Pendanaan Perubahan Iklim, antara Peluang dan Tantangan

| Jum'at, 28/06/2019 22:35 WIB
Pendanaan Perubahan Iklim, antara Peluang dan Tantangan Billy Aries (pengamat Tata Kota dan Politisi Muda PKB) foto: Istimewa

RADARBANGSA.COM - Perubahan iklim merupakan fenomena nyata yang menjadi keprihatinan global. Saat ini setiap negara mempunyai kepedulian sama terhadap masalah perubahan iklim. Hasil studi Dewan Nasional Perubahan Iklim 2010 menyebutkan bahwa 85 persen dari total emisi nasional Indonesia berasal dari alih guna lahan dan kehutanan. Hal ini sejalan dengan derasnya kebijakan pembukaan lahan/ perhutanan pada era pemerintahan SBY, saat menteri kehutanan dijabat oleh Zulkifli Hasan, pada tahun 2009, yang mencapai dengan luas 1,64 juta hektar, atau hampir 25 kali lipat luas DKI Jakarta.

Dalam kancah hubungan tingkat global untuk penanggulangan perubahan iklim ini, sudah ada kesepakatan-kesepakatan global yang pada umumnya diinisiasi oleh Perserikatan bangsa-bangsa (PBB) di bawah lembaga konvensi kerangka kerja Perserikatan bangsa-bangsa mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC). Perkembangan selanjutnya, perundingan-perundingan terkait perubahan iklim digelar rutin setiap tahunnya dalam kerangka Conference of Parties (CoP). Yang dimaksudkan untuk terus menjaga konsistensi komitmen para negara pihak terkait penurunan emisi, termasuk juga mengenai mekanisme pendanaan perubahan iklim lewat kerja sama yang bersifat bilateral dan multilateral, dan dalam bentuk hibah, hutang, teknikal asisten maupun peningkatan kapasitas.

Green Climate Fund (GCF) adalah entitas pelaksana dari mekanisme keuangan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang didirikan di Cancun, Meksiko tahun 2010. Secara resmi GCF mulai beroperasi pada 2015 dan berkantor pusat di Songdo, Korea Selatan. GCF mendanai sejumlah area yang diharapkan dapat membawa dampak strategis mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Untuk dampak strategis mitigasi, pendanaan GCF diharapkan dapat mengurangi emisi dari pembangkit energi, transportasi, penggunaan hutan dan lahan, serta bangunan, perkotaan, industri, dan peralatan. Sedangkan untuk dampak strategis adaptasi, pendanaan GCF diharapkan dapat meningkatkan ketahanan dari kesehatan pangan dan air, mata pencaharian masyarakat dan komunitas, ekosistem, infrastruktur, dan lingkungan.

Lembaga yang boleh mengajukan proposal pendanaan dari GCF adalah lembaga yang terakreditasi oleh GCF Internasional. Selain Lembaga Terakreditasi (Accredited Entity/AE), ada juga yang disebut National Designated Authority (NDA). Keduanya adalah komponen utama dalam akses pendanaan GCF.

GCF bekerja melalui AE untuk menyalurkan pendanaannya terhadap suatu proyek atau program. Negara-negara berkembang memiliki NDA untuk menjadi penghubung utama antara GCF dan negara tersebut. Di Indonesia, yang berperan sebagai NDA adalah Kementerian Keuangan, khususnya Badan Kebijakan Fiskal.

Tugas utama NDA adalah menentukan program negara terkait perubahan iklim. Jika nanti ada usulan proyek dari sektor swasta, NDA akan mengevaluasi apakah usulan tersebut cocok dengan program negara. Konsultasi tentunya dilakukan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Bappenas, dan Kementerian atau Lembaga (K/L) terkait. Setelah memastikan hal-hal tersebut, LEMBAGA NDA bertugas untuk mengeluarkan no objection letter dan memberitahu GCF bahwa pemerintah tidak keberatan atas usulan pendanaan dari lembaga yang mengajukan proposal tersebut.

