NU dan Ironi Jargon NKRI Harga Mati: Saatnya Melawan Kapitalisme Predatoris

Oleh : Khariri Makmun*
Jargon "NKRI harga mati" yang kerap digaungkan Nahdlatul Ulama (NU) bukan sekadar slogan politik atau simbol nasionalisme kosong. Ia adalah representasi jati diri Ahlussunnah wal Jamaah yang mencintai bangsa dan negerinya, warisan dari para ulama pejuang yang dulu bahu-membahu memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Namun dalam situasi sosial-politik hari ini, slogan itu makin terasa ironis, bahkan menyakitkan, karena justru digunakan untuk menutupi kebusukan sistem yang tengah berlangsung.
NU sejak awal berdirinya telah mengikrarkan diri sebagai penjaga negara, pelindung harkat dan martabat bangsa, serta benteng kedaulatan Indonesia dari segala bentuk ancaman, baik internal maupun eksternal. Tapi apa jadinya jika negara yang dulu dibela dengan darah dan air mata itu kini dikuasai oleh para koruptor?
Menurut data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tahun 2024, jumlah uang negara yang dikorupsi dalam satu tahun mencapai Rp984 triliun. Angka ini nyaris menyentuh 1 kuadriliun rupiah angka yang tak masuk akal bagi akal sehat rakyat biasa. Kalau ditarik sejak Indonesia merdeka, bisa dibayangkan berapa ribu triliun kekayaan negara yang telah dirampok dari tangan rakyat oleh penguasa.
Inilah wajah telanjang dari sistem ekonomi politik yang telah berubah dari kapitalisme menjadi kapitalisme predatoris. Dalam sistem ini, kekayaan segelintir orang dibangun dari hasil eksploitasi besar-besaran terhadap tenaga kerja dan sumber daya milik rakyat banyak. Negara seharusnya menjadi alat distribusi kesejahteraan, tapi kini justru berubah menjadi mesin penghisap kekayaan rakyat secara legal.
Rakyat dipaksa membayar pajak dari setiap transaksi. Beli makanan, ada pajaknya. Bayar sekolah, kena pungutan. Berobat, harus antri dan bayar mahal. Di sisi lain, para pejabat publik justru menari-nari di atas uang pajak tersebut. Pajak yang mestinya digunakan untuk membangun jalan, pendidikan, dan kesehatan, malah dikorup untuk kepentingan pribadi dan elite politik.
Dalam kacamata Karl Marx, sebagaimana ditulis dalam "Das Kapital", semakin keras rakyat bekerja, semakin makmur para pemilik modal. Tapi hari ini kita bukan hanya bicara soal pemilik modal, melainkan predator-predator kekuasaan yang memanfaatkan sistem demi kepentingannya sendiri. Mereka bukan sekadar kapitalis; mereka predatoris—memangsa dengan brutal dan sistemik.
Data menyebutkan bahwa lebih dari 80 persen penerimaan negara berasal dari pajak. Tapi, sekolah masih mahal, rumah sakit masih penuh dan tak layak, serta jalan-jalan di daerah masih rusak dan berlubang. Lalu ke mana larinya uang negara? Korupsi adalah jawabannya. Korupsi yang bukan hanya dilakukan oleh satu dua orang, tetapi telah menjelma menjadi jaringan, menjadi budaya, bahkan menjadi sistem.
Jika kondisi ini dibiarkan, kita tidak sedang hidup dalam sebuah negara, melainkan pabrik perampokan legal. Negara hanya menjadi alat pelipatgandaan keuntungan bagi segelintir elit yang duduk di kursi kekuasaan. Kita, rakyat biasa, hanya komoditas yang dimanfaatkan. Kita diperas setiap hari, diberi harapan palsu, dan dibius oleh jargon-jargon patriotik kosong.
Lalu di mana posisi NU dalam semua ini? Sebagai organisasi massa Islam terbesar di Indonesia yang turut mendirikan negara dan menjadi bagian dari sejarah panjang perjuangan bangsa, NU tak bisa tinggal diam. Ketika rakyat berada dalam posisi antara hidup dan mati, ketika ekonomi rakyat makin tercekik, NU tak boleh terus meneriakkan jargon “NKRI harga mati” tanpa makna.
