Pesantren dan Negara: Mengapa Agama Tak Boleh Dihapus dari Sistem Pendidikan?

Oleh : Khariri Makmun*
RADARBANGSA.COM - Gagasan untuk meniadakan pesantren dari sistem pendidikan nasional atau menganggapnya tidak relevan dengan kebutuhan sumber daya manusia modern adalah pandangan keliru yang bertentangan dengan realitas historis, sosiologis, dan ideologis bangsa ini. Menyingkirkan pesantren sama saja dengan menghapuskan peran agama dalam pembentukan etika bernegara.
Dalam sejarah bangsa Indonesia, agama bukan sekadar sistem kepercayaan privat, tetapi fondasi nilai yang menopang bangunan moral, sosial, dan politik negara. Para pendiri bangsa menyadari hal ini dengan sangat jelas. Soekarno dalam pidatonya mengenai Pancasila pada 1 Juni 1945 menegaskan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sila utama yang menjadi dasar bagi kehidupan bangsa yang plural. Bahkan tokoh nasionalis-sekuler seperti Bung Hatta dan Sutan Sjahrir tidak pernah memisahkan agama dari etika publik.
Dengan demikian, pendidikan agama yang dalam konteks Indonesia banyak dijalankan melalui pesantren—merupakan instrumen penting dalam membentuk karakter bangsa. Pesantren bukan hanya lembaga pendidikan tradisional, tapi juga pusat produksi nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan, kesederhanaan, gotong royong, dan semangat kebangsaan.
Pandangan yang meremehkan pesantren kerap muncul dari kalangan yang mengusung ide sekularisasi ala Barat. Tokoh sosiologi agama Max Weber misalnya, dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, menggambarkan bagaimana rasionalisasi dan etos kerja Protestan berperan dalam kemajuan ekonomi Barat. Namun, interpretasi ini kemudian disederhanakan dan dijadikan justifikasi bahwa kemajuan hanya bisa dicapai jika agama disingkirkan dari ruang publik.
Peter L. Berger dengan teorinya tentang privatisasi agama, serta Steve Bruce yang menyatakan bahwa “God is Dead” dalam dunia modern, mewakili pandangan sekular ekstrem. Mereka percaya bahwa agama akan kehilangan relevansinya dalam dunia rasional dan modern. Namun teori-teori ini justru mengalami krisis di abad ke-21.
Sosiolog seperti José Casanova dan Jürgen Habermas justru berbicara tentang era post-secular society, yakni masyarakat yang kembali menyadari pentingnya peran agama di tengah krisis moral dan sosial. Habermas yang sebelumnya dikenal sebagai filsuf rasional-sekuler bahkan menulis bahwa agama harus tetap hadir dalam ruang publik sebagai sumber nilai etis bersama.
Gagasan civil religion dari Robert N. Bellah juga memperkuat bahwa agama tetap menjadi instrumen simbolik dan moral yang menyatukan bangsa, bahkan dalam negara modern seperti Amerika Serikat. Bellah menekankan bahwa meskipun Amerika negara sekuler secara konstitusi, spirit keagamaannya justru memperkuat komitmen publik terhadap nilai-nilai demokrasi, keadilan, dan kesetaraan.
Dalam konteks Indonesia, pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu agama semata. Banyak pesantren hari ini yang sudah mengintegrasikan kurikulum umum seperti matematika, fisika, biologi, hingga teknologi informasi. Pesantren modern seperti Algebra, Cendekia Amanah, Al-Kahfi, Gontor atau Daar el-Qolam menjadi bukti bahwa integrasi ilmu agama dan sains bisa melahirkan lulusan yang kompeten secara spiritual dan profesional.
Bahkan pesantren-pesantren tradisional pun kini mulai membuka diri terhadap pembaruan pendidikan. Mereka melengkapi pengajaran kitab kuning dengan pelatihan kewirausahaan, literasi digital, keterampilan vokasional, dan penguatan bahasa asing. Ini membuktikan bahwa pesantren bukan institusi statis, tetapi sangat adaptif terhadap perkembangan zaman.
