Maklumat Soedurisme

| Senin, 02/04/2018 09:54 WIB
Maklumat Soedurisme Abdul Muhaimin Iskandar (Wakil Ketua MPR RI).

RADARBANGSA.COM - Republik Indonesia diproklamasikan tidak dengan modal kelimpahan, tapi dengan kapital keterbatasan. Para pahlawan bangsa berperang dengan amunisi seadanya, apa saja yang bisa dicabut dari alam sekitarnya. Para syuhada mengisi kekuatan tenaga perjuangan tidak dengan makanan bergizi, tapi oleh tirakat dan lantunan doa yang nyaris tidak pernah berhenti. Para pendiri negara menjelajahi pelosok negeri dengan uang yang cekak, tapi mereka yakin hati dan pikiran merupakan sumber mata air yang tak bisa dirisak. Intinya, Indonesia ditegakkan dengan defisit sumber daya, namun surplus idea. Kelimpahan gagasan mengatasi keterbatasan pasokan.

Perkara gagasan itulah yang membuat Soekarno melambung (bersama dengan perintis negara lainnya, semacam Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Agus Salim, dan lain-lain). Soekarno bukan sekadar produsen slogan, seperti "Merdeka atau Mati", tapi juga pabrik pikiran yang mengalasi pondasi bernegara dan sekaligus politik pembangunan. Soal falsafah bernegara, Soekarno amat fasih menerangkan mengapa Republik ini mesti mengusung tema "Kebangsaan-Kemanusiaan-Internasionale". Indonesia yang merupakan mozaik keberagaman (suku, agama, ras) mesti diikat dengan kesadaran untuk bersekutu di atas keyakinan menegakkan kedaulatan. Nasionalisme kebangsaan dibentuk tidak dengan membuka aneka perbedaan, tapi menyatukan keragaman demi hajat kemerdekaan dan hidup bersama.

Sementara itu, kemanusiaan merupakan jantung persatuan bangsa. Ruh persaudaraan adalah inti dari kemanusiaan. Tiap manusia setara berhadapan dengan manusia lainnya. Tidak boleh terjadi penindasan antara manusia yang satu terhadap manusia atau kelompok masyarakat yang lainnya. Praktik eksploitasi harus dicabut sampai akarnya. Inilah yang menjadi bingkai persatuan, ketika antarmanusia diikat oleh tali persaudaraan dan keadilan. Pada akhirnya, sebuah negara harus menyusun masa depan dengan kerjasama. Kolaborasi mesti menyebar hingga melampaui batas negara. Sebuah bangsa didirikan bukan untuk mengisolasi, namun saling bergandengan dengan bangsa lainnya demi kedaulatan dan kemakmuran abadi. Kerjasama internasional dikerjakan dengan semangat saling memajukan, bukan mematikan. Poros kolaborasi antarnegara dihidupkan dengan panji-panji saling merawat kemerdekaan.

Bagaimana halnya dengan teknokratisme pembangunan? Soekarno menjulang berkat tiga bangunan kokoh berikut. Pertama, kolonialisme dan imperialisme harus ditebas habis. Ekonomi ditegakkan dengan meletakkan otoritas penuh negara untuk mengurusnya. Segala kebijakan diputuskan oleh pemerintah yang berdaulat, bukan didikte oleh kekuatan negara lain yang tidak punya hormat. Kolonialisme mengindikasikan penetrasi negara lain yang mencaplok otoritas yang dimiliki oleh bangsa yang telah meraih independensi. Imperialisme adalah penghisapan ekonomi oleh kekuatan modal dan teknologi tanpa harus melakukan invasi. Kolonialisme dan imperialisme hakikatnya sama: melumpuhkan kekuatan domestik untuk mengkonsolidasikan sumber daya ekonomi.

