Respon KPA Terhadap Defisit Pangan dan Rencana Cetak Sawah Baru

| Rabu, 06/05/2020 15:53 WIB
Respon KPA Terhadap Defisit Pangan dan Rencana Cetak Sawah Baru Lahan sawah (foto: Humas Kementerian ATR/BPN)

Oleh: Dewi Kartika***

RADARBANGSA.COM - Melalui rapat terbatas terkait stok kebutuhan pangan pokok (28/04), Presiden Jokowi menyatakan bahwa stok sejumlah komoditas pangan domestik ternyata mengalami defisit di puluhan provinsi. Bahan pokok yang mengalami defisit di banyak provinsi adalah stok beras, jagung, cabai besar, cabai rawit, bawang putih, bawang merah, telur ayam, dan gula pasir.

Sejak awal pandemi soal ancaman krisis pangan ini telah disuarakan organisasi masyarakat sipil. Solidaritas pangan antar rakyat menjadi jawabannya. Sementara narasi yang dikembangkan pemerintah sebelumnya adalah stok pangan kita aman. Nyatanya sekarang kita mengalami defisit pangan.

Program cetak sawah baru menjadi jawaban pemerintah untuk mengatasi defisit pangan. Pandangan kami terhadap rencana ini adalah sebagai berikut:

Pertama, selain solusi ini bersifat bias padi karena pangan tidak hanya beras, dan yang mengalami defisit adalah ragam jenis pangan, program ini juga adalah jawaban jangka menengah atas kekurangan stok pangan yang tengah terjadi saat ini. Artinya, cetak sawah baru tak bisa menjawab defisit secara cepat. Sebab, mencetak sawah baru secara massal, sejak tahap persiapan infrastruktur irigasi dan jalan yang memadai, pembukaan lahan (land clearing) hingga menanam dan memanen setidaknya membutuhkan waktu paling cepat 7 s/d 9 bulan.

Kedua, seharusnya untuk kebutuhan jangka pendek (urgent) menjawab langsung defisit yang tengah kita alami ini, maka rencana program cetak sawah baru ini wajib diimbangi dengan usaha Negara mendorong adanya gerakan nasional menanam pangan di desa dan di kota dengan pelibatan rakyat secara aktif untuk bergabung dalam gerakan ini. Caranya, pemerintah menyediakan tanah-tanah negara (PTPN, PERHUTANI), HTI, termasuk tanah terlantar, lahan kosong di desa dan kota bagi rakyat untuk mengembangkan sentra-sentra pertanian, peternakan dan kebun pangan. Khusus di kota didorong gerakan pertanian perkotaan (urban farming) secara luas bagi masyarakat miskin kota agar mengoptimalkan lahan kosong, tanah cadangan atau tanah penguasaan luas milik konglomerat dan perusahaan di kota.

Kemudian pemerintah mendukung penuh benih lokal, pupuk, teknologi pertanian, asistensi para ahli dan lulusan fakultas pertanian bagi petani, peladang, peternak, buruh tani, buruh kebun, buruh korban PHK massal pabrik-pabrik, dan masyarakat miskin kota. Selanjutnya pemerintah membeli dengan harga yang baik (menguntungkan) ketika panen. Skema pemerintah membeli dengan harga yang baik ini tentu tidak boleh menjadikan harga pangan di pasaran menjadi mahal. Artinya, insentif pemerintah harus bekerja di masa pandemik agar harga pangan pokok hasil gerakan nasional ini bersifat ekonomis menjawab krisis yang sedang berlangsung. Dengan tanaman pangan campur, dalam jangka tiga bulan panen raya dapat dicapai untuk mengatasi defisit stok ragam pangan di atas.

Ketiga, sementara rencana program cetak sawah bisa dilakukan dengan prinsip-prinsip pokok agar jawaban atas defisit pangan ini tidak memanen problem baru, seperti konflik agraria dan perampasan tanah petani dan masyarakat adat. Syaratnya adalah berpusat pada pertanyaan pokok, yaitu; program cetak sawah ini untuk siapa, oleh siapa dan bagaimana akan dilakukan? Harus dipastikan bahwa program cetak sawah baru ini diabdikan UNTUK dan OLEH petani, rumah tangga petani, buruh tani, dan para peladang tradisional. Artinya kembali pada prinsip pelibatan aktif rakyat sebagai aktor utamanya. BUKAN untuk membangun food estate (seperti MIFEE di Papua) atau rice estate oleh BUMN atau perusahaan swasta (agribisnis).