Dalam laporan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), tercatat bahwa lembaga pelatihan kerja berbasis pesantren justru memiliki keunggulan dalam membentuk etos kerja, kedisiplinan, dan komitmen moral dibanding lembaga pelatihan umum. Hal ini karena pelatihan di pesantren tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga menyentuh sisi etika kerja dan tanggung jawab sosial.
Menghapuskan pesantren atau menyingkirkan pendidikan agama atas nama efisiensi pembangunan ekonomi adalah logika yang cacat. Negara-negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, dan Jerman sekalipun masih mempertahankan pendidikan nilai dan moral sebagai bagian dari kurikulum nasional mereka. Karena pembangunan tidak cukup hanya dengan teknologi, tetapi juga memerlukan manusia yang bermoral.
Jika argumen bahwa hanya jurusan sains seperti biologi, fisika, kimia, dan matematika yang relevan dengan zaman, lalu di mana peran filsafat, etika, dan hukum dalam mengatur tata kehidupan? Apakah insinyur akan bisa merancang kebijakan publik tanpa nilai moral? Apakah dokter bisa menjalankan tugasnya tanpa etika profesi? Justru di sinilah agama berperan, menjadi jembatan antara ilmu dan nilai.
Gagasan untuk menghapus pesantren sejatinya bukan semata kritik terhadap sistem pendidikan, tapi merupakan ekspresi laten dari proyek sekularisasi gaya lama yang telah berkali-kali terbantahkan. Sejarah telah membuktikan bahwa masyarakat yang kehilangan spiritualitas justru rentan mengalami krisis makna, alienasi sosial, dan kehancuran nilai.
Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia memiliki kontribusi besar terhadap penguatan fondasi moral bangsa. Dan pesantren adalah ujung tombaknya. Tidak sedikit tokoh nasional, politisi, hingga ilmuwan yang merupakan alumnus pesantren. Mereka bukan hanya paham agama, tapi juga aktif dalam dunia politik, ekonomi, dan sosial.
Dalam survei Litbang Kompas tahun terakhir, mayoritas masyarakat masih mempercayai pesantren sebagai lembaga pendidikan moral yang kredibel. Bahkan di tengah krisis sosial dan maraknya kekerasan remaja, pesantren dianggap sebagai ruang yang aman untuk pembentukan karakter dan pengendalian diri.
Penolakan terhadap pesantren dan pendidikan agama bukan hanya serangan terhadap lembaga pendidikan itu sendiri, tetapi juga terhadap jantung moralitas bangsa. Negara tanpa agama ibarat tubuh tanpa jiwa. Ia bisa bergerak, tetapi kehilangan arah dan makna. Seperti yang dikatakan oleh Prof. Nurcholish Madjid, agama dan negara dalam konteks Indonesia ibarat dua sisi mata uang—tak terpisahkan.
Mereka yang masih berpikir bahwa agama menghambat kemajuan hanyalah mewarisi trauma kolonial dan teori sekular abad ke-19. Dunia hari ini sedang bergerak menuju spiritualisasi kembali kehidupan publik. Maka, Indonesia justru bisa tampil sebagai model negara yang mampu mengintegrasikan iman dan ilmu, agama dan kemajuan, pesantren dan pembangunan.
*Penulis adalah Pengasuh Pesantren Algebra, Ciawi, Bogor dan Direktur Moderation Corner, Jakarta.
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
-
Legislator PKB Ajak Semua Pihak Waspadai Pengibaran Bendera One Peace
-
Gus Jazil: Mental Menang, Kontributif dan Berani Kunci jadi TA/SAA Sesungguhnya
-
Sugiono Jadi Sekjen Gerindra, PKB: Kerja Sama Antar Partai Akan Semakin Solid
-
Legislator PKB Dukung Keputusan Prabowo Beri Abolisi Tom Lembong
-
Semester I 2025, Ekspor Riau Tembus US$10,14 M