Ketika Menginap di Lokasi Tujuan, Apa Jama Qashar Salat Masih Diperbolehkan?

| Kamis, 05/08/2021 18:04 WIB
Ketika Menginap di Lokasi Tujuan, Apa Jama Qashar Salat Masih Diperbolehkan? Pintu masuk tol Palimanan macet panjang saat mudik lebaran tahun lalu.

RADARBANGSA.COM - Jama Qashar salat adalah salah satu keringanan yang diberikan Islam kepada umatnya. Salat yang diharuskan dikerjakan diwaktu yang telah ditentukan, bisa diakhirkan untuk digabungkan dengan salat yang lain. Selain itu jumlah rakaat salat juga teringkas menjadi dua rakaat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:  

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأرض فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُواْ مِنَ الصلاة إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الذين كفروا  

“Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu meng-qashar salat, jika kamu takut di serang orang kafir” (QS An-Nisa’: 101).

Tumpuan pelaksanaan salat qashar adalah berpergian jauh (safar thawil) meskipun tidak ada kekhawatiran atas serangan oleh pihak tertentu. Namun, yang harus dipahami adalah tentang batasan suatu perjalanan dianggap terputus (inqitha’ as-safar). Sebab dengan terputusnya suatu perjalanan, maka seseorang yang bepergian sudah tidak lagi diperbolehkan untuk menjama’ dan mengqashar salat.

Mengutip nu online, terputusnya perjalanan seorang musafir secara umum terbagi menjadi tiga keadaan,

1. kembali ke tempat tinggalnya (wathan). 

2. ketika berhenti di suatu tempat namun tidak ada keperluan (hajat) apa pun. Jika ia menginap di tempat tersebut selama empat hari lebih maka dihitung seperti kembali ke tempat tinggalnya. Sedangkan jika menginap di tempat tersebut kurang dari empat hari, maka perjalanannya tidak langsung terputus, namun perjalanan menjadi terputus jika ia menginap selama empat hari secara utuh.

3. ketika ia mampir di suatu tempat dengan adanya suatu keperluan (hajat). Jika keperluannya tidak akan selesai dalam jangka waktu empat hari, maka perjalanannya dianggap terputus dengan sampainya dia di tempat tersebut. Namun jika keperluannya bisa saja selesai setiap hari, sekiranya kurang dari empat hari. Maka perjalanannya tidak dihukumi terputus kecuali setelah melewati masa delapan belas hari. 

Segala perincian di atas tentang putusnya perjalanan (inqitha’ as-safar) yang menyebabkan seorang musafir tidak dapat mengqashar dan menjama’ shalat, berdasarkan referensi dalam kitab Hasyiyah I’anah at-Thalibin:  

وحاصل ما يقال فيه أنه رجع بعد سفره من مسافة القصر إلى وطنه انتهى سفره بمجرد وصول السور إن كان، سواء نوى الاقامة به أم لا، كان له فيه حاجة أم لا. وأما إذا رجع إلى غير وطنه، ولم يكن له حاجة، ونوى قبل الوصول إليه إقامة مطلقا أو أربعة أيام صحاح، وكان وقت النية ماكثا مستقلا، انتهى سفره بمجرد وصول السور أيضا. أما إذا لم ينو أصلا، أو نوى إقامة أقل من أربعة أيام، فلا ينتهي سفره بوصول السور، وإنما ينتهي بإقامة أربعة أيام صحاح، غير يومي الدخول والخروج.  

“Kesimpulan tentang permasalahan terputusnya bepergian, bahwa jika musafir (Orang yang bepergian) kembali dari bepergiannya dari jarak mengqashar shalat menuju tanah kelahirannya, maka terputus bepergiannya dengan sampai di batas desa, jika memang ada. Baik dia niat mukim ataupun tidak. Baik ada keperluan (hajat) ataupun tidak. Adapun ketika seseorang kembali (atau sampai) ke selain tempat tinggalnya dan dia tidak ada keperluan apa pun berkunjung di tempat tersebut dan sebelum sampai di tempat tersebut ia niat mukim secara mutlak, atau mukim selama empat hari secara utuh, dan ia dalam keadaan mandiri (tidak tergantung dengan siapa pun) maka bepergiannya dianggap terputus dengan melewati batas desa. Adapun ketika ia tidak niat sama sekali atau ia niat mukim kurang dari empat hari, maka bepergiannya tidak dianggap putus dengan melewati batas desa tersebut, tapi terputus dengan mukim di tempat tersebut selama empat hari selain hari ia sampai dan hari ia keluar dari tempat tersebut.  

وأما إذا كان له حاجة، فإن لم يتوقع انقضاءها قبل أربعة أيام، بل جزم بأنها لا تقضى إلا بعد الاربعة، انتهى سفره بمجرد المكث والاستقرار، سواء نوى الاقامة بعد الوصول أم لا. فإن توقع انقضاءها كل يوم، لم ينته سفره إلا بعد ثمانية عشر يوما صحاحا.  

“Sedangkan ketika ia berkunjung ke tempat selain tempat tinggalnya karena terdapat suatu keperluan (hajat), jika keperluannya tidak dapat selesai sebelum empat hari, tetapi butuh lebih dari empat hari, maka bepergiannya dianggap terputus dengan berdiamnya dia di tempat tersebut. Baik ia melakukan niat mukim setelah sampai di tempat tersebut ataupun tidak. Jika keperluannya bisa saja selesai setiap hari, maka bepergiannya tidak terputus kecuali setelah ia berada di tempat tersebut selama delapan belas hari secara utuh” (Syekh Abu Bakar Muhammad Syatha, Hasyiyah I’anah at-Thalibin, juz 2, hal. 116)

 

Tags : Jama Qashar Salat

Berita Terkait