Membaca Kembali "Yang Tumbuh dari Bawah adalah PMII, Bukan HMI"

| Rabu, 16/07/2025 08:40 WIB
Membaca Kembali "Yang Tumbuh dari Bawah adalah PMII, Bukan HMI" Ilustrasi. (Foto: istimewa)

*Acep Jamaludin

RADARBANGSA.COM - Dalam sambutan pelantikan Pengurus Besar Ikatan Alumni (PB IKA) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), pidato Ketua Mabinas PB PMII, Muhaimin Iskandar (Cak Imin), menyisipkan pernyataan yang menggema jauh melampaui acara seremonial: "Yang tumbuh dari bawah adalah PMII, bukan HMI." Kalimat singkat ini bukan sekadar klaim organisatoris, melainkan pernyataan filosofis yang menyingkap perbedaan DNA sekaligus memantik refleksi tentang posisi gerakan mahasiswa Islam dalam bentang sosial Indonesia.

Pernyataan Cak Imin, seorang tokoh yang akarnya dalam kuat di Nahdlatul Ulama (NU) – tempat PMII bersemi – perlu dibaca dalam konteks historis-sosiologis yang lebih dalam

Tradisi Pesantren dan Kultur Lokal: PMII lahir (1960) dari rahim NU, organisasi massa Islam terbesar di Indonesia yang basis utamanya adalah pesantren-pesantren yang tersebar hingga pelosok desa. Kultur NU sangat kental dengan nilai-nilai lokal, tradisi (ahlussunnah wal jama'ah), dan pola pengorganisasian berbasis komunitas akar rumput. PMII, sebagai ekspresi pemikirannya di kampus, mewarisi karakter "bawah" ini. Basis kaderisasinya seringkali dimulai dari aktivitas di tingkat desa, pesantren, dan komunitas kecil sebelum naik ke jenjang kampus. Pendekatannya cenderung lebih organik, lekat dengan problematika masyarakat sehari-hari di tingkat paling dasar.

HMI dan Corak Modernis-Urban: Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) lahir lebih awal (1947) dengan semangat modernisme Islam yang kuat. Meskipun juga memiliki jaringan luas, HMI seringkali diasosiasikan dengan kaderisasi yang lebih terstruktur di lingkungan kampus-kampus besar di perkotaan, dengan pendekatan intelektual yang kuat dan jaringan yang terkoneksi dengan elite politik dan birokrasi sejak dini. Coraknya lebih urban dan "menara gading", meskipun tentu saja aktivitas lapangan juga dilakukan. Basis kulturalnya lebih kepada pemikiran reformis Islam yang universal, kurang terkait secara struktural dengan tradisi pesantren lokal tertentu seperti NU.

"Bawah" sebagai Idiom Sosiologis, Bukan Hierarkis: Klaim "tumbuh dari bawah" oleh Cak Imin bukan berarti menafikan kontribusi atau jangkauan HMI. Ini lebih merupakan penegasan tentang sumber nutrisi utama dan cara tumbuh masing-masing organisasi. PMII menekankan akarnya yang langsung menyatu dengan denyut nadi masyarakat kecil, petani, nelayan, dan komunitas tradisional yang menjadi basis massa NU. Geraknya seringkali dimulai dari memahami dan menyelesaikan persoalan konkret di tingkat RT/RW, baru kemudian naik ke tingkat analisis kebijakan. Sementara HMI, dengan kekuatan dan pengaruhnya yang tak terbantahkan, seringkali dipersepsikan memiliki titik pijak awal yang lebih dekat dengan pusat-pusat kekuasaan dan wacana intelektual di ibu kota atau kota besar.

Pertanyaan kritis kemudian muncul: Seberapa relevan dikotomi "bawah-atas" ini dalam konteks Indonesia kontemporer?

1. Perubahan Sosial dan Polarisasi: Masyarakat Indonesia telah mengalami transformasi masif. Urbanisasi, pendidikan yang lebih merata, dan revolusi digital mengaburkan batas "bawah" dan "atas" secara geografis dan sosial. Isu-isu yang dihadapi, baik oleh masyarakat desa maupun kota, semakin kompleks dan saling terkait (ekonomi global, perubahan iklim, disrupsi teknologi). Apakah klaim identitas berbasis "akar rumput" masih menjadi pembeda utama, atau justru bisa menjadi romantisme yang mengaburkan kebutuhan untuk menjawab tantangan zaman secara lebih integratif?

2. Kebutuhan Kolaborasi vs. Kompetisi: Tantangan bangsa saat ini – ketimpangan, intoleransi, degradasi lingkungan, krisis kepemimpinan – membutuhkan solusi kolektif. Fokus pada perbedaan historis-sosiologis, sementara penting untuk memahami karakter masing-masing, berpotensi mengerdilkan energi jika berubah menjadi kompetisi klaim legitimasi. Bukankah yang lebih penting adalah bagaimana PMII dengan kekuatan akar rumputnya dan HMI dengan kekuatan jaringan dan intelektualnya bisa bersinergi membongkar persoalan bangsa yang multidimensi?

3. Substansi Gerakan di Atas Label: Esensi gerakan mahasiswa, baik PMII, HMI, maupun lainnya, terletak pada kontribusi nyata untuk keadilan, pencerdasan kehidupan bangsa, dan menjaga martabat kemanusiaan. Apakah seorang kader lebih efektif membela kaum marginal karena label "bawah" organisasinya, atau karena komitmen, integritas, dan kapasitasnya secara personal dalam memahami dan menyelesaikan masalah? Label "bawah" bisa menjadi kekuatan, tetapi juga bisa menjadi beban jika tidak diisi dengan kerja-kerja kongkrit yang membumi dan transformatif.

Pernyataan Cak Imin di pelantikan PB IKA PMII adalah pengingat yang berharga tentang akar sejarah dan karakter sosiologis yang membentuk identitas PMII. Klaim "tumbuh dari bawah" adalah kebanggaan atas warisan perjuangan yang lekat dengan denyut nadi masyarakat kecil. Namun, dalam arus zaman yang deras, kebanggaan atas identitas ini perlu dibarengi dengan refleksi kritis.

Relevansi sebuah organisasi mahasiswa tidak lagi semata-mata ditentukan oleh klaim "dari mana ia tumbuh", tetapi oleh "untuk apa ia berkarya" dan bagaimana ia beradaptasi" menjawab tantangan kekinian. Romantisme masa lalu harus menjadi batu pijakan, bukan tembok pembatas. Tantangan sebenarnya bagi PMII, HMI, dan seluruh elemen gerakan mahasiswa adalah bagaimana mengolah kekhasan masing-masing – entah itu kekuatan akar rumput PMII atau jaringan intelektual HMI – menjadi energi kolaboratif untuk membangun Indonesia yang lebih berkeadilan, maju, dan berperadaban. Bukankah tanah air ini membutuhkan semua akar yang kuat, baik yang menjalar dari desa maupun yang mencengkeram di kota, untuk bersama-sama menopang pohon Indonesia yang rindang? Yang tumbuh dari bawah dan dari mana pun, pada akhirnya harus bersatu dalam kerja menumbuhkan keadilan untuk semua. 

*Penulis adalah Ketua Kaderisasi Nasional PB PMII

Tags : PMII , HMI , Muhaimin Iskandar