Aktivis Kemanusiaan, Diovio Alfath Raih The Emerging Young Leaders Award 2018 di AS

| Selasa, 08/05/2018 22:34 WIB
Aktivis Kemanusiaan, Diovio Alfath Raih The Emerging Young Leaders Award 2018 di AS Diovio Alfath (foto: Facebook Diovio Alfath)

JAKARTA, RADARBANGSA.COM - The Emerging Young Leaders Award 2018 adalah penghargaan bergengsi yang diberikan oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) di Washington D.C, AS untuk 10 pemimpin muda global di seluruh dunia yang telah menunjukkan keberanian dan keuletan dalam mempromosikan perdamaian yang berkelanjutan. Inisiatif ini dimulai di bawah pemerintahan Obama pada tahun 2016. Penghargaan diberikan dalam upacara publik di Burn Auditorium, Marshal Center, Departemen Luar Negeri AS, Washington, D.C. 


Para penerima penghargaan tahun 2018 adalah: 
a. Sara Abdullah Abdulrahman, Irak b. Diovio Alfath, Indonesia
c. Ece Çiftçi, Turki
d. Tanzil Ferdous, Bangladesh 
e. Zina Salim Hassan Hamu, Lithuania f. Dania Hassan, Pakistan
g. Nancy Herz, Norwegia
h. Isasiphinkosi Mdingi, Afrika Selatan i. José Rodríguez, Panama 
j. Firuz Yogbekov, Tajikistan

10 pemuda yang luar biasa tersebut mengunjungi Amerika Serikat untuk program intensif, dari 29 April hingga 12 Mei 2018, yang dirancang khusus untuk memperluas kapasitas kepemimpinan mereka, memperkuat pengetahuan mereka tentang strategi manajemen di sektor nirlaba, pemerintah dan swasta, belajar dan berbagi best practices, dan memperluas jaringan sumber daya dan dukungan mereka dalam membangun perdamaian, memerangi ekstremisme, dan memberdayakan pemuda. 

Indonesia menerima penghargaan tersebut melalui pemimpin mudanya yang bernama Diovio Alfath, setelah dinominasikan oleh Kedutaan Besar AS di Jakarta.

Diovio Alfath adalah seorang pemimpin muda dan aktivis hak asasi manusia berusia 23 tahun, dia adalah pendiri dan direktur eksekutif Sandya Institute, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang berfokus pada perlindungan dan pemberdayaan kelompok- kelompok minoritas dan pengungsi di Indonesia melalui pembangunan perdamaian, melawan ekstrimisme kekerasan dan advokasi hak asasi manusia.

Program-programnya termasuk Sekolah Perdamaian dan Hak Asasi Manusia, yaitu serangkaian seminar dan pelatihan untuk mahasiswa dan profesional muda tentang isu-isu pluralisme dan hak asasi manusia, penelitian Buku Know Your Rights, penelitian dan penulisan buku panduan untuk minoritas agama, ras, etnis, seksualitas dan pengungsi, yang berisi informasi hukum dan kontak darurat, dan juga Sunrise Refugee Learning Center, pusat pembelajaran bagi pencari suaka dan pengungsi di Indonesia yang didirikan atas kerjsamanya dengan Garda Bangsa dan UNHCR (Lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menangani permasalahan pengungsi) yang mengajarkan bahasa Inggris, Indonesia, pengetahuan budaya dan hukum, yang telah mengajar lebih dari 150 pencari suaka dan pengungsi dari Afghanistan, Ethiopia, Somalia, Pakistan, Suriah, Vietnam, Irak dan Iran.

Diovio Alfath telah aktif terlibat dalam kegiatan kepemimpinan sejak usia yang sangat muda. Pada tahun 2014, ia diundang untuk bertemu dan berdiskusi dengan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Ban Ki Moon dan para pemimpin dunia di United Nations Alliance of Civilization Global Forum di Bali, dia terinspirasi pada acara tersebut dan kemudian memutuskan untuk membuat platform pemuda untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik dan untuk membawa kedamaian dan harmoni di Indonesia.

Sebagai pemimpin muda, Diovio mengidolakan KH Abdurrahman Wahid, Bapak pluralisme Indonesia yang mengajarkan kita tentang tenggang rasa dan toleransi terhadap kelompok minoritas di Indonesia, itulah yang dikatakan Diovio kepada dunia dalam sebuah talkshow yang dipimpin oleh Assistant Secretary Marie Royce, di hadapan para diplomat, Duta Besar dan ratusan undangan dari seluruh dunia. Dia juga berbicara bahwa dia didorong oleh semangat untuk memperjuangkan keadilan karena melihat penganiayaan yang terjadi pada orang-orang di sekitarnya.

Dalam talkshow itu, Diovio juga mengingatkan kita bahwa Indonesia telah mengalami kebangkitan ekstremisme agama dan di tengah krisis pengungsi global. Minoritas di Indonesia terus menghadapi penganiayaan yang sebagian besarnya didorong oleh eksklusivitas dan superioritas pengikut agama tertentu. Sebagai negara transit bagi para pengungsi, Indonesia kini menangani 13,800 pengungsi yang kebanyakan berasal dari Timur Tengah, Afrika Utara, Asia Selatan dan Myanmar, karena Indonesia bukan penandatangan Konvensi Pengungsi 1951, hak-hak pengungsi di Indonesia terbatas dan mereka sekarang tinggal dalam situasi yang memprihatinkan.

Tags : Aktivis Kemanusiaan ,

Berita Terkait