Kedua, rakyat sebagai subyek berdaulat dalam kegiatan ekonomi. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan adalah benih yang ditanam oleh Bung Hatta untuk memerkuat gagasan subyek berdaulat tersebut. Soekarno meyakini bahwa kemandirian (self reliance) dan saling bergotong royong (self-help) merupakan penyangga kekuatan ekonomi bangsa. Rakyat bekerja memanfaatkan sumber daya ekonomi (alam) yang ada, bukan tergantung dari bantuan atau investasi negara lain. Gerakan ekonomi rakyat ini berjalan seiring dengan perkembangan pengetahuan dan pengalaman, tidak melompat dan mengikuti jejak model negara lain yang mempunyai karakter sosio-ekonomi berbeda. Tiap bangsa punya peta jalan dan identitas ekonomi secara mandiri.

Ketiga, penguasaan negara dalam perencanaan, kebijakan, dan eksekusi pembangunan. Perencanaan adalah penentu arah agar pembangunan tidak dikendalikan oleh kekuatan modal (swasta maupun bangsa lain). Rencana Pembangunan Semesta Berencana pada masa Soekarno merupakan kompas yang menunjukkan arah politik pembangunan yang tak lepas dari tali konstitusi. Demikian pula, kebijakan dan peraturan ekonomi harus disiplin memerkuat cita-cita bangsa yang sudah dirumuskan dalam konstitusi. Kebijakan ekonomi tidak boleh melenceng dari nafas proklamasi. Pada titik ini, eksekusi pembangunan tidak sekadar sebagai efektivitas manajemen pemerintahan, melainkan juga daya dobrak perubahan untuk menyusun struktur ekonomi baru yang bertumpu kepada bangun ekonomi rakyat.

Dalam kurun waktu satu generasi kemudiaan, Indonesia masih dibasahi dengan idea-idea besar dan figur yang paling berpengaruh adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dia berpengaruh karena mengombinasikan tiga kekuatan raksasa di dalam dirinya: agamawan, cendekiawan, dan budayawan. Bila Soekarno menjulang mewakili kaum nasionalis, Gus Dur melangit merepresentasikan kaum santri penyangga Republik. Cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) ini meneruskan warisan Islam sebagai pengayom keragaman bangsa. Islam menyumbangan nilai-nilai (relijiusitas) tanpa perlu menjadi identitas formal negara. Dia juga cendekiawan yang terus konsisten merawat supremasi sipil sebagai dasar penyelenggaraan demokrasi. Dan, sebagai budayawan, tak henti memerjuangkan sistem nilai Nusantara sebagai bahan baku menapaki praktik bernegara. Indonesia harus menjadi tanah subur bagi persemaian budaya.

Seperti halnya Soekarno, Gus Dur juga merambah politik (praktis) dengan mendirikan partai politik dan kelak menjadi Presiden RI. Pada saat menjabat Presiden dalam periode yang singkat (2 tahun), Gus Dur segera memunculkan jati dirinya yang amat jelas. Pertama, supremasi sipil ditegakkan, antara lain mengembalikan tentara ke barak, membubarkan Kementerian Penerangan, dan memilih Menteri Pertahanan dari kelompok sipil. Sebagai aktivis yang berada di akar rumput selama puluhan tahun, Gus Dur paham bahwa negara mesti diasupi pikiran dan tindakan sehat yang berasal dari kebebasan menyampaikan pendapat dan berserikat. Ini yang menyebabkan ia gigih bertarung menyuburkan demokrasi. Tak pernah mundur sejengkal pun meski laku ini kemudian "memangsa" dirinya sendiri. Ia tetap tegak membela eksistensi demokrasi.

Kedua, pluralisme dijaga dan diberi hak eksistensi sesuai pesan konstitusi  Sebagian agama dan kepercayaan yang dianut oleh beberapa masyarakat, yang sebelumnya tidak diakomodasi oleh negara, dilegalisasikan oleh Gus Dur, termasuk peringatan hari rayanya. Meski kritik berhamburan, tidak sedikit pun ada sikap keraguan Gus Dur untuk mengambil keputusan tersebut. Ketiga, mempromosikan persatuan dengan membangun dialog dan kepercayaan, serta pada saat yang sama terus mengupayakan terselenggaranya keadilan. Pada masanya, urusan Papua dan Aceh bisa dibereskan sehingga hubungan antara pemerintah pusat dan daerah kembali dipulihkan. Tak ada lagi kecurigaan karena semuanya dikerjakan dengan alas kejujuran, saling menghormati, dan mengedepankan konsensus. Persatuan dan kesatuan tegak kembali.