Proyek di Indonesia yang telah disetujui oleh GCF di antaranya: Pengembangan Bus Rapid Transit di Semarang oleh PT. Sarana Multi Infrastruktur (SMI), Geothermal Resource Risk Mitigation (GREM) oleh Bank Dunia, Climate Investor One oleh Entrepreneurial Development Bank (FMO), dan Program Kesiapan GCF oleh Global Green Growth Institute (GGGI) untuk memperkuat kapasitas institusi NDA dan Lembaga Terakreditasi Nasional.

Selain GCF, pendanaan perubahan iklim multilateral lainnya adalah Clean Technology Fund, Amazon Fund, Global Climate Change Alliance, Least Developed Countries Fund, Pilot Program for Climate Resilience, dan GEF Trust Fund.

Tantangan Indonesia terkait pendanaan perubahan iklim antara lain AE nasional yang masih terbatas, penentuan prioritas sektor sesuai dengan strategi pembangunan nasional, peningkatan jumlah dan kualitas proposal pendanaan yang sesuai kriteria investasi GCF, serta keterlibatan masyarakat yang terkena dampak

Pendanaan untuk mengatasi perubahan iklim

di Indonesia bersumber pada 3 hal. Pertama,  pembiayaan dalam negeri melalui alokasi APBN. Kedua, adalah dalam bentuk dana hibah ataupun pinjaman dari luar negeri. Keduanya  masuk dalam pencatatan APBN dan memiliki konsekuensi hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Ketiga, sumber dana dari sektor swasta. misalnya dari sektor perbankan atau non-bank, Corporate Social Responsibility (CSR), investasi potensial dari sektor swasta, dan sebagainya yang diharapkan dapat menjadi insentif kebijakan untuk mendukung upaya-upaya mitigasi.

Melalui PP no. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah kabupaten/ kota, juga menyatakan bahwa urusan lingkungan hidup juga termasuk ke urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan dari pusat, pemerintahan provinsi dan pemerintahan kabupaten/ kota. Dialokasikan melalui DAK.

Peraturan-peraturan perundangan, menunjukkan komitmen Indonesia dalam menanggulangi perubahan iklim, dari segi komitmen meletakkan isu perubahan iklim sebagai cross-cutting isu dalam pembangunan nasional termasuk pembiayaannya. bahkan komitmen ini dimulai dari konstitusi sebagai landasan hukum tertinggi hingga ke peraturan-peraturan teknis pelaksanaan. Pasal 28 H dan 33 UUD 45.

Hibah dan pinjaman luar negeri terkait pembiayaan perubahan iklim yang masuk dalam siklus APBN pelaksanaannya diatur dengan keputusan Presiden, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 26 UU keuangan negara. Sesuai dengan ketentuan Pasal 41 PP nomor 10 Tahun 2011, maka pinjaman luar negeri yang terkait pembiayaan perubahan iklim juga memiliki konsekuensi pengembalian baik itu bunga atau pinjaman pokoknya. Menteri keuangan bertanggung jawab untuk membayarnya sesuai dengan alokasi yang terdapat dalam APBN, proses pembayaran ini juga melibatkan bank Indonesia.

Sebagaimana pinjaman luar negeri, maka pembiayaan perubahan iklim yang bersumber pada hibah juga mengikuti alur yang ditetapkan oleh APBN. Menteri keuangan memantau realisasi anggaran bersumber hibah, sedangkan menteri Perencanaan Pembangunan nasional/kepala bappenas akan memantau realisasi dan kemajuan kegiatan yang bersumber hibah ini. Jika penyerapan anggaran bersumber pinjaman luar negeri atau hibah ini rendah, maka menteri keuangan dapat meminta pembatalan sebagian atau keseluruhan terhadap perjanjian pinjaman atau hibah luar negeri.

 

***Poin-poin tentang ‘Akses dan Peluang Pendanaan Iklim di Indonesia’ oleh Billy Ariez (Pemangat Perubahan Iklim)dalamDiskusi Publik yang digelar oleh FNF Indonesia dan Climate Institute.

Tags : Perubahan Iklim , Climate Institute , FNF Indonesia ,

Berita Terkait