Memilih Pasangan Berdasarkan Kekayaan Menurut Islam

| Kamis, 10/02/2022 14:14 WIB
Memilih Pasangan Berdasarkan Kekayaan Menurut Islam Menikah (foto:ohbulan.com)

RADARBANGSA.COM - Memilih pasangan berdasarkan kekayaan tidak menjadi syarat sah dalam pernikahan, sehingga pernikahan akan tetap sah walaupun pasangan tidak sesuai dalam hal materi. Namun, idealitas tersebut dalam islam dapat dikenal dengan istilah kafa`ah yang merupakan hak bagi seorang perempuan dan walinya.

Imam Syafi`i mempertimbangkan lima aspek dalam kafa`ah, yaitu: agama, nasab, pekerjaan, merdeka dan ketidakcatatan. Kemudian sebagian murid Imam Syafi;i menambahkan satu aspek lagi yakni kekayaan. Adapun Imam Abu Hanifah tidak menganggap aspek kitidakcacatan atau selamat dari aib pernikahan sebagai indikator kafa`ah.

وَالْكَفَاءَةُ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ فِيْ خَمْسَةٍ: اَلدِّيْنُ وَالنَّسَبُ وَالصُّنْعَةُ وَالْحُرِّيَةُ وَالْخُلُوُّ مِن الْعُيُوْبِ، وَشَرَطَ بَعْضُ أَصْحَابِهِ الْيَسَارَ، وَقَوْلُ أَبِيْ حَنِيْفَةَ كَقَوْلِ الشَّافِعِي لَكِنَّهُ لَمْ يَعْتَبِرْ الْخُلُوَّ مِنَ الْعُيُوْبِ

“Kafa`ah menurut Imam Syafi’i mencakup lima hal: agama, nasab, pekerjaan, merdeka, dan tidak memiliki aib, sebagian muridnya mensyaratkan pula kekayaan. Pendapat Imam Abu Hanifah sama seperti Imam Syafi’i, hanya saja beliau tidak mempertimbangkan aspek selamat dari aib” (Abu Abdullah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimsyaqi al-‘Utsmani as-Syafi’i, Rahmah al-Ummah fi Ikhtilafi al-Aimmah, [Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah], 1971, h. 177).

Mengutip NU ONline, di kalangan ulama Syafiiyah sendiri masih terjadi perselisihan perihal kekayaan, apakah kekayaan menjadi salah satu hal yang harus dipertimbangkan atau tidak dalam pernikahan. Pendapat yang tidak menganggapnya sebagai parameter kafa`ah menyatakan alasan bahwasanya harta kekayaan itu merupakan hal yang bisa hilang kapan saja.

وَالْاَصَحُّ أَنَّ الْيَسَارَ لَا يُعْتَبَرُ فِيْ الْكَفَاءَةِ لِاَنَّ الْمَالَ ظِلٌّ زَائِلٌ وَلَا يَفْتَخِرُ بِهِ أَهْلُ اْلمُرُوْءَاتِ وَالْبَصَائِرُ

Artinya, “dan pendapat yang paling shohih ialah kekayaan itu tidak dipertimbangkan dalam kafa`ah karena sesungguhnya harta itu umpama bayangan yang dapat hilang. Orang-orang ahli muru’ah dan orang-orang yang bijak tidak pernah berbangga dengan harta” (Syeh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fath al-Mu’in bi Syarhi Qurrati al-‘Ain [Surabaya: Nurul Huda], h. 106).

Melalui pendapat di atas, pada dasarnya kekayaan bukanlah sebuah parameter idealitas dalam pernikahan. 

Adapun pendapat lain menganggap bahwa kekayaan itu diperhitungkan dalam kafa`ah. Hal ini berhubungan dengan nafkah yang akan diberikan oleh sang suami. Jika seorang perempuan dinikahi oleh laki-laki yang miskin, maka ia akan dinafkahi dengan kadar nafkahnya orang miskin. Keadaan ini dinilai merugikan perempuan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Al Khatib asy-Syirbini sebagai berikut:

وَالثًّانِي يُعْتَبَرُ لِأَنَّهُ إِذَا كَانَ مُعْسِرًا لَمْ يُنْفِقْ عَلَى الْوَلَدِ وَتَتَضَرَّرُ هِيَ بِنَفَقَتِهِ عَلَيْهَا نَفَقَةِ الْمُعْسِرِيْنَ

Artinya, “pendapat yang kedua yaitu (kekayaan) dipertimbangkan (dalam kafa`ah). Karena apabila seorang suami itu miskin, ia tidak mampu menafkahi anaknya dan seorang istri akan dirugikan karena diberi nafkah layaknya nafkah orang miskin” (Al Khotib As-Syirbini, Al-Mughni al-Muhtaj [Beirut: Dar al-Fikr] juz 3 hal. 167).

Pendapat tersebut juga dirujuk oleh Imam Abu Bakr Syatha Muhammad Ad-Dimyati (w. 1310 H), (Lihat Abu Bakr Syatha Muhammad Ad-Dimyati as-Syafi’i, I’anatu at-Tholibin ‘ala Hilli Alfadzi Fathi Al-Muin (1997, III: 380).

Bahkan dikatakan bahwa seorang wali yang menikahkan anak perempuannya dengan laki-laki yang miskin, sehingga ia kesulitan membayar mahar, maka pernikahan yang demikian itu tidak sah.

لَوْ زَوَّجَهَا وَلِيُّهَا بِالْإِجْبَارِ بِمُعْسِرٍ بِحَالِ صَدَاقِهَا عَلَيْهِ لَمْ يَصِحَّ النِّكَاحُ كَمَا مَرَّ وَلَيْسَ مَبْنِيًّا عَلَى اِعْتِبَارِ الْيَسَارِ، كَمَا قَالَهُ اَلَّزَرْكَشِي، بَلْ لِأَنَّهُ بِخِسِّهِا حَقَّهَا، فَهُوَ كَمَا لَوْ زَوَّجَهَا مِنْ غَيْرِ كُفْءٍ

Artinya, “Jika seorang wali menikahkan anak perempuannya secara paksa dengan laki-laki yang kesulitan untuk membayar mahar perempuan tadi, maka pernikahannya tidak sah, sebagaimana yang telah disebutkan. Hal ini tidak menjadi landasan dipertimbangkannya aspek kekayaan, seperti pendapat Imam Zarkasyi. Akan tetapi pernikahan yang semacam itu seolah-olah merendahkan hak perempuan, yaitu seperti menikahkan perempuan dengan laki-laki yang tidak ideal (tidak se-kufu)” (Syamsuddin Muhammad bin Abu Al Abbas Ahmad bin Hamzah bin Syihabuddin Al-Ramli, Nihayatu al-Muhtaj ‘ala Syarh al-Minhaj [Beirut: Dar al-Fikr], 1404 H/1984 M, juz 6, h. 260).

Melalui dua penjelasan di atas, kekayaan bukanlah sesuatu yang diharuskan, namun untuk memutuskan menikah diharuskan untuk hidup berkecukupan, tidak harus kaya namun bisa menafkahi calon istri dan kelaurganya di masa depan. 

Tags : Kekayaan , Pernikahan

Berita Terkait