Hukum Jual Beli Sistem COD dengan Unsur Spekulasi

| Selasa, 27/07/2021 13:07 WIB
Hukum Jual Beli Sistem COD dengan Unsur Spekulasi Cash on Delivery (foto:NdeCargo)

RADARBANGSA.COM - Jual beli dengan sistem COD (Cash on Delivery) merupakan salah satu sistem yang sedang marak digunakan ketika berbelanja online. Sistem COD adalah dimana ketika penjual terlebi dahulu mengirimkan barang ke alamat pemesan, baru setelah barang itu diterima, pihak pembeli langsung melalui si pengantar barang atau mentransfer harganya ke rekening penjual.

Sistem COD mengandung unsusr spekulasi (ghahar) yang tentunya berpotensi merugikan penjual maupun pembeli. Untuk penjual, terkadang kehilangan barang bisa terjadi dan bagi pembeli terkadang ia mau tidak mau harus membayar barang yang tidak sesuai pesananya.

Lantas apakah sistem jual beli COD diperbolehkan dalam islam?

Mengutip nu online, jika mengesampingkan adanya kecurangan dibalik pola COD dan fokus pada praktik yang mengandung ghahar di dalam akad oesan semacam ini.

Pertama, akad transaksi online merupakan akad yang menerapkan kaidah transaksi salam (pesan/order).  

Hukum mengenai akad transaksi salam ini, pada dasarnya adalah dua, yaitu:

1. Menurut para ulama aktsarin (mayoritas ulama), hukumnya adalah tidak boleh karena ada gharar (spekulasi) di dalamnya. Para ulama ini berpandangan bahwa akad jual beli hanya sah apabila dilakukan secara tatap muka di majelis akad, dan pembeli langsung bisa melihat barangnya.

2. Menurut jumhur ulama, yang terdiri dari para ulama yang berafiliasi ke hukum administrasi pemerintahan (seperti al-Mawardi), hukumnya adalah boleh karena alasan dlarurah li hajati al-nas (sangat penting dan dibutuhkan masyarakat). Untuk mengeliminasi dampak dari gharar (spekulasi) maka diperlukan strategi untuk mengatasinya, yaitu: (a) karakteristik barang harus jelas, (b) barang tidak mudah berubah, (c) harga harus diserahkan terlebih dulu, dan (d) adanya khiyar (opsi memilih melanjutkan atau membatalkan akad).  

Nah, pendapat dari kalangan jumhur ulama inilah yang dipedomani oleh kalangan ulama Mazhab dengan catatan adanya upaya mengeliminasi sifat ketidakpastian (gharar) tersebut.

Kedua, adanya ulama jumhur yang membolehkan transaksi berbasis akad salam ini bukan berarti sama sekali bisa menghilangkan dampak dari gharar (ketidakpastian) secara total. Apa yang disampaikan oleh mereka tersebut hakikatnya hanya bersifat upaya mereduksi/eliminasi dampak saja.  

Sehingga, gharar pada sistem jual beli online, jangan ditambahkan dengan gharar lain seperti sistem COD. Jika di dalam satu gharar saja, ada imbas kerugian (dlarar) terhadap pembelinya, maka jangan ditambah dengan potensi kerugian (dlarar) lainnya yang harus disandang oleh pembeli. Jadi, sampai di sini berlaku ketetapan bahwa yang dilarang dalam syariat adalah irtikabu al-dlararain (adanya multi-dlarar/multikerugian) di dalam satu transaksi.

Dalam kasus COD yang ditandai oleh pemesanan riil pembeli kepada penjual, namun pihak pembeli tidak mentransfer dana terlebih dulu, dan dana baru ditransfer ketika barang sudah sampai, maka akad sedemikian inilah yang dihindari oleh para ulama jumhur. Jadi, seharusnya, pihak pembeli harus mengirimkan harga terlebih dulu. Tidak mengirimnya pembeli akan sebuah harga, menjadikan akad salam tersebut menjadi rusak (fasad), disebabkan menyelisihi akad salam.  

Jadi, bagaimana hukumnya jual beli dengan sistem COD itu? Maka jawabnya, adalah secara akad salam, sistem jual beli COD itu tidak memenuhi unsur akad salam sama sekali. Dengan demikian, akad tersebut merupakan yang dilarang karena irtikab al-dlararain.

Tags : COD , Belanja Online , HukumIslam

Berita Terkait