Tantangan Pedesaan di Era Kedua Jokowi

| Selasa, 27/08/2019 11:33 WIB
Tantangan Pedesaan di Era Kedua Jokowi Ketua Umum DPN Gerbang Tani, Idham Arsyad (dok Istimewa)

Oleh: Idham Arsyad

RADARBANGSA.COM - Tak terbantahkan bahwa terjadi perubahan mendasar di pedesaan kita dalam lima tahun terakhir. Kehadiran UU Desa Nomor 6/2014 menjadi faktor penting kemajuan desa. UU Desa memberi kekuatan dan kemewahan luar biasa bagi desa untuk berbenah dan keluar dari keterpinggiran dan kemiskian. Komitmen politik Presiden Jokowi dalam mengawal implementasi UU Desa menjadi faktor penting lainnya.

Walhasil capaian pembangunan desa hari sangat mencengankan. Sebelum lahir UU Desa, desa-desa Indonesia dipenuhi dengan wajah ketertinggal dan keterpinggiran. Tahun 2014, desa dengan status tertinggal jumlahnya 20.167 desa. Namun tahun 2018 desa tertinggal tersisa 12397 desa, dan secara selaras desa mandiri mengalami peningkatan dari 2.898 menjadi 5.216 desa. Tahun 2014,  Badan Pusat Statistik (BPS) merilis mayoritas penduduk miskin ada di desa, dari 27,73 juta jiwa sebanyak 17,37 juta jiwa di desa. Namun pada Maret 2019, BPS kembali merilis bahwa orang miskin di desa turun menjadi  15,15 juta (12,85 persen) dari 25,14 juta (9,41 persen) penduduk miskin Indonesia.

Situasi desa yang semakin membaik juga terkonfirmasi dengan semakin membaiknya kesejahteraan menurunnya ketimpangan masyarakat desa diukur dari gini rasio. Rilis Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa gini rasio di perdesaan pada Maret 2019 tercatat sebesar 0,317, turun dibandingkan dengan September 2018 yang sebesar 0,319 dan gini ratio Maret 2018 yang sebesar 0.324. Demikian juga tingkat inflasi di pedesaan semakin menurun, dimana pada tahun 2015 inflasi di desa mencapai 5,8 dan pada tahun 2018 hanya 3,15.

Bagaimana dengan infrastruktur desa? Tahun 2014 terdapat 44.321 desa tidak mempunyai moda angkutan umum yang beroperasi secara regular dan punya jam operasi, sebanyak 33,194 desa yang jalannya membutuhkan aspal, dan 14.237 desa yang jalannya tidak bisa dilalui kendaraan roda empat. Serta sebanyak 70.628 desa yang tidak memiliki akses internet dan 25.758 desa memiliki sinyal telepon seluler lemah (Sumber; Kemendes PDTT 2019).

Tahun 2018, ketertinggal infrastruktur desa secara perlahan mulai diatasi. Saat ini setiap desa telah membangun jalan desa yang jika diakumulasikan seluruh desa di Indonesia maka panjangnya mencapai 191,600 kilo meter. Terbangun jembatan 1.140.378 meter, 8.983 unit pasar, 5.371 unit tambatan perahu, 4.175 embung yang berfungsi cadangan air, 58.931 unit irigasi, dan 37.830 unit kegiatan Badan Usaha Milik Desa, serta terbangun 19.526 unit sarana olahraga.

Selain jenis infratruktur yang berfungsi menunjang aktivitas ekonomi warga desa seperti di atas, juga melalui dana desa terbangun infrastruktur yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa. Dalam kurun waktu 2015-2018 telah terbangun fasilitas air bersih 959.569 unit, 240.587 MCK, sebanyak 45/169 sumur, sebanyak 9.692 unit polindes, sebanyak 24.820 posyandu, dan juga terbangun sebanyak 50.854 PAUD (Sumber; Kemendes PDTT).

