Tantangan Pemuda Dalam Membangun Kebhinekaan di Era Komunikasi Digital

| Senin, 04/12/2017 15:55 WIB
Tantangan Pemuda Dalam Membangun Kebhinekaan di Era Komunikasi Digital Tokoh Pemuda Garda Bangsa, Billy Aries

JAKARTA, RADARBANGSA.COM - Indonesai sedang berubah. Era digital telah menghadirkan kesempatan dan tantangan bagi kemajuan Indonesia sekaligus. Perubahan yang tengah terjadi memeberikan pengaruh sangat besar dalam aspek ekonomi, sosial, dan politik sekaligus. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2016 menyatakan bahwa pertumbuhan kota dan perkotaan 56,7% pada tahun 2020. Artinya separuh penduduk Indonesai akan tinggal diperkotaan. Hal ini akan memberikan pengaruh pada pola hidup, pola konsumsi, pola kebutuhan energy dan lain sebagainya. Bahkan dalam survey yang diadakan oleh world Bank pertumbuhan kota di Indonesia terbesar kedua di Asia setelah Tiongkok yang mencapai 11 % setiap tahun.

Selain itu, pada tahun 2020 diperkirakan 62,8 % penduduk Indonesia menjadi middle class baru yang berkorelasi dengan gaya konsumsi, makanan, gaya hidup, peningkatan terhadap kwalitas hidup dan lain sebagainya. Yang paling mengagumkan adalah 34 % penduduk Indonesia pada tahun 2020 diperkirakan akan diisi generasi millennial yang berusia antara 15-39 tahun yang mengubah perilaku dan gaya hidup masyarakat Indonesia. Mereka aktif menggunakan sosial media baik Face book ataupun Twitter, dan Instagram. Mereka sangat aktif menggunakan media online sebagai sumber informasi. Hal ini merubah tata nilai yang dianut dan juga potensi ekonomi yang akan membawa kepada kesejahteraan.

Fenomena Intoleransi Dikalangan Pemuda
Dalam survey yang diadakan oleh polmark Indonesia, potensi intolerasi masih menjadi ancaman di Indonesai. Sebanyak 5,3 % menganggap persoalan diskriminasi ras, suku dan agama masih terjadi di Indonesia. Selain itu, kemiskinan, meningkatnya kebutuhan-kebutuhan pokok, sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan dan korupsi juga menjadi persoalan yang menjadi perhatian mayoritas bangsa Indonesia. Bahkan secara spesifik, terorisme dan menguatnya kelompok fundamentalis serta perbedaaan pandangan antar kelompok masyarakat masih juga menjadi salah satu persoalan di Indonesia.

Senafas dengan hal tersebut, hasil survey Wahid Foundation menyatakan bahwa kecenderungan intoleransi dan radikalisme banyak tersebar dalam kelompok muda, terutama dikalangan aktivis rohis di sekolah-sekolah umum. Setidaknya 96 orang (6%) mengaku mendukung ISIS. Jumlah ini meningkat jauh jika dikaitkan dengan dukungan terhadap para pelaku terorisme seperti Amrozi atau Abu Bakar Baasyir yang mencapai (33%, 541 responden). Mereka dapat dikatakan calon-calon potensial “pengantin” (pelaku bom bunuh diri). Mereka sudah memiliki “bahan” untuk terlibat dalam aksi terorisme jika ada kelompok radikal atau teroris yang betul-betul menggarapnya.

Sikap intoleransi itu dapat juga dilihat dalam Ketidaksediaanya untuk bertetangga dengan anggota kelompok-kelompok yang tidak disukai. Selain itu ekspresi intoleransi juga dapat dilakukan dalam bentuk Ketidaksediaan untuk menerima anggota kelompok-kelompok yang tidak disukai untuk berekspresi dalam bentuk pidato dan pawai yang dijamin menurut undang-undang dalam kebebasan berkepresi. Ekspresi lainnya, dapat dilihat melalui ketidaksediaan untuk menerima anggota kelompok-kelompok yang tidak disukai menduduki jabatan publik, yaitu guru dan pejabat pemerintah lainnya.

