Apakah Benar Kaya Termasuk Syarat Menikah?  

| Senin, 24/05/2021 19:02 WIB
Apakah Benar Kaya Termasuk Syarat Menikah?    Apakah Kekayaan Termasuk Syarat Menikah?

 

RADARBANGSA.COM - Islam sangat perduli dengan umatnya dengan cara mengatur segala sesuatu kebutuhan umatnya, termasuk pernikahan. Dalam Islam memilih pasangan yang ideal adalah hal yang penting walaupun bukanlah menjadi syarat sah pernikahan. Namun, perempuan memiliki hak termasuk walinya dalam pernikahan, atau yang dikenal dengan istilah kafa’ah, berikut ini indikator kafa’ah yang ditetapkan oleh Islam.

Mengutip nu online, ulama memiliki perbedaan pendapat mengenai indikator kafa’ah dalam pernikahan. Imam Syafi’i mempertimbangkan lima aspek dalam kafa’ah, yakni: agama, nasab, pekerjaan, merdeka dan tidak memiliki aib. Kemudian sebagian murid Imam Syafi’i menambahkan satu aspek yaitu kekayaan.

وَالْكَفَاءَةُ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ فِيْ خَمْسَةٍ: اَلدِّيْنُ وَالنَّسَبُ وَالصُّنْعَةُ وَالْحُرِّيَةُ وَالْخُلُوُّ مِن الْعُيُوْبِ، وَشَرَطَ بَعْضُ أَصْحَابِهِ الْيَسَارَ، وَقَوْلُ أَبِيْ حَنِيْفَةَكَقَوْلِ الشَّافِعِي لَكِنَّهُ لَمْ يَعْتَبِرْ الْخُلُوَّ مِنَ الْعُيُوْبِ

“Kafa`ah menurut Imam Syafi’i mencakup lima hal: agama, nasab, pekerjaan, merdeka, dan tidak memiliki aib, sebagian muridnya mensyaratkan pula kekayaan. Pendapat Imam Abu Hanifah sama seperti Imam Syafi’i, hanya saja beliau tidak mempertimbangkan aspek selamat dari aib” (Abu Abdullah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimsyaqi al-‘Utsmani as-Syafi’i, Rahmah al-Ummah fi Ikhtilafi al-Aimmah, [Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah], 1971, h. 177).

Lain halnya, Imam Abu Hanifah tidak mempertimbangkan aspek selamat dari aib. Sebenarnya kekayaan bukanlah termasuk syarat ideal dalam menikah. Hanya saja, pekerjaan menjadi salah satu yg harus diperhatikan. Di dalam ulama Syafi’iyah masih terjadi perbedaan pendapat mengenai kekayaan, apakah menjadi syarat untuk menikah atau tidak. Pendapat yang mengatakan bahwa kekayaan bukanlah termasuk dalam kafa’ah menyatakan bahwa harta kekayaan bisa hilang kapan saja. Berbeda dengan pekerjaan, dia akan mampu menghidupi keluarganya dengan kemampuannya dibidang pekerjaannya.

وَالْاَصَحُّ أَنَّ الْيَسَارَ لَا يُعْتَبَرُ فِيْ الْكَفَاءَةِ لِاَنَّ الْمَالَ ظِلٌّ زَائِلٌ وَلَا يَفْتَخِرُ بِهِ أَهْلُ اْلمُرُوْءَاتِ وَالْبَصَائِرُ

Artinya, “dan pendapat yang paling sahih ialah kekayaan itu tidak dipertimbangkan dalam kafa`ah karena sesungguhnya harta itu umpama bayangan yang dapat hilang. Orang-orang ahli muru’ah dan orang-orang yang bijak tidak pernah berbangga dengan harta” (Syeh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fath al-Mu’in bi Syarhi Qurrati al-‘Ain [Surabaya: Nurul Huda], h. 106).

Pendapat lain yang memperhitungkan kekayaan termasuk dalam kafa’ah, mendasarkan pendapatnya dengan nafkah yang diberikan suami pada istri. Jika perempuan dinikahi oleh laki-laki miskin, maka ia akan dinafkahi dengan kekurangan. Keadaan ini dinilai akan merugikan perempuan. Diungkapkan oleh Al Khatib asy-Syirbini sebagai berikut:

وَالثًّانِي يُعْتَبَرُ لِأَنَّهُ إِذَا كَانَ مُعْسِرًا لَمْ يُنْفِقْ عَلَى الْوَلَدِ وَتَتَضَرَّرُ هِيَ بِنَفَقَتِهِ عَلَيْهَا نَفَقَةِ الْمُعْسِرِيْنَ

Artinya, “pendapat yang kedua yaitu (kekayaan) dipertimbangkan (dalam kafa`ah). Karena apabila seorang suami itu miskin, ia tidak mampu menafkahi anaknya dan seorang istri akan dirugikan karena diberi nafkah layaknya nafkah orang miskin” (Al Khotib As-Syirbini, Al-Mughni al-Muhtaj [Beirut: Dar al-Fikr] juz 3 hal. 167).

Pendapat tersebut juga dirujuk oleh Imam Abu Bakr Syatha Muhammad Ad-Dimyati (w. 1310 H), (Lihat Abu Bakr Syatha Muhammad Ad-Dimyati as-Syafi’i, I’anatu at-Tholibin ‘ala Hilli Alfadzi Fathi Al-Muin (1997, III: 380). Bahkan dikatakan bahwa seorang wali yang menikahkan anak perempuannya dengan laki-laki yang miskin, sehingga ia kesulitan membayar mahar, maka pernikahan yang demikian itu tidak sah.

لَوْ زَوَّجَهَا وَلِيُّهَا بِالْإِجْبَارِ بِمُعْسِرٍ بِحَالِ صَدَاقِهَا عَلَيْهِ لَمْ يَصِحَّ النِّكَاحُ كَمَا مَرَّ وَلَيْسَ مَبْنِيًّا عَلَى اِعْتِبَارِ الْيَسَارِ، كَمَا قَالَهُ اَلَّزَرْكَشِي، بَلْ لِأَنَّهُبِخِسِّهِا حَقَّهَا، فَهُوَ كَمَا لَوْ زَوَّجَهَا مِنْ غَيْرِ كُفْءٍ

Artinya, “Jika seorang wali menikahkan anak perempuannya secara paksa dengan laki-laki yang kesulitan untuk membayar mahar perempuan tadi, maka pernikahannya tidak sah, sebagaimana yang telah disebutkan. Hal ini tidak menjadi landasan dipertimbangkannya aspek kekayaan, seperti pendapat Imam Zarkasyi. Akan tetapi pernikahan yang semacam itu seolah-olah merendahkan hak perempuan, yaitu seperti menikahkan perempuan dengan laki-laki yang tidak ideal (tidak se-kufu)” (Syamsuddin Muhammad bin Abu Al Abbas Ahmad bin Hamzah bin Syihabuddin Al-Ramli, Nihayatu al-Muhtaj ‘ala Syarh al-Minhaj [Beirut: Dar al-Fikr], 1404 H/1984 M, juz 6, h. 260).

Berpedoman dengan pendapat di atas yang paling sahih, kekayaan bukanlah menjadi syafat menikah ataupun parameter dalam menentukan suami. Akan tetapi hendaknya memilih suami yang mampu menafkahi istri dan anaknya sesuai dengan kebutuhan.

Tags : menikah , kaya , syarat

Berita Terkait