PKB dan Cak Imin Jawaban Problem Milenial

| Sabtu, 03/02/2018 07:01 WIB
PKB dan Cak Imin Jawaban Problem Milenial Cak Imin saat diwawancarai awak media usai nonton film Wage bersama Pemuda Zaman Now di Makassar, 16 November 2017 (foto: Fahmi)

JAKARTA, RADARBANGSA.COM - Beberapa tahun terakhir ini indera pendengaran masyarakat dunia, terlebih masyarakat Indonesia diakrabkan dengan istilah ‘Milenial’. Pada acara-acara televisi, kata itu tidak jarang terungkap dari mulut presenter berita apalagi pada acara entertainment berbau gosip.

Begitu pun halnya pada media cetak kita, diksi milenial menjadi pilihan utama dalam repotasi beberapa beritanya, wabilkhusus pada rubrik yang erat kaitannya dengan ihwal generasi muda. Presenter radio pun tak mau ketinggalan memakai kata itu dalam siarannya.

Dalam beberapa referensi penulis mendapatkan informasi bahwa William Strauss dan Neil Howe sejarawan dan penulis berkebangsaan Amerika secara luas dianggap  sebagai pencetus penamaan Milenial.

Keduanya menciptakan istilah ini pada tahun 1987, di saat anak-anak yang lahir di tahun 1982 masuk pra-sekolah, dan saat itu media mulai menyebut  sebagai kelompok yang terhubung ke milenium baru di saat lulus SMA di tahun tahun 2000.

Berdasarkan penelusuran penulis pada wikipedia.org/wiki/Milenial, bahwa Milenial (juga dikenal sebagai Generasi Y) adalah kelompok  demografi setelah Generasi X (Gen-X). Tidak ada batas waktu yang pasti untuk awal dan akhir dari kelompok ini. 

Penulis  kutip dari situs itu, para ahli dan peneliti biasanya menggunakan awal 1980-an sebagai awal kelahiran kelompok ini dan pertengahan tahun 1990-an hingga awal 2000-an sebagai akhir kelahiran. Bila merujuk kesana, generasi milenial ini adalah anak-anak muda yang saat ini berusia antara 17-37 tahun.

Coba tengok generasi itu di sekitar lingkungan tempat kita tinggal. Nongkrong sepulang sekolah di suatu tempat yang dianggap keren, ngobrol ngalor ngidul sembari jari jemarinya tak henti sentuh screen gadget merupakan pemandangan serhari-hari, terlebih di perkotaan.

Cara mereka berkomunikasi antar sesama temannya menggunakan kalimat dengan istilah-istilah baru yang boleh jadi bagi orang tuanya dirasa asing. Terkoneksi internet melalui smartphone yang digenggamnya tak ayal menjadi kebutuhan pokok.

Lebih dari itu, bisa kita saksikan bahwa eksistensi sosial mereka seolah ditentukan dari jumlah follower dan like pada akun media sosialnya. Istilah #hashstag ini #hashtag itu, pray for ini dan itu, save ini dan itu merupakan gejala-gejala kekinian yang tak ada habisnya.

Lembaga riset pasar e-Marketer merilis datanya,  populasi netter (pengguna internet) di negeri ini akan mencapai 123 juta orang pada 2018 ini. Angka ini berlaku bagi orang yang mengakses internet setidaknya satu kali setiap bulan. Fakta ini mendudukkan Indonesia di peringkat ke-6 terbesar di dunia dalam hal jumlah pengguna internet.

Selanjutnya, menurut hasil riset yang dirilis Asosiasi Jasa Internet Indonesia, generasi muda dalam rentang usia 20-24 tahun dan 25-29 tahun memiliki angka penetrasi hingga lebih dari 80 persen pengguna internet di Indonesia.

Pada kategori 20-24 tahun ditemukan 22,3 juta jiwa yang setara 82 persen dari total penduduk di kelompok itu. Sedangkan pada kelompok 25-29 tahun, terdapat 24 juta pengguna internet atau setara 80 persen total jumlah jiwa. Artinya generasi milenial lagi-lagi kuasai jagat dunia maya kita.

Tiga Problem Milenial

Suka tidak suka, generasi muda atau milenial kita sering menjadi sumber pemberitaan media dan perbincangan masyarakat. Mulai dari segi pendidikan, moral & budaya, etika kerja, ketahanan mental dan penggunaan teknologi.

Fenomena itu menyiratkan banyak fakta dan mitos yang beredar tentang generasi milenial, meskipun tidak semuanya benar dan tidak sepenuhnya salah. Tak ayal, bila generasi tua sering mencibir para milenial dengan stereotype (penilaian) sebagai pemalas dan narsis.

Merujuk hasil riset Alvara Research Cen­ter tahun 2017 setidaknya ada tiga problem yang menghinggapi generasi milenial kita, antara lain: sektor pendidikan, eko­no­mi, dan ketenagakerjaan. Ketiga isu itu menjadi aras persoalan yang tak bisa dielakkan ge­ne­rasi milenial.

Dari ketiga problem itu, izinkan penulis mengurainya