Terhadap fenomena intolerensi ini, yang paling kentara adalah sikap terhadap kepemimpinan yang tidak se agama. Dalam rilisnya, Centre for Srategic and International Studies (CSIS) melansir hasil survey yang menemukan fakta bahwa 53,7 % generasi millennial tidak bisa menerima keberadaan pemimpin yang berbeda agama.

Ajakan Perang Melawan Paham Radikal dan Hoax
Fenomena intoleransi dan radikalime di kalangan pemuda merupakan tantangan zaman Now. Potensi bonus demografi yang akan mendatangkan keuntungan ekeonomi dan kesejahteraan bisa pupus saat kita tidak bisa mengatasi fenomena intoleransi dan kelompok anti toleran.
Paham intoleran dapat tumbuh subur dengan memanfaatkan social media. Penetrasi penggunaan internet yang naik pesat dikalangan pemuda merupakan kesempatan sekaligus ancaman. Pengguna internet dikalangan muda merupakan kelompok rentan yang mudah terbawa oleh paham-paham intoleran. Berita palsu dan informasi-informasi yang tidak benar dapat saja menjadi pemantik tumbuh suburnya paham radikal dan paham-paham intoleran lainnya.

Himbauan yang disampaikan oleh para petinggi dan tokoh-tokoh di Indonesai untuk memerangi berita hoax dan paham intolerasni serta radikal dapat kita acungi jempol. Salah satu tokoh yang beruara lantang menyuarakan hal itu adalah A. Muhaimin Iskandar. Melalui akun twiternya, Cak imin mengajak anak-anak muda menjadi pahlawan bagi Indonesia dengan memerangi hoax, intoleransi dan radikalisme di jagat media Indonesia.
Penyebaran paham paham intoleransi dan radikal di media sosial dan internet sebanarnya bukanlah sesuatu yang sepela. Menurut Freedom on the Net 2017, yang dirilis oleh Freedom House menyampaikan bahwa taktik manipulasi dan disinformasi online memainkan peran penting pelemahan demokrasi dan dalam pemilihan di setidaknya 18 negara selama setahun terakhir, termasuk Amerika Serikat, yang merusak kemampuan warga negara untuk memilih pemimpin mereka berdasarkan berita faktual dan perdebatan otentik. Manipulasi konten berkontribusi pada tahun ketujuh berturut-turut penurunan kebebasan internet secara keseluruhan, bersamaan dengan meningkatnya gangguan pada layanan mobile internet dan peningkatan pembela fisik dan teknis dan media independen.

Upaya upaya kelompok intoleran menggunakan media sosial untuk menekan perbedaan pendapat dan memajukan agenda antidemokrasi. Tidak hanya manipulasi ini yang sulit dideteksi, lebih sulit lagi adalah melawan segala jenis penyensoran lainnya, seperti pemblokiran situs web. Pembuatan dukungan akar rumput untuk paham intoleran berkembang di media sosial menciptakan lingkaran tertutup di mana rezim paham intoleran pada dasarnya mendukung dirinya sendiri, meninggalkan kelompok independen dan warga biasa di luar kelompoknya.
Manupulasi melalui media sosial ini juga terjadi di Filipina, anggota "tentara keyboard" ditugaskan untuk memperkuat kesan dukungan luas dari tindakan keras brutal pemerintah terhadap perdagangan narkoba. Sementara itu, di Turki, dilaporkan 6.000 orang telah didaftarkan oleh partai yang berkuasa untuk melawan lawan-lawan pemerintah di media sosial.

Saatnya kita ajak anak muda untuk memerangi paham paham intoleran yang mulai tumbuh di Indonesia.

Tags : Zaman Digital , Tantangan dan Peluang

Berita Terkait