Gus Dur tumbuh di kalangan santri dan berjuang bersama masyarakat akar rumput. Latar itu pula yang membentuk sebagian besar pemikiran ekonominya, termasuk ketika menjadi Presiden. Pemikiran ekonomi Gus Dur ditegakkan oleh lima pilar dan sekaligus menjadi praksis gerakannya. Pertama, Gus Dur lebih memilih memakai istilah "ekonomi rakyat" ketimbang "ekonomi kerakyatan" untuk memastikan bahwa yang terjadi di lapangan adalah gerakan ekonomi yang dikuasai dan dilakukan oleh rakyat (kecil). Sementara itu, ekonomi kerakyatan kerap disandera oleh elitisme yang seakan memerjuangkan kepentingan rakyat, namun sumber daya ekonomi tak sepenuhnya diberikan dan dimiliki oleh rakyat. Implikasinya, istilah yang terakhir ini hanya ingin menunjukkan keberpihan, bukan gerakan (ekonomi rakyat).

Kedua, ekonomi harus berbasis sumber daya lokal. Itu sebabnya Gus Dur menekankan pembangunan pertanian (dalam pengertian luas), termasuk kelautan. Pada zamannya, dibentuk Kementerian Kelautan, untuk memastikan nasib nelayan (bukan cuma petani) diurus dengan layak. Gus Dur juga percaya bahwa sektor keuangan menjadi sumbu gerakan ekonomi, sehingga muncul ide membentuk bank yang berorientasi kepada wilayah perdesaan (misalnya mendirikan BPR Nusumma). Ketiga, stabilitas harga pangan menjadi pertaruhan untuk menjaga daya beli masyarakat. Pada masanya, peran Bulog sangat efektif menjaga harga pangan. Petani memeroleh harga yang bagus dan daya beli konsumen terjaga karena harga yang terjangkau. Ini kombinasi kebijakan yang tidak mudah dilakukan, namun bisa dicapai dengan mengesankan.

Keempat, pertumbuhan ekonomi berjalan seiring dengan pemerataan. Pencapaian fantastis diperoleh saat Gus Dur menjabat sebagai Presiden: pertumbuhan padu dengan pemerataan. Gus Dur cuma butuh dua tahun untuk menurunkan ketimpangan menjadi 0,31 pada 2001, padahal 2 tahun sebelumnya mencapai 0,37. Itu adalah rekor terendah rasio gini di Indonesia. Hebatnya, penurunan ketimpangan itu diraih saat pertumbuhan melompat tinggi pasca-krisis ekonomi 1997/1998. Sebelumnya pertumbuhan ekonomi negatif, di zamannya menjadi positif. Belum berakhir di situ, utang pemerintah juga berhasil diturunkan secara nominal dan membuat rasio utang terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) yang terendah dalam sejarah ekonomi. Pada saat itu rasio pajak (tax ratio) juga melesat tinggi sehingga menjadi sumber penerimaan fiskal yang penting sebagai pengganti utang. Semua ini dikerjakan dengan mengandalkan resep racikan sendiri, tak menggantungkan kepada saran IMF dan Bank Dunia yang terbukti gagal di banyak negara.

Kelima, seperti halnya Soekarno, Gus Dur yakin dengan relasi antarnegara yang bisa saling menumbuhkan. Dalam isu globalisasi, Gus Dur bukanlah termasuk kaum penentang. Namun, ia memanfaatkan kesempatan tersebut untuk membangun kerjasama ekonomi dengan negara lain yang dianggap strategis bagi penguatan ekonomi nasional, sekaligus punya daya pengaruh besar pada lapak internasional. Itulah yang menjadi sebab Gus Dur menginisiasi Poros "Jakarta-New Delhi-Beijing" karena dianggap tiga negara itu bisa membangun kolaborasi yang menguntungkan dan sekaligus mengurangi ketegangan antara dua blok ekonomi (AS dan Rusia). Terbukti, sekarang pikiran itu benar belaka. Cina dan India telah menjadi pemain besar ekonomi dunia dan lanskap ekonomi internasional banyak dipengaruhi oleh kebijakan dua negara tersebut.