NU harus memiliki kesadaran politik dan tanggung jawab moral yang besar. Jika tidak, maka NU hanya akan menjadi ornamen simbolik dari sejarah perjuangan yang tak lagi relevan dengan realitas hari ini. Rakyat membutuhkan lebih dari sekadar ceramah-ceramah keagamaan yang menenangkan. Mereka butuh pembelaan nyata. Mereka butuh keberpihakan.
Tugas NU hari ini adalah meluruskan kembali arah bernegara. NU harus berani mengawal birokrasi yang bersih, memperjuangkan penegakan hukum yang adil, dan memastikan bahwa sumber daya alam bangsa ini tidak dijarah oleh asing atau oligarki lokal. NU harus kembali menjadi benteng moral bangsa.
Namun, pertanyaannya: mampukah NU melakukan semua itu ketika sebagian kadernya sendiri telah terjerat dalam pusaran korupsi? Bukankah kita sering mendengar bahwa sejumlah pejabat dari latar belakang NU juga terindikasi dalam praktik korupsi? Inilah tragedi besar yang sedang dihadapi NU hari ini.
Krisis moral yang melanda elite bangsa ini tidak lepas dari krisis kepemimpinan di tubuh organisasi-organisasi masyarakat, termasuk NU. Jika NU ingin tetap relevan dengan jargon NKRI harga mati, maka NU harus bersih terlebih dahulu dari dalam. Harus ada revolusi mental dalam tubuh NU. Harus ada keberanian untuk membersihkan organisasi dari infiltrasi kepentingan politik praktis dan pragmatisme kekuasaan.
NU perlu kembali ke khittah-nya sebagai kekuatan moral dan sosial, bukan kekuatan politik yang transaksional. Menjadi organisasi keagamaan yang benar-benar menjaga nilai-nilai Islam dan kemanusiaan, bukan sekadar mengejar posisi dalam pemerintahan. NU harus memperbarui komitmennya terhadap pemberantasan korupsi, walau itu berarti melawan kadernya sendiri.
Bersikap kritis terhadap negara bukan berarti anti-NKRI. Justru di sinilah cinta tanah air diuji: berani menegur dan melawan ketika negara melenceng dari amanat rakyat. Jika NU benar-benar mencintai Indonesia, maka saat ini adalah waktu yang tepat untuk menyatakan perang terhadap kapitalisme predatoris, oligarki, dan korupsi.
Jargon “NKRI harga mati” tidak bisa terus diulang tanpa makna. Ia harus diterjemahkan ke dalam tindakan nyata: memperjuangkan keadilan ekonomi, memberantas korupsi tanpa pandang bulu, memperjuangkan pendidikan dan kesehatan yang terjangkau, serta memastikan bahwa setiap rupiah uang negara kembali ke rakyat.
NU harus menjadi suara rakyat yang terpinggirkan. Bukan menjadi pelayan kekuasaan, melainkan pengawal nilai dan etika bernegara. Jika tidak, maka jargon-jargon itu akan menjadi senjata makan tuan menjadi alat pembunuh makna perjuangan NU itu sendiri.
Saatnya NU memimpin kebangkitan moral bangsa. Bukan dengan retorika, tapi dengan keberanian. Bukan dengan kompromi, tapi dengan integritas. Dan bukan dengan kepentingan politik jangka pendek, tapi dengan visi jangka panjang demi masa depan Indonesia yang lebih adil, bersih, dan berdaulat.
Karena sejatinya, NKRI harga mati bukan berarti tunduk pada negara yang dikuasai oleh koruptor. Tapi justru berani melawan siapa pun yang merusak negeri ini, termasuk jika itu berasal dari dalam tubuh kita sendiri.
* Penulis adalah Direktur Moderation Corner, Jakarta.
Catatan: redaksi tidak bertanggung jawab seluruh isi dalam tulisan tersebut.
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
-
Kota Kediri Ukir Sejarah, Tembus 4 Besar Porprov Jatim 2025
-
Gubri Abdul Wahid Harap Dikha Jadi Inspirasi Pemuda Riau
-
Tinjau Pabrik Wuling, Chusnunia Dorong Peningkatan TKDN dan Hilirisasi Industri Manufaktur
-
Gubri Abdul Wahid Beri Gelar Rayyan Arkan Dikha sebagai Duta Pariwisata Riau
-
Gubernur DKI Sebut Normalisasi Kali Ciliwung Terus Dilakukan untuk Atasi Banjir