Keempat, syarat lainnya pembangunan cetak sawah bukan untuk motif-motif tersembunyi menyelamatkan perusahaan kontraktor yang sedang lesu, maupun dikerjakan oleh (institusi) tentara untuk memperoleh kontrak pembuatan cetak sawah. Jika terjadi ini ironi di tengah krisis berlapis masyarakat kelas bawah. Sebaiknya libatkan penuh rakyat, petani, buruh tani dalam pencetakan sawah tersebut sehingga menciptakan penyerapan tenaga kerja yang lebih luas dan berkeadilan.

Kelima, Di sisi lain kami juga mengkritisi soal lokasi atau obyek tanah untuk program cetak sawah ini. Dikabarkan obyek tanah yang akan digunakan adalah lahan gambut. Ini akan mengulang kerusakan ekosistem gambut dan mengulang kegagalan Orde Baru mencetak 1 juta lahan gambut di tahun 1995-an di Kalimantan Selatan via program transmigrasi. Transmigrasi masa lalu ini pun gagal, dan menggantungkan nasib para transmigran tanpa kepastian.

Sebaiknya lokasi lahan yang penting dioptimalkan adalah di desa-desa, yang selama ini mengalami rawan pangan dan kemiskinan akibat sistem pembangunan perkebunan monokultur (HTI, HGU kelapa sawit). Jika program cetak sawah baru dijalankan secara tepat sasaran di desa-desa seperti itu, maka tidak saja dapat mengatasi defisit pangan, tetapi juga akan mendorong perubahan landscape yang lebih ramah lingkungan, dari perkebunan monokultur (non-pangan) menjadi pertanian pangan campur, berkeadilan dan dapat mensejahterakan keluarga-keluarga petani serta buruh kebun yang telah lama mengalami rawan pangan dan situasi miskin.

Keenam, syarat pokok lainnya pemerintah berkewajiban mensinergikan cetak sawah baru, juga gerakan nasional menanam pangan ini dengan lokasi-lokasi prioritas reforma agraria (RA). Dengan begitu, tak hanya menjawab defisit pangan, tetapi paralel juga dengan usaha dan komitmen Negara untuk mengakui dan melegalkan hak atas tanah, serta menuntaskan problem agraria di daerah-daerah konflik agraria dan lokasi usulan RA yang telah diajukan masyarakat sipil, serikat petani dan organisasi masyarakat adat.

Jika dilibatkan secara penuh, petani, peladang tradisional, nelayan, peternak sesungguhnya mampu dan sanggup bergotong-royong mendukung Negara mencapai kedaulatan pangan. Patut kembali dicatat, tentang janji redistribusi tanah dalam kerangka reforma agraria, termasuk penyelesaian konflik agraria struktural mengalami kemacetan luar biasa. Itulah pentingnya solusi atas defisit pangan tidak parsial dan terpisah dari agenda reforma agraria.

Ketujuh, baik gerakan nasional menanam pangan dan program cetak sawah baru harus lah tertib diorientasikan untuk mengatasi penyusutan luasan tanah pertanian di Indonesia yang semakin memprihatinkan. Mengingat laju konversi tanah pertanian ke non-pertanian begitu kencang sebagai akibat tak adanya proteksi ketat terhadap tanah pertanian. Artinya, kedua program di atas harus dalam kerangka menjalankan UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan.

Kedelapan, prinsip program cetak sawah adalah usaha menciptakan kedaulatan pangan bukan sekedar menutup defisit pangan. Selama pandemi dan puluhan tahun dalam perjuangan hak-atas tanah, kami memahami bahwa desa-desa dan kampung-kampung yang berdaulat pangan, yang memiliki resiliensi terhadap krisis ekonomi dan dampak luas pandemik seperti ancaman krisis pangan saat ini, hanya bisa tercipta di wilayah-wilayah dimana petani dan pertanian keluarga memiliki tanah untuk tanaman pangan. Bahkan desa-desa seperti ini di masa pandemi Corona telah menjadi garda terdepan memobilisasi donasi pangan dan surplus pangan ke daerah-dearah rawan pangan. Termasuk mengalirkan panennya ke kota-kota yang menjadi episenstrum penyebaran virus langsung.

Dengan begitu, kedaulatan pangan tercipta bukan bersandarkan pada korporasi pangan apalagi mafia pangan, dan kedaulatan pangan dapat dicapai jika hak atas tanah untuk rakyat dipenuhi Negara. Bukan tanah untuk investor sebagaimana sedang dibahas di Senayan lewat RUU Cipta Kerja.

***Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)

Tags : KPA , Defisit Pangan , Opini

Berita Terkait