perusahan agar waktu pulang ke Indonesia mempunyai tabungan.

Namun yang Samsul tidak habis pikir, hingga sampai habis kontrak pun tidak dibayarkan. Akhirnya pada pertengahan tahun 2018, orang yang pernah menjadi tim pemenangan salah-satu calon legeslatif dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini memutuskan pulang dengan cara menyerahkan diri ke KJRI.

Sesampai di Indonesia, Samsul berharap bisa menemukan kebahagiaan walau dengan keterbatasan ekonomi. Namun takdir belum juga berpihak pada bapak dua anak ini. “Ibarat jatuh tertimpa tangga pula”. Mungkin pepatah lama ini tepat untuk menggambarkan kondisi Samsul setelah ke kampung halaman.

Selama bekerja saat masih mendapatkan gaji, Samsul dan istrinya sempat menabung hingga hampir Rp 100 juta. Dengan uang itu, mereka berencana membuat rumah di Desa Sutojayan, Kecamatan Lodoyo. Proses rencana awal membuat rumah pun dilalui dengan mulus. Komunikasi dengan tukang pemborong bangunan berjalan dengan lancar. Rasa saling percaya antara Samsul dengan pemborong terbangun tanpa syarat.

Namun nahas, apa yang dialami Samsul dan keluarga kecilnya tidak sesuai harapan.  Sang pemborong justru membawa kabur uang Samsul senilai Rp 75.000,000. Padahal dia adalah keponakan Samsul sendiri. Pekerjaan membuat rumah mandek, terbengkalai. Harapannya hancur.

Pria berambut ikal ini mencoba mengikhlaskan apa yang telah terjadi pada dirinya. “Ah semoga gusti Allah memberi kemudahan bagi saya dan keluarga”.  Ia juga menambahkan dikejar bagaimanapun juga susah, mau melaporkan ke pihak yang berwajib tidak tega. Sungguh tegar Samsul dalam menghadapi semua cobaan ini semua.

Dalam kondisi pada titik terendah, Samsul tetap berusaha tegar. Situasi ini menjadi titik balik dan motivasi Samsul untuk bangkit lagi. Ibarat walau sudah menangis darah, ia harus berusaha bangkit. Menantu yang mendapatkan hak mengelola sebidang sawah ini mulai mencari solusi. Harapanya agar keberlangsungan hidup dan rencana membuat rumah bisa terwujud. Atas dasar itu, dengan modal sebidang sawah ia kelola berharap hasilnya untuk menyambung hidup. 

Benar saja, Samsul bekerja keras siang malam di sawah. Layaknya petani pada umumnya, ia dan istri menanam sesuai musim. Hal ini dilakukan karena kegiatan pertanian masyarakat setempat mengandalkan air hujan untuk kebutuhan air. Kadang, saat lama tidak ada hujan terpaksa harus membawa air dari rumah.

Akhirnya kerja keras Samsul bersama istri dalam upaya mengembalikan kondisi ekonomi keluargapun berhasil. Dari hasil panen sawah sebagian disisihkan untuk modal usaha lain. Kebetulan Samsul pernah belajar membuat bibit Jamur Tiram. Berbekal pengalaman itu samsul merintis budidaya jamur tiram. Untuk memaksimalkan modal usaha, Syamsul memutuskan pinjam uang ke Bank BRI sebanyak Rp 15 Juta.

Lima bulan terakhir terhitung sampai bulan September 2019, hasil sawah dan budidaya jamur tiram mampu mencukupi kebutuhan hidup. Bahkan lebih. Samsul mengakui kini punya karyawan harian lepas yang membantu usahanya. “Hasilnya kalau untuk kebutuhan sehari-hari dan menggaji karyawan masih bisa,” tegasnya.

“Makane mas, saya bisa ngurus gaji saya yang sampai sekarang belum dikasih. Pokoknya kepada siapapun, kemanapun saya akan kejar. Mau harus ke Kota Pacitan (kediaman istri mantan bos) hingga kini saya ke Jakarta sudah dua kali, saya lakukan demi mengejar hak gaji saya dan kawan-kawan. Saya ini korban sekaligus yang dituakan, dianggap mengerti sama kawan senasib mau tidak mau harus bergerak. Mencoba memberi jawaban apa yang menjadi keinginan mereka, menuntut hak gaji,” Imbuhnya.

Upaya menuntut gaji yang ia lakukan bersama kawan-kawannya mengalami banyak kendala. Mereka juga tidak menafikan, sebagian banyak karyawan dari awal sudah cacat. Mereka kebanyakan berangkat mandiri tanpa melalui PT. Dari tujuh orang yang nekat ke Jakarta hanya dua orang yang melalui PT. Penyalur Tenaga Kerja Indonesia.

“Waktu kami lapor ke Bareskrim kita juga diberi tahu, data untuk menggugat ke pihak perusahaan sangat lemah,” ujar rekan Samsul asal Lampung menceritakan proses berangkat ke Malaysia melalui jalur tidak resmi.

Mendapatkan penjelasan dari penegak hukum mereka para BMI mulai tidak percaya diri atas usaha yang dijalani sia-sia. “Saya jauh dari Lampung ke Jakarta berharap ada solusi, dari siapapun yang mau membantu kami. Syukur-syukur langsung ketemu bos pemilik perusahaan dan dibayarkan gajinya, tetapi kalau melihat bahan untuk menggugat yang tidak lengkap kami jadi pesimis,” sebut pria bernama lengkap Andika Pranata Rudiansyah.

Kendati bekal pelaporan tidak kuat, mereka tak lantas pasrah begitu saja sembari berharap ada jalan lain. Para PMI ini menaruh harap besar kepada Samsul lantaran dinilai mengeyam Pendidikan tinggi. Mereka ingin Samsul mengambil alih kepemimpinan rombongan, mencarikan solusi terbaik bagaimanapun caranya. Ia pun dengan terpaksa menerima desakan dari teman-temannya, menjadi pelopor selama di Jakarta.

Berbekal pengalaman pas-pasan ia lalu menghubungi orang se kampung yang bekerja di salah-satu lembaga advokasi pekerja migran. Teman tersebut bernama Suharsono yang bekerja di lembaga Migrant Care. Samsul meminta bantuan mencarikan solusi. Waktu itu langsung mendapatkan jawaban positif, mereka selama di Jakarta, mencari keadilan, ditampung di kantor. Semua kebutuhan makan dan tempat tidur disediakan gratis.

Bersama Migrant Care, Samsul dan kawan-kawan PMI lain melakukan lawatan ke berbagai lembaga hukum dan pemerintah mengadukan nasipnya. Dimulai dari merapikan aduan di Bareskrim, mengadu ke Kemenaker RI, DPR RI, hingga Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia Dan Badan Hukum Nasional.

Dari sekian usaha mencari solusi, mereka masih mendapatkan jawaban yang tidak pasti. Hingga satu minggu berada di Jakarta hanya melaporkan dan melaporkan keadaan. Oleh instansi terkait dicatat dan akan dicarikan solusi, terutama mendapatkan hak gaji.

Akhirnya, Samsul dan kawan senasib sadar, bahwa bekerja di negara lain harus melalui jalur resmi. Mereka berpesan, siapapun yang mau bekerja menjadi buruh migran Indonesia jangan mandiri. “Apalagi berangkat melalui jalan tikus. Jangan sampai niat mencari nafkah untuk keluarga justru mendapatkan masalah. Lebih baik kerja di negeri sendiri berapapun hasilnya,” pungkas Samsul.

Tags : Migran Care , Samsul , Pekerja Migran , Malaysia

Berita Terkait