Tantangan Pembangunan Pedesaan

Tentu saja capaian lima tahun pembangunan desa harus terus ditingkatkan untuk mewujudkan desa yang kuat, maju, mandiri dan demokratis sebagaimana amanat dalam UU Nomor 6/2014 tentang Desa. Syaratnya semua pihak dalam satu gerak pemikiran dan tindakan untuk melindungi dan memperkuat desa dalam menjalankan kewenangannya. Bukan sebaliknya, melemahkan, mendistorsi dan mereduksi kewenangan desa melalui regulasi implementasi UU Desa setingkat Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri dan Peraturan Bupati.

Saat ini akselerasi desa dalam menjalankan kewenangannya di bidang pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan dan pembinaan masyarakat desa jujur harus diakui agak terhambat karena regulasi yang menyimpang dari UU Desa, serta bangunan tata kelembagaan pemerintahan yang mengurusi desa dalam kenyataannya membuat desa tergantung, minim kreativitas dan tidak inovatif.

Sehingga sangat disayangkan karena azas rekognisi-subsiadiritas yang mengandung makna bahwa desa dalam mengurusi dirinya berdasar pada prakarsa lokal, kearifan lokal, kebutuhan lokal, memutuskan berdasar otoritas desa, mengembangkan mekanisme akuntabel melalui partisipasi warga desa belum terlalu nampak. Bahkan sebaliknya desa banjir regulasi yang memperlambat proses pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa serta melestarikan elite capturedi desa. Masing-masing regulasi mengandung cacat bawaan karena tidak setia pada UU Desa dan di lapangan membuka ruang malptraktikdari pihak yang tidak menghendaki keberdayaan desa.

Sebagai contoh kewenangan desa yang diatur melalui Permendesa PDTT tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa dan Permendagri tentang Kewenangan Desa. Di lapangan terjadi kebingungan Pemda dan Pemdes tentang pengaturan kewenangan desa karena isi kewenangan harus dikonsultasikan dengan Ditjen Bina Pemdes yang berarti tidak sesuai dengan azas rekognisi dan subsiadiritas. Sementara sampai tahun 2018 baru 20 persen Kab/Kota menetapkan Perbub/Perwali tentang Kewenangan Desa. Artinya apa? Tanpa kepastian pengaturan kewenangan desa dan tanpa adanya kepastian mengenai kewenangan desa untuk mengatur dan mengurus kewenangannya menjadikan relasi desa dengan supra desa menjadi abu-abu dan desa rentan intervensi.

Sutoro Eko, M.Barori dan Hastowiyono (2017) memandang bahwa distorsi terhadap UU Desa ini dimulai sejak PP No.43/2014 jo PP 47/2015 mengatur kewenangan desa didelegasikan kepada Perbub/Perwali. Padahal kontruksi hukum UU Desa bahwa sebagian urusan pemerintah kabupaten/kota yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat desa sebagai kewenangan desa, Jadi UU Desa adalah les specialisdari sisi kewenangan desa. Artinya bahwa PP kemudian mendistorsi bahwa jenis-jenis kewenangan desa merupakan kewenangan supradesa. Dalam konteks ini bahwa Perbub/Perwali tentang kewenangan desa merupakan instrumen kekuasan yang bisa membatasi, menghambat kewenangan desa serta memperpanjang mata rantai birokrasi. Dan situasi ini sudah terjadi di beberapa desa.

Pembelahan pengurusan desa ke beberapa Kementerian juga menyisakan banyak problem dalam lima tahun terakhir ini. Lagi-lagi konsekuensi dari pembelahan ini adalah muncul regulasi yang tidak sinkron di lapangan. Sebagai contoh adalah regulasi yang mengatur urusan pembangunan desa yang mandatnya berdasarkan Perpres 12/2015 ada di Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi. Namun Kementerian Dalam Negeri telah menebitkan Permendagri 114/2015 tentang Pedoman Pembangunan Desa. Dikarenakan semangat pemberdayaan masyarakat masih sangat kuat dalam Permendagri tersebut, maka Kementerian Desa PDTT masih mengikuti regulasi Permendagri tersebut.

