Intoleransi Sejak Pendidikan Anak Usia Dini

| Minggu, 08/12/2019 15:29 WIB
Intoleransi Sejak Pendidikan Anak Usia Dini Nurjanah, Ketua Program Studi Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PIAUD) STAINU Purworejo. (foto: istimewa)

 

Oleh: Nurjanah, S.Sos.I, M.Pd*

RADARBANGSA.COM - Anak usia dini adalah masa golden age, perkembangan kecerdasan anak akan terjadi sangat pesat. Saat anak berusia 3 tahun, sel otak telah membentuk sekitar 1.000 triliun jaringan koneksi/sinapsis, jumlah ini 2 kali lebih banyak dari yang dimiliki orang dewasa. Pada masa anak usia dini ini pun anak akan mudah sekali menerima pembelajaran yang diberikan oleh lingkungannya dalam hal ini orang tua dan guru, baik pembelajaran yang diberikan itu hal yang baik maupun yang buruk, anak akan serta merta menerimanya tanpa bisa menetralisir stimulus/pembelajaran yang diberikan.

Saat ini, media Pendidikan anak usia dini sudah sangat variative, lagu, buku bacaan, pop-Up Book dan lainnya, yang memberika efek positif bagi perkembangan anak usia dini. Tapi tak sedikit juga ada beberapa media yang memberikan efek kurang baik bagi anak, seperti lagu yang sangat familier di kalangan orang dewasa bahkan anak-anak di bawah ini tanpa kita sadari akan memberikan dampak yang kurang baik pada anak .

Tepuk anak sholeh

Aku, anak sholeh

Rajin sholat, rajin ngaji

Orang tua di hormati,

Cinta Islam sampai Mati

Islam islam yess

Kafir kafir No

Lagu berjudul Tepuk Anak Sholeh ini tanpa disadari telah memberikan penanaman pemahaman intoleran kepada anak usia dini. Anak mudah menilai negative orang lain yang berbeda agama, mudah membenci orang lain, dan saling mengkafirkan satu sama lain yang tidak sepemahaman. Hal ini dapat mewujudkan sikap anak yang sering mengganggu, menyerang, mengejek serta sikap perundungan lain terhadap orang lain yang tidak sepemahaman.

Selain melalui lagu, penyebaran paham intoleransi yang ada saat ini yakni dengan beredarnya buku anak-anak yang berjudul “Anak Islam Suka Membaca” dengan jilid I – IV yang sudah beredar dipasaran dengan memuat kalimat-kalimat, “Rela mati Bela Agama”, “Bom dan Kafir”, “Syahid di Medan Jihad”, serta beberapa istilah yang mengandung unsur provokatif. Parahnya lagi buku ini sudah beredar sejak tahun 1999 dan sudah dicetak ulang sebanyak 167 kali. Bayangkan saja ketika 1 kali cetakan ada 2000 Ex buku, sudah berapa ribu anak usia dini yang diajarkan untuk bersikap intoleransi. Apalagi buku ini diperuntukan untuk anak usia 3 -5 tahun yang mana anak usia ini belum bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

Tak heran ketika dalam konverensi pers bapak wakil presiden Bapak Prof. KH. Ma’ruf amin menyampaiakn bahwa “perlu adanya kewaspadaan radikalisme yang sudah mulai masuk di Pendidikan Anak Usia Dini, seperti banyak anak usia dini yang membawa poster-poster tokoh-tokoh yang justru dia itu tokoh-tokoh radikal yang dikenalkan di PAUD”.” Kemudia ada anak dibawa waktu dia ada acara suruh bawa senjata, tokoh pejuang griyawan pakai senjata. Nha ini memberikan pengaruh-pengaruh sikap radikalisme.” Dan juga narasi-narasi kita yang kita bangun itu baik maksudnya dari kalangan islam non muslim, narasinya narasi kerukunan, jangan narasi konflik, jangan narasi-narasi seperti orang berhadap-hadapan, islam, kafir terus dihadap-hadapkan itu. Itu kalau dizaman perang saya kira narasi itu tepat di palistina itu narasinya-naris berhadap-hadapan bahasa saling membenci dan saling memusuhi”, ujar Bapak KH. Ma’ruf Amin.

Membentuk karakter lewat Cerita

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh David Mc Clannad di Harvard terkait dengan penelitian perkembangan 2 Negara, yaitu Inggris dan spanyol pada saat itu yang sama-sama berkembang. Akan tetapi ditahun berikutnya trnyata perkembangan kedua Negara ini berbeda. Negara inggris perkembangnnya semakin kuat dan spanyol melemah. Selanjutnya david melakukan penelitian dari berbagai aspek, mulai dari aspek politik, hukum, ekonomi, pendidikan dan lain-lain ternyata David tidak menemukan sebuah hasil. Dan pada akhirnya ia memutuskan untuk memfokuskan penelitian pada aspek lain yakni cerita atau dongeng anak-anak. Di Negara Inggris ternyata pada saat itu cerita yang berkembang cerita yang membangkitkan motivasi dan optimis berprestasi, sedangkan di Negara spanyol cerita yang berkembang cerita-cerita yang meninabobokkan anak-anak, pasrah bahkan cenderung pesimistik. Selanjutnya sebagai data pendukung David mengadakan penelitian dengan menyebar angket kepada orang-orang dewasa di Inggris, pada saat apa mereka benar-benar merasa bahagia di masa kanak-kanak dulu, sebagian besar mereka menjawab, ketika diacakan buku cerita oleh orang tuanya. Dari penelitian tersebut dapat menjadikan sebuah bukti bahwa cerita dapat memberikan pengaruh yang baik maupun pengaruh buruk. Selain itu juga dapat menstimulus imajinasi anak, otak anak tidak bisa membedakan anatara imajinasi dengan realita, sehingga anak-anak ketika mendengarkan cerita benar-benar merasakan terlibat dalam cerita yang diceritakan/dibacakan itu.

Pengaruh dari sebuah cerita itu sangat besar sekali. Baik pengaruh yang baik maupun pengaruh buruk. Cerita yang beredar di Indonesia ini terutama di dalam lembaga pendidikan anak usia dini ini perlu diperhatikan kembali apakah cerita yang saat ini berkembang cerita yang mengarah pada pemahaman radikal, ujaran kebencian atau malah cerita yang beredar saat ini cerita yang baik-baik atau memiliki semangat juang.

Selanjutnya Bagaimana dengan cerita yang beredar di Indonesia saat ini? Apakah cerita yang berkembang di lembanga PAUD cerita yang memberikan motivasi semangat juang untuk bisa meingkatkan prestasi seperti yang ada di Inggris atau cerita yang berkembang cerita yang mengarah pada pemahaman radikal, ujaran kebencian, berjihad di medan perang dan mati syahid, masuk surge dan bertemu bidadari???

Tapi ketika kita melihat fenomena saat ini, dimana anak-anak sudah banyak yang memiliki keinginan berjihad sampai ada anak Indonesia yang ikut perang di ISIS, banyak anak yang ikut Bom di Surabaya itu menunjukkan keadaan saat ini terutama dalam hal ini lembaga-lembaga yang ada termasuk dalam hal ini lembaga pendidikan anak usia dini perlu diperhatikan kembali ditinjau kembali dalam pembelajaran yang diberikan kepada generasi bangsa ini.

Bapak Munajat Staff khusus menteri Agama terkait dengan radikalisame yang saat ini sudah masuk lewat pedidikan anak usia dini di Indonesia, beliau menyampaikan bahwa radikalisme yang ada saat ini sudah terindikasi mengarah pada intoleransi yang sudah mulai masuk dan bisa memberikan paparan pada anak-anak usia dini, dan hal ini bisa masuk melalui buku-buku yang beredar di lembaga PAUD yang dikonsumsi oleh anak-anak usia dini, seperti cerita dongeng malam atau kisah-kisah islam, kisah-kisah kenabian atau kisah-kisah ulama itu ada beberapa yang indikatif mengarah kearah sana. Mungkin secara langsung yang sedang di review oleh kementerian agama  mungkin secara langsung terkadang tidak ada niatan mengarah ke sana, tapi ketika kita lihat ada beberapa gambar yang itu memang tidak pantas untuk anak-anak, gambar kekerasan dan lain sebagainya. Bukunya bagus tapi ilustrasinya kadang kurang bagus, ini yang sekarang kita waspadai oleh kementerian agama, jadi ada indikasi kesana menyasar pada anak-anak kita, jadi perlu kita waspadai. Bukan hanya buku pelajaran tapi buku-buku cerita, buku pengantar sebelum tidur.

Tidak hanya gambar dari cerita yang ada akan tetapi bagaimana cerita ini dikemas dan diberikan kepada anak yang menerima apapun yang diberikan oleh lingkungan. Mengingat anak usia dini senang sekali mendengarkan sebuah cerita. Apalagi cerita ini disampaikan dengan menghayati karakter tokoh seperti menghayati beberapa karakter tokoh berdasarkan jenis kelamin, usia, sifat, kondisi emosi di tambah menirukan beberapa bunyi karakter suara dan didukung dengan menambahkan alat peraga yang membuat anak-anak tertarik untuk memperhatikan, seperti buku bergambar, boneka tangan, boneka gagang, dan lain sebagainya. Bahkan katakanlah memerikan cerita kepada anak dengan penuh ekspresi saja tanpan menggunakan beberapa alat peraga anakpun juga mudah tertarik pada cerita yang diberikan, karena kembali lagi bahwa anak  itu sangat senang mendengarkan cerita.

Berdasarkan pengamalam empiris, seorang anak usia dini yang masih menembuh pembelajaran di sebuah TK islam yang baru pindah di TK tersebut tidak mau mengikuti kegiatan pembelajaran tari, karena dalam anggapannya belajar tari tersebut musrik.  Hal tersebut berdasarkan hasil wawancara dengan gurunya menyampaikan bahwasannya pemahaman dan pendidikan yang diberikan orang tua yang menyebabkan anak melontarkan statemen tersebut. Padahal kita tahu bahwa belajar tari dapat mengembangkan perkembangan fisik motorik pada anak usia dini.

Untuk menangani permasalahan intoleransi yang mulai merambah di dunia pendidikan anak usia dini ini tidak hanya bisa disekesaikan dari 1 pihak saja, akan tetapi semua unsur harus ikut terlibat dalam menangani permasalahan ini. Mulai dari pihak yang terkecil dari lingkungan keluarga sampai pemerintah harus bisa duduk bersama untuk memberikan solusi dalam penangan masalah radikalisme ini. 

Dari pemerintah harus mulai memperhatikan pendidikan anak usia dini, yang dimana PAUD ini belum dianggap penting dan membahayakan terkait dengan paparan paham intoleransi. Padahal hal itu sangat kurang tepat, karena pendidikan PAUD ini menjadi dasar apakah bangsa Negara Indonesia ini ke depan akan menjadi bangsa yang berkembang maju atau justru sebaliknya menjadi bangsa yang carut marut dengan banyaknya konflik. Masyarakat harus bisa ikut mengawasi materi pembelajaran yang dilakukan di lembaga pendidikan anak usia dini.

 *Nurjanah, S.Sos.I, M.Pd adalah Ketua Program Studi Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PIAUD) STAINU Purworejo

 

 

Tags : PAUD , Pendidikan , STAINU , Purworejo

Berita Terkait