Dengan begitu, kedua tokoh besar bangsa ini mewakili perkawinan pemikiran vital bangsa: kebangsaan dengan sendi nilai agama. Kemanusiaan yang disangga oleh etos kerakyatan. Juga persatuan yang dibingkai di atas hamparan pluralitas. Kebangsaan tanpa spirit relijiusitas akan mudah terkoyak. Agama menjadi sumber nilai bangsa, tapi tidak perlu ditarik menjadi tali formal bernegara karena akan membuka aneka perbedaan yang berserak. Relasi antarmanusia tidak boleh saling menindih dan itu intisari dari humanisme yang sahih. Tak boleh dialpakan, kemanusiaan mesti didasari oleh spirit kerakyatan, yang bermakna terbangunnya persaudaraan dan goyong royong untuk mengupayakan kemakmuran bersama. Persatuan juga gampang patah jika dasarnya bukan kesadaran untuk memperjuangkan agenda bersama di tengah ragam perbedaan latar belakang. Persatuan yang abadi juga harus dihela oleh terbitnya keadilan.

Kerangka dasar bernegara itu lantas menjelma menjadi politik pembangunan dan teknokratisme ekonomi ketika keduanya menjadi Presiden. Jika keduanya dispostulatkan dalam gugus gagasan, maka akan diperoleh lima identitas ekonomi menonjol. Pertama, kedaulatan ekonomi adalah syarat dasar yang tidak bisa ditawar. Kolonialisme dan imperialisme adalah ladang kotor yang harus dibersihkan. Tidak boleh ada dikte dalam formulasi kebijakan, seluruhnya merupakan ide utuh dari kepentingan bangsa. Kedua, peran negara dalam perekonomian harus kuat, bukan hanya sekadar pembuat regulasi. Negara juga menjadi perencana pembangunan yang efektif dan pelaku aktif yang diperankan oleh BUMN sesuai mandat konstitusi. Negara eksis untuk menjaga dan menyelamatkan hajat publik yang tidak seluruhnya dapat ditopang oleh sektor swasta.

Ketiga, ekonomi rakyat dan organisasi ekonomi rakyat adalah praksis gerakan ekonomi. Sumber daya ekonomi dikuasai oleh rakyat dan dikonsolidasikan melalui organisasi ekonomi rakyat, yakni koperasi. Sektor ekonomi pertanian dan perdesaan merupakan inti ekonomi rakyat (di dalamnya juga pesantren), termasuk mengupayakan berdirinya sektor keuangan perdesaan. Keempat, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan (keadilan) harus dicapai bersamaan. Kekuatan ekonomi domestik menjadi titik tumpu utama, bukan utang luar negeri atau investasi asing yang kerap menggema. Sumber pendanaan pembangunan dari dalam negeri dioptimalisasikan, khususnya dari pajak. Kelima, kerjasama ekonomi dengan negara lain difokuskan untuk memerkuat potensi ekonomi domestik, membangun poros strategis, dan dijalankan dengan semangat kesetaraan. Globalisasi dijalani dengan kecerdasan untuk mengambil peluang ekonomi dan menegakkan kedaulatan.

Inilah maklumat kerangka dasar bernegara paripurna, yang merupakan cahaya pemikiran dan menyerap gagasan raksasa Soekarno dan Gus Dur (SOEDURISME). Republik Indonesia akan berkibar jika memahami dan mengamalkan warisan dari tokoh bangsa ini. Wallahu a`alam bisshawab.

Abdul Muhaimin Iskandar
Wakil Ketua MPR RI

Tags : Soedurisme , Cak Imin

Berita Terkait