Dalam perkembangannya Kemendagri kemudian mengeluarkan Permendagri No. 20/2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa yang subtansinya membongkar pengaturan pembangunan desa. Hadirnya Permendagri No.20/2018 mengakibatkan pembangunan desa kehilangan watak “pemberdayaan masyarakat” yang merupakan mandat UU Desa, karena lebih terfokus pada prosedur-proesdur administrasi keuangan desa yang memperumit keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa.

Solusinya, Presiden Jokowi harus melakukan penataan regulasi dan kelembagaan. Untuk penataan regulasi dilakukan dengan merevisi PP  No.43/2014 jo PP 47/2015 tentang Perubahan Pelaksanaan Undang-Undang Desa dengan berpegang pada prinsi utamanya menguatkan desa dalam melaksanakan kewenangannya berdasarkan azas rekognisi dan subsiadiritas. Sedangkan penataan kelembagaan dilakukan dengan menyatukan urusan desa dalam satu Kementerian/ Kelembagaan yang mengurusi desa dengan menarik Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan di Kementerian Dalam Negeri menyatu dengan Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa yang ada di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

Seiring dengan penataan regulasi dan kelembagaan, menjadikan desa sebagai basis produksi dan produktivitas adalah agenda penting pemerintahan Jokowi-KH.Ma’ruf Amin dalam lima tahun kedepan. Selama ini desa hanya menjadi objek eksploitasi dan menjadi pasar karena kekayaan sumber daya alam tidak sepenuhnya dalam kontrol warga desa ditambah lagi dengan lemahya kapasitas dan kapabilitas sumber daya manusia di desa. Kehadiran UU Desa sejatinya menjadi pintu masuk untuk mengeluarkan desa dari “kutukan sumber alam”. Mengapa? Karena dalam UU Desa terdapat pasal yang mengatur mengenai aset desa yang sejatinya dapat dikelola untuk kemudian menjadi salah satu sumber pendapatan desa berbasis sumber daya alam.

Jika kita memperhatikan anggaran pendapatan belanja desa selama ini, memang sekitar 70 persen lebih mengarah pada pembangunan infrastruktur dan sangat minim ke arah peningkatan ekonomi produktif yang dapat memberi nilai tambah bagi warga desa. Tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan pedesaan harus dimaknai sebagai pembangunan pertanian. Sebab Indonesia ditopang dari desa-desa yang livehood masyarakatnya berbasis pertanian. Dari 74,954 jumlah desa di Indonesia, sebanyak 73,14 persen desa tipologi pertanian. Karenanya dana desa menjadi penting diarahkan untuk meningkatkan kapabilitas warga desa dalam memanfaatkan dan mendayagunakan sumber daya alam dan pertaniannya dan menjadi basis produksi utama bagi warga desa.

Terakhir, kehadiran undang-undang desa adalah untuk mewujudkan kemandirian desa Karenanya suatu kesalahan mendasar besar jika dalam proses mengimplementasikan undang-undang desa ini, kemudian desa mengalami ketergantungan, misalnya ketergantungan pemerintah desa terhadap dana desa dalam menjalankan kewenangannya, atau ketergantungan warga desa terhadap pemerintah desa dalam merencanakan pembangunan desa. Oleh karenanya untuk keluar dari jebakan ketergantungan tersebut di atas, maka dalam proses pembangunan desa hendaknya meninggalkan pendekatan teknokratisasi dan birokratisasi menjadi rekognisi, redistribusi, demokratisasi dan edukasi desa. Juga mengubah wacana dari proyek dana desa menjadi wacana kemandirian, kerakyatan dan kemakuran desa (Sutoro, dkk:2017).

Tags : Desa , Idham Arsyad , Jokowi