Understanding Before Branding; Memenangkan Politik Gagasan

| Selasa, 12/07/2022 11:22 WIB
Understanding Before Branding; Memenangkan Politik Gagasan Pemerhati politik kesejahteraan, Ahmad Rouf (foto istimewa)

Oleh: Ahmad Rouf*

“Khilafah adalah solusi” demikian juga NKRI Bersyariah dan sejenisnya, sebenarnya ialah gagasan dalam politik. Hanya saja, gagasan tersebut destruktif, bukan hanya bagi demokrasi, melainkan juga bagi eksistensi nagara bangsa seperti Indonesia. Selain tidak sejalan dengan konstitusi, gagasan-gagasan tersebut juga tidak muncul dari aktor formal politik, tetapi nonformal: ormas, aksi massa, dan sebagainya.

Di tanah air, arena politik lebih dari dua dasawarsa ini perbincangan dipenuhi dengan istilah-istilah popularitas, elektabilitas, likeabilitas, hingga ‘isi tas’: “politik kuantitatif”. Politik yang mengedepankan gagasan terkubur ambisi tujuan kekuasaan. Kealpaan politik gagasan dari institusi formal pada konteks ini, partai politik, tidak bisa disalahkan bila gagasan khilafah, NKRI Bersyariah, dan sebagainya mengemuka dipermukaan mengisi ruang-ruang politik. Kondisi demikian menjadi koreksi semua partai politik yang ada di negara kita Indonesia.

Politik gagasan adalah praktik politik yang menjadikan gagasan sebagai lokomotif, bahan percakapan politik kepada publik, sekaligus menjadi agenda utama perjuangan partai politik. Menukil Willy Aditya, politik gagasan bukan politk yang mengedepankan persamaan identitas, faktor kedekatan, atau aspek-aspek nonrasional lainnya. Politik gagasan juga tidak menjadikan kekuasaan sebagai tujuan, tetapi alat untuk meraih tujuan.

Masih menurut Willy, pada Pemilu 2014 dan 2019, sebenarnya ada fenomena yang cukup menjanjikan: para calon pemilih benar-benar kebal dari politik uang. Mereka memilih dari dan karena panggilan hati. Namun, sekali lagi, sayangnya ia bukan dipicu oleh politik gagasan, melainkan jenis praktik politik yang lain, yaitu politik identitas.

Politik Receh Vs Politik Gagasan

Seiring perkembangan teknologi, praktik politik di Indonesia pada konteks ini para politisi getol memanfaatkan media sosial. Ragam konten menjejali ruang media sosial. Sehingga tak terelakkan masyarakat terseret arus percakapan politik yang dipicu para politisi.

Situasi ini menjadikan media sosial penuh dengan isu politik. Kepala masyarakat luas sesak dengan narasi politik. Sayangnya, konten politik yang disampaikan para politisi berikut partisannya tidak semua bahkan nihil narasi gagasan.

Masih segar dalam ingatan politisi warna merah sebut saja inisialnya Ruhut Sitompul membuat gambar yang diduga menghina Anies Baswedan serta juga kebudayaan Papua. Foto yang ia sebar di media sosial, twitter membuat netizen gaduh di berbagai platform. Perilaku politisi ini memicu pro-kontra mulai cuitan tokoh-tokoh dan netizen luas. Peristiwa ini akhirnya berhasil mengangkat sedikit keributan di media sosial karena memainkan isu SARA.

Politik gagasan belum bahkan tidak mengemuka di percakapan media sosial. Kendati sudah hampir lima tahun, tak hentinya pendukung Anies tidak henti-hentinya membagikan hasil karya Anies serta membandingkan dengan Ahok. Demikian juga pendukung atau follower Ahok juga tak henti-hentinya membagikan kinerja Ahok serta membandingkannya dengan Anies Baswedan. Acapkali duel fanatisme fans ini memanaskan percakapan lini massa yang berujung saling ejek dan merendahkan. Ini tidak sehat, Bosssskuuuu!!!

Dan, tidak hanya pendukung Anies dan Ahok, pendukung Ganjar dan kontra serta nama-nama yang muncul di berbagai survei untuk perhelatan Pemilu Pilpres 2024 nanti. Fenomena comot sana-sini; potong sana-sini; kutip sana-sini pernyataan baik yang beredar di video, status dan lainnya digunakan untuk menjelekkan tokoh lain demi tokoh yang didukung.

Masing-masing pendukung membenarkan tindakannya, perilaku tersebut dilakukan untuk mempromosikan tokoh pilihannya tidak menjadi presiden ―Bila junjungannya tidak menjadi presiden, Indonesia akan kacau.

Milenial dan Politik Menuju Indonesia 2045

Komposisi penduduk atau calon pemilih pada perhelatan pemilu 2024 nanti terdiri atas kelompok usia orde baru-reformasi-milenial. Pula dengan kontestan pemilu nanti juga tiga generasi. Yang perlu diingat mayoritas pemilih adalah milenial. Dan masa depan politik Indonesia ke depan yang berperan adalah milenial saat ini.

Fenomena politik kuantitatif yang direpresentasikan dengan istilah-istilah popularitas, elektabilitas, likeabilitas, hingga ‘isi tas’, yang mengedepankan persamaan identitas, faktor kedekatan, atau aspek-aspek nonrasional lainnya yang bermuara pada narasi receh saling menjelekkan: konten yang beredar hanya memamerkan akan masa lalu tanpa masa depan. Kondisi ini kian memecah belah.

Yakinlah, milenial yang kemampuan berpikir kritis dan rasional akan enggan berpartisipasi apabila kondisi tersebut terus dipelihara. Akibat terburuknya ketika milenial sudah muak dan enggan masukk ke dunia politik. Lalu memilih golput dengan argument untuk menciptakan perdamian disbanding berpartisipasi di Pemilu 2024 yang memiliki potensi terjadi perpecahan dengan adanya konten-konten, narasi, dan praktik politik seperti yang ada saat ini. Hal ini manakala terjadi, akan mengganggu kestabilan demokrasi dan tentu akan berdampak pada praktik tata kelola pemerintah sehingga kehidupan bangsa negara menjadi terganggu.

Tidak ada cara lain untuk mengubah kondisi tersebut, yakni mengedepankan politik kualitatif, ialah politik gagasan.

Partai politik dan seluruh organ di dalamnya untuk segera menghadirkan praktik politik yang mengedepankan politik gagasan ketimpang politik kontestasi belaka yang bermuara pada tujuan kekuasaan. Kendati tupoksi partai politik adalah kekuasan, tetapi kekuasaan adalah alat untuk mencapai tujuan, yakni kesejahteraan masyarakat.

Belakangan ada warna baru di kehidupan politik, lahir sebuah buku “Mata Air Indonesia Maju; Bunga Rampai Gagasan untuk Cak Imin” sebuah terobosan praktik politik dari kelompok pendukung Cak Imin. Hemat penulis, begini semestinya para pendukung dalam mempromosikan kandidatnya: menawarkan gagasan. Dan mendistribusikan gagasan tersebut ke khalayak luas bukan politik receh yang menjelekkan tokoh lain.

*Penulis adalah pemerhati politik kesejahteraan

Tags : Politik , Pilpres , Pemilu , Cak Imin