PMII dan HMI: Dua Jalan Menjadi Pemimpin

| Selasa, 22/07/2025 05:41 WIB
PMII dan HMI: Dua Jalan Menjadi Pemimpin M. Hanif Dhakiri (foto: istimewa)

Oleh: M. Hanif Dhakiri
Peminum Kopi Pinggir Panggung 

Beberapa waktu lalu, Gus Muhaimin Iskandar membuat pernyataan yang menarik perhatian. Dalam forum Rakernas dan pelantikan PB IKAPMII, ia mengatakan, “Kalau ada PMII nggak tumbuh dari bawah, itu pasti bukan PMII. Pasti itu HMI.”

Pernyataan ini segera ramai dibahas. Ada yang menanggapinya dengan tawa, ada yang menyambutnya dengan bangga, tapi tidak sedikit juga yang merasa tersinggung. Sebagian dari kalangan HMI membalas dengan kritik, sebagian lain menyindir balik. Namun jika dicermati tanpa prasangka organisasional, kalimat itu sebetulnya menyentuh satu pokok penting: bagaimana seorang kader dibentuk, dan dari jalan mana ia sampai ke kekuasaan.

Dalam konteks politik hari ini, pertanyaan itu sangat relevan. Kita makin sering melihat figur-figur yang tiba-tiba muncul di panggung kekuasaan tanpa jejak proses yang nyata. Mereka naik bukan karena pengabdian atau pengalaman sosial, melainkan karena koneksi, pencitraan, atau keberuntungan semata. Di sinilah pernyataan Gus Muhaimin dapat dibaca sebagai pengingat: bahwa proses itu penting. Cara seseorang tumbuh akan mempengaruhi cara ia memimpin.

PMII: Tumbuh dari Akar

PMII, atau Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, tumbuh dari kultur pesantren dan komunitas Nahdliyyin. Lingkungannya membentuk kader dari bawah: dari masjid-masjid kecil, madrasah kampung, hingga forum-forum diskusi yang digerakkan oleh keresahan sosial.

Kader PMII umumnya memulai prosesnya dengan menjadi guru ngaji, aktivis pelajar, pendamping masyarakat, atau penggerak advokasi warga. Mereka terbiasa bekerja tanpa sorotan, tapi punya daya tahan tinggi. Mereka tumbuh pelan, tapi punya akar yang dalam. Dalam proses itu, mereka belajar langsung dari masyarakat. Tentang kemiskinan, tentang ketimpangan, tentang negara yang sering abai.

Karena itu, kader PMII tidak asing dengan realitas di lapangan. Mereka tahu bagaimana rasanya menunggu kejelasan bantuan sosial. Mereka tahu betapa rumitnya mengurus surat di kantor desa. Dan ketika mereka akhirnya masuk ke panggung kekuasaan, pengalaman itu ikut mereka bawa.

Di banyak daerah, kader PMII justru mengisi ruang-ruang sosial yang sering luput dari perhatian negara. Mereka membantu warga mendapatkan haknya, menjadi jembatan antara aspirasi rakyat dan kebijakan pemerintah, bahkan kadang menjadi satu-satunya saluran advokasi di wilayah terpencil. Hal-hal seperti inilah yang membentuk daya tahan mental sekaligus kedalaman politik kader PMII. Mereka tidak bicara rakyat hanya di seminar, tapi benar-benar hidup bersama rakyat itu sendiri.

HMI: Akses ke Pusat

HMI, atau Himpunan Mahasiswa Islam, tumbuh dalam konteks yang berbeda. Ia lahir di kampus-kampus besar, dalam tradisi modernisme Islam dan semangat kebangsaan. Sejak awal, HMI membentuk kader yang siap terlibat langsung dalam sistem. Mereka didorong untuk tampil, untuk berpikir sistemik, dan untuk mengisi ruang-ruang kekuasaan dari dalam.

Kader HMI terbiasa menulis di media, bicara di forum, dan membangun jejaring sejak dini. Banyak dari mereka yang masuk ke lembaga-lembaga negara bahkan sebelum lulus kuliah. Tak heran jika sebagian cepat mencapai posisi penting: staf ahli, komisaris, bahkan pejabat struktural.

Itu bukan sesuatu yang salah. Negara memang butuh orang yang paham sistem dan siap bekerja dengan efisien. Tapi jalur cepat kadang punya risiko. Ketika proses refleksi sosial dilewati, empati bisa tipis. Ketika pengalaman hidup di bawah tak pernah dilalui, kepemimpinan bisa kering dan teknokratis belaka.

Kader HMI unggul dalam hal artikulasi gagasan dan mobilitas ke pusat kekuasaan. Tapi sebagian kritik juga datang dari dalam: tentang pentingnya grounding sosial agar kekuasaan yang dicapai tak menjadi sekadar pencapaian pribadi. Sebab, sebagus apa pun visi seseorang, ia akan hampa jika tidak menyentuh realitas sehari-hari warga biasa. Di sinilah HMI juga terus ditantang untuk memperkuat akar, bukan hanya memperluas akses.

Bertumbuh dalam Proses

Tulisan ini tidak sedang membandingkan siapa yang lebih baik. PMII dan HMI adalah dua jalur yang sah. Keduanya telah melahirkan banyak pemimpin penting di republik ini. Yang perlu digarisbawahi adalah pentingnya menjaga proses kaderisasi, agar siapa pun yang naik ke atas, tidak lupa apa yang ada di bawah.

Karena pada akhirnya, bangsa ini tidak hanya butuh orang pintar, tapi orang yang paham hidup. Tidak cukup pemimpin yang fasih bicara konsep, tapi yang juga tahu letak gang sempit di belakang pasar. Tidak cukup paham angka, tapi juga pernah mencicipi harga beras naik. Kita butuh pemimpin yang bisa bicara di ruang kabinet, tapi juga mau duduk lesehan bersama rakyat.

PMII dan HMI bisa jadi dua jalan berbeda, tapi tujuannya sama: membentuk pemimpin yang siap mengabdi, bukan sekadar duduk. Dan jika dua jalan ini tidak saling menegasikan, tapi justru saling menguatkan, mungkin dari situlah muncul kepemimpinan baru: yang berakar kuat, tapi juga terhubung ke puncak.

Kita tidak kekurangan orang pintar. Tapi kita kekurangan mereka yang tumbuh melalui proses yang benar.***

Tags : PMII , HMI , Hanif Dhakiri