Demam Tiktok

| Senin, 09/03/2020 16:26 WIB
Demam Tiktok Pengamat Politik dan Civitas Academika UNMA Banten, Eko Suptiatno (foto: Istimewa)

“Dunia maya mudah sekali menipu,

membuatmu merasa diberi harapan palsu.

Padahal itu salahmu.”

― Alfin Rizal

 

RADARBANGSA.COM - Tiktok merupakan salah satu aplikasi yang saat ini banyak dimainkan oleh masyarakat Indonesia. Demam Tiktok memang menarik untuk ditelusuri. Pasalnya, saat pertama kali hadir di Indonesia pada 2017 silam Tiktok sempat dianggap sebagai aplikasi kaum “alay”. Bahkan aplikasi buatan China itu sempat diblokir oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) di pertengahan 2018. Alasannya, Tiktok dinilai membawa dampak negatif bagi anak.

Tiktok memiliki fitur share yang memungkinkan penggunanya untuk membagikan video miliknya ke berbagai platform media sosial. Tak hanya itu, setiap video yang dibagikan terdapat watermark berupa username dan logo aplikasi. Sehingga konten dari Tiktok memiliki ciri khas tersendiri.

Fenomena Tiktok juga digadang-gadang akan menyaingi popularitas media sosial lain. Salah satunya adalah Instagram. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Sensor Tower, Tiktok memiliki jumlah unduhan yang melebihi Instagram di tahun 2019 sebanyak 700 juta kali. Tak menutup kemungkinan, Tiktok akan kembali melebihi Instagram di tahun ini. Apalagi keramaiannya sedang mencapai puncak di Indonesia, negeri yang kerap gandrung dengan media sosial.

Pejabat Tiktok

Tak hanya orang biasa, para pejabat pun juga turut memainkannya. Sayangnya, tari-tarian para pejabat di Tiktok tidak membuahkan hal yang benar-benar positif. Kalau biasanya orang memuji penampilan seseorang di Tiktok, para pejabat justru menuai kritik setelah tampil dengan joget ala Tiktok.

Para kepala daerah yang bermain Tiktok ini sedang mencitrakan diri agar terlihat merakyat. Meskipun, aksi mereka juga tak enak untuk dilihat. Ber-Tiktok tidak ada kaitannya sama program kerja. Ini benar-benar program pencitraan (agar terlihat) merakyat.

Publik tak mempermasalahkan jika para pejabat ikut bermain Tiktok, sepanjang konten yang dibuat para pejabat lewat Tik Tok mendidik. Namun, para pejabat ini harus memperhatikan kondisi masyarakat ketika membuat dan menyebarkan video singkat Tiktok. Tak elok misalkan seorang pejabat membuat video singkat yang bersifat menghibur itu di tengah penderitaan warganya.

Ya, bermain Tiktok itu tak terlepas dari kepentingan politik. Semua kegiatan yang dilakukan para politikus di ruang publik selalu memiliki motif politik. Jadi hati-hati lah main Tiktok, jangan sampai justru merugikan elektabilitas, kredibilitas, kapabilitas mereka.

Fenomena Kritik

Banyaknya kritikan hingga caci-maki yang kerap diterima pejabat publik, jangan disikapi dengan perasaan (baper). Namun, sikapi sebagai bentuk motivasi untuk memperbaiki kualitas diri.

Fenomena kritik keras ini merupakan dampak dari kemajuan teknologi, terutama soal media sosial. Setiap anggota masyarakat berhak menyuarakan unek-unek dan pikirannya.

Seorang pejabat dipilih tentunya memiliki tingkat intelektualitas dan kecakapan yang lebih tinggi dari masyarakatnya. Jadi, kalau dapat kritikan  harus dipikirkan dulu, berarti ada kekurangan yang perlu ditingkatkan.

Saya pikir publik biasanya tidak pernah mengkritik pribadi seorang pejabat. Biasanya kritikan tersebut terkait kebijakan sebagai seorang pejabat. Perlu dingat! Jabatan publik itu sasaran kritik dan pejabat yang khilaf itu harus dikritik.

