UU Desa, dari Cak Imin untuk Indonesia

| Senin, 15/01/2018 22:34 WIB
UU Desa, dari Cak Imin untuk Indonesia Ketua Umum PKB, A Muhaimin Iskandar atau Cak Imin (Ist)

JAKARTA, RADARBANGSA.COM - Sebagai orang yang dilahirkan di desa, penulis sungguh senang melihat pesatnya pembangunan yang berjalan di kampung halaman. Jalan-jalan desa hingga gang di kampung-kampung yang dulu layaknya kubangan parit bila kena hujan, kini mulus dengan cor semen.

Penulis kira, kondisi ini berlaku di 74.754 desa di seluruh Indonesia tanpa terkecuali mulai dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga pulau Rote. Gencarnya pembagunan di desa sebagai dampak positif diberlakukannya Undang Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa yang disahkan tanggal 15 Januari 2014.

Undang-Undang itu mengamanatkan pegalokasian anggaran untuk pembangunan desa di seluruh nusantara sehingga pembangunan di desa tidak lagi menunggu satu momentum, hajat politik misalnya. Atasnya kemudian populer dengan sebutan dana desa.

Sejak diberlakukannya UU itu, secara otomatis alokasi dana untuk pembangunan desa didistribusikan langsung pemerintah pusat langsung ke pemerintah desa. Tahun 2015 saja perdesa 300 juta, tahun 2016 hingga 2017 berjumlah 600 – 800 juta. Bahkan targetnya hingga 1,4 milyar pertahun per desa.

Bahkan Marwan Jafar (Politisi Partai Kebangkitan Bangsa), Menteri Desa pertama di republik ini pernah berasumsi, jika 60 persen dana desa bisa direalisasikan secara tepat untuk pembangunan infrastruktur desa, maka akan terbangun 24.500 KM jalan desa, 16.800 unit jembatan desa dan 4.900 KM irigasi desa.

Atas dasar itu, tak heran bila alokasi anggaran desa ini memberikan efek domino bagi menggeliatnya ekonomi desa yang dibarengi dengan meningkatnya kesejahteraan masayarakat. Membaiknya infrastruktur desa berkontribusi pada pemasaran hasil pertanian warga yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi secara nasional.

Selain itu, urbanisasi yang dianggap menjadi salah satu masalah sosial di negeri ini bisa ditekan lajunya. Sehingga masyarakat desa tidak lagi berbondong-bondong ke kota karena semata ingin meningkatkan tarap kehidupannya sebagai akibat minimnya lapangan pekerjaan di desa. Dengan dana desa, masyarakat miskin yang selama ini terkonsentrasi di pedesaan bisa diturunkan jumlahnya seiring dengan meningkatnya penghasilan mereka sehari-hari sebagai efek akses ekonomi mereka semakin terbuka lebar.

Satu sisi bangga, tetapi pada sisi yang lain justru menjadi kekhawatiran sendiri. Betapa tidak, besarnya alokasi dana desa berpotensi menjadi bahan bancakan, penyelewengan dan praktek korupsi bagi oknum pejabat di daerah dengan melibatkan aparatur desa. Salah satu bukti, tertangkapnya Bupati Pamekasan yang disinyalir melakukan praktek-prakter korupsi terhadap dana desa. Tak tanggung-tanggung kasus itu melibatkan Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan, Kasubag Umum dan Kepegawaian Inspektorat, Kepala Inspektorat, dan Kepala Desa.

Tanpa bermaksud mengungkit sisi negatif dari diberlakukannya UU Desa dan alokasi dana desa yang ada di dalamnya. Suka tidak suka UU Desa mengandung banyak sekali faedahnya, keinginan kita menjadi negera maju seolah menemukan jalan mulusnya. UU ini memberikan harapan tersendiri bagi mayoritas bangsa ini yang tinggal di pelosok-pelosok desa.

Rawat Warisan Gus Dur
Istilah Otonomi Daerah (Otda) mulai menggema seantero Indonesia sejak Gus Dur menjadi Presiden RI ke 4 seiring dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini mengamanatkan supaya kewenangan daerah tidak lagi dikebiri oleh pemerintah pusat. Dalam Pasal 2 ayat 3 UU itu disebutkan: Tujuan otonomi daerah ialah menjalankan otonomi yang seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang memang menjadi urusan pemerintah, dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.

UU itu lahir sebagai wujud keberpihakan Gus Dur terhadap nasib daerah yang ketika itu pembangunannya masih terkonsentrasi di pulau Jawa. Keskipun beberapa dilakukan di luar pulau Jawa, itu terjadi atas “transaksi” dengan penguasa orde baru kala itu. Sebagai Presiden yang mengalami hidup di bawah tekanan represifitas penguasa Orde Baru, Gus Dur sadar betul bahwa kemajuan Indonesia tidak ditentukan oleh satu daerah dikawasan pulau tertentu, tetapi semua entitas di nusantara ini wajib merasakan “kue” pembangunan.

Walhasil, pasca Gus Dur terpilih ancaman disintegrasi bangsa mulai bisa diredam sebagai akibat ditutupnya keran akses pembangunan. Meski demikian, upaya itu tidak mulus sehubungan dengan dilengserkannya beliau melaui sebuah upaya politik yang tidak fair dan secara hukum tidak terbukti.

Babak baru UU Desa, berdasarkan risalah resmi DPR RI di penghujung pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono, pemerintah telah menyampaikan Rancangan UU Desa kepada DPR RI yang telah diberitahukan dalam Rapat Paripurna tanggal 9 Januari 2012. Pada Rapat Paripurna tanggal 28 Februari 2012 telah disahkan pembentukan pansus guna membahas rancangan undang-undang tersebut bersamasama Pemerintah sebagai bentuk pelaksanaan tugas konstitusi khususnya fungsi legislasi dan ditetapkan melalui Keputusan Pimpinan DPR RI dan FPKB termasuk didalamnya.

Fraksi PKB di bawah komando Ketua Umum Cak Imin kala itu, berandil besar atas lahirnya UU Desa Itu. Melalui penggawanya Abdul Kadir Karding, A. Malik Haramaen dan lainnya FPKB santer perjuangkan RUU Desa ini menjadi sebuah UU.

Berdasarkan analisa penulis, dalam pandangannya FPKB bersyukur bahwa desa menjadi subjek, menjadi aktor dari pembangunan, desa tidak lagi ditempatkan hanya sebagai objek dan tempat pembangunan. Maka, terkait poin alokasi Anggaran APBN untuk dana desa tidak ditaruh dibagian penjelasan, tetapi langsung ditaruh pada pasal.

Itu semua sesuai dengan prinsip desentralisasi dan otonomi luas yang dianut oleh UU tentang Pemerintah Daerah yang dicetuskan Gus Dur. Dengan demikian konsepsi dasar UU itu berhenti di Kabupaten/Kota. Kosekuensinya, kewenangan desa adalah kewenangan Kabupaten/Kota yang diserahkan kepada Desa.

Ala kulli hal, Cak Imin berhasil mengorganisir FPKB kala itu dalam detik-detik disahkannya UU Desa sebagai breakdow (turunan) dari cita-cita Gus Dur yang dituangkan melalui UU Otonomi Daerah. Dalam pandangan fraksi FPKB atas RUU Desa sangat jelas dan gambalang bagaimana FPKB jalankan insntruksi ketum Cak Imin mengawal RUU ini hingga disahkan dengan berbagai pandangan yang berpihak kepada masyarakat desa sebagai kawah candradimuka UU Desa ini.

Desa Kepung Kota
Bila dengar istilah ini, kesan pertama yang muncul boleh jadi sangat negatif utuk konteks Indonesia. Negatif karena jargon itu identik dengan gerakan revolusi sosial Cina yang dikaitkan dengan komunisme dengan Mao Zedong sebagai tokohnya. Lebih dari itu, jargon itu pernah mengisi lembaran sejarah kelam bangsa Indonesia yang digelorakan DN Aidit melalui Partai Komunis Indonesia (PKI) sekira tahun 1960-an. Ia menerapkannya dengan cara menciptakan kekacauan di desa-desa sebagai upaya tumbangkan kekuasaan pemerintah pusat.

Bagi para aktivis mahasiswa, tentu wacana itu sangat populer dibenaknnya, bahkan menjadi bacaan wajib di tengah titelnya sebagai agent of change (agen perubahan) di tengah masyarakat. Begitu pun kala penulis menjadi aktifis Pergerakan Mahasiswa Islam Indoneisa (PMII). Tanpa bermaksud menyinggung lebih dalam terkait gerakan revolusi sosial yang berbalut komunisme yang pada masa kejayaannya pernah menjalar ke berbagai negara berkembang bahkan sampai ke Indonesia.

Dalam perspektif ini, penulis hanya meminjam istilahnya saja. Boleh jadi Cak Imin menjadikan jargon “desa mengepung kota” sebagai aras terkait negeri Cina dengan pengalaman dan langkah-langkahnya dalam mensejahterakan masyarakat mereka.  Sebagai santri Cak Imin faham betul dengan ungkapan uthlubul ‘ilma walau bissin, carilah ilmu walaupun di negeri Cina. Dari Cina kita belajar masalah pengaturan terhadap pemerintahan desa, kelembagaan kemasyarakatan desa, pembangunan kawasan pedesaan, penataan desa dan strategi partisipasi dan pensejahteraan masyarakat dan hal lainnya.

Di Indonesia, posisi Desa (sebelum lahir UU Desa) sebagai unit terkecil dalam sistem pemerintahan belum mendapatkan perhatian yang memadai terkait dengan kewenangan dalam pengelolaan sumber daya dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. 

“Desa Kepung Kota” ala Cak Imin, ia berpandangan bahwa kelembagaan pemerintahan desa harus didesain secara fundamental terkait dengan penghormatan atas nilai keragaman kebutuhan administratifnya sehingga lahir standar baku yang jelas.

Posisi desa secara administratif membawa konsekuensi atas keterbatasan kewenangan desa, terutama pada proses perencanaan dan keuangan. Desa harus mulai merumuskan semua kebutuhannya berdasarkan skala prioritas berbasis perencanaan (bottom up).

Atas dasar itu, komitmen Cak Imin secara personal dan PKB secara institusi atas keberpihakannya terhadap desa tidak melulu terhadap konstituennya yang mayoritas berada dipelosok desa, tetapi masyarakat desa secara umum sebagai bagian dari NKRI. Mengembalikan hak-hak masyarakat desa secara langsung memberikan kesejahteraan kepada mereka. Karenanya, negara harus hadir mengatur desa diantaranya dalam hal: proses perencanaan, penyelenggaraan pemerintahan desa, status perangkat desa, peningkatan kesejahteraan kepala desa dan perangkat desa, dan penguatan anggaran desa yang diakomodasi oleh APBN.

Kedepan, pusat-pusat pertumbuhan ekonomi tidak lagi terkonsentrasi dari kota, tetapi di desa. Sebaliknya, kota tidak akan mampu berkembang bila desa sebagai supporting system-nya tidak diberdayagunakan. Wallahu’alam bisshowab.

Oleh Usep Saeful Kamal, Tenaga Ahli Anggota FPKB DPR RI, Ketua Departemen DPN Gerbang Tani, Sekretaris Garda Hijau DKN Garda Bangsa

Tags : Cak Imin , UU Desa

Berita Terkait