Jangan jadi pejabat kalau baper dan antikritik. Tipe pejabat yang demikian kelihatan kurang memahami esensi politik dan kehidupan demokrasi saat ini.

Pejabat itu harus siap dikritik kalau ingin berhasil. Jika saat ini ada pejabat atau kepala daerah yang tidak mau dikritik sama saja telah menghidupkan sistem feodalisme kembali di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Perlu dipahami! nilai dasar republika yaitu re- artinya kembali, public artinya rakyat kembali mengawasi, itu sama artinya kepala daerah dikritik bagian dari pengawasan atau kontrol rakyat secara langsung.

Pesan untuk Pemerintah

Di era digital ini dimana informasi mudah sekali diperoleh dan dibagikan, kita dituntut untuk membekali diri sehingga memiliki literasi digital yang baik. Cerdaslah dan bijaksanalah di dalam menangkap dan membaca informasi yang didapat dari situs berita maupun media sosial. Cerdaslah dan bijaksanalah dalam memilih informasi yang akan dibagikan.

Untuk itu,  pentingnya para pejabat, pegawai, atau siapapun untuk mengoptimalkan penggunaan informasi digital dan media sosial secara cerdas dan bijaksana. (Twitter, Instagram, FB, dan lain-lain) atau sarana komunikasi pribadi (WhatsApp, Telegram, LINE, dan lain-lain).

Selain itu, mengingatkan agar para pejabat, pegawai, atau siapapun dapat memanfaatkan sarana digital dengan optimal dan beretika untuk meningkatkan kualitas masing-masing individu.

Manfaatkan era digital sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas diri, mencerdaskan, dan meningkatkan daya kritis yang konstruktif. Selalu menjaga etika dalam baik di dalam pergaulan sosial secara langsung maupun melalui media sosial.

Khusus untuk pejabat, Anda harus menjadi agen komunikasi institusi dalam penyebaran kebijakan pemerintah dalam bentuk penyediaan data dan informasi yang baik, benar, dan mendidik untuk memperkuat persatuan, mencerdaskan dan memberdayakan masyarakatnya. Sehingga masyarakat tidak mudah terprovokasi dengan informasi yang salah atau sengaja dipenggal sebagian.

Berkreatiflah secara seluas-luasnya dan jadikanlah ladang baru di dalam pergaulan sosial baik secara langsung maupun melalui media sosial untuk membantu memberdayakan masyarakat kita,

Kemampuan untuk menyapa masyarakat harus dengan gaya lugas, jelas, serta kata-kata motivasi membuminya menjadi model komunikasi pemerintah.

Bagi saya, penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan komunikasi sangatlah penting. Belajar dari Pemda yang berhasil, Pemerintah  haruslah rendah hati, karena pengembangan sebuah daerah terutama bagi daerah yang belum berbenah harus dapat merespons perubahan zaman yang begitu cepat. Kini dibutuhkan sikap pemerintah yang selalu  mau belajar dari kekurangan, dan mau berbenah diri.

Pemerintah harus keluar dari masalahnya sendiri. Pemerintah harus merespons aneka masalah masyarakat yang selama ini diabaikan. Jika Pemerintah tidak keluar dari persoalan dirinya sendiri, akan sakit. Lebih parah lagi, jika ini terjadi dalam institusi yang berasal dari rujukan pemerintah sendiri atau semacam narsisme birokrasi.

Semoga pemerintah kita keluar dari lingkaran ketidakkepedulian dalam cara pandang yang sempit, dan dari keengganan untuk belajar dari dinamika zaman. Pemerintah harus proaktif menyampaikan misi “kabar gembira” dalam konteks pemerintahan. Pesan pemerintah akan efektif bila mampu menebus dunia baru yang serbadigital.

**EKO SUPRIATNO (Staf Pengajar Tetap Prodi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Hukum dan Sosial UNMA Banten

Tags : Tiktok , Politik , Pejabat Publik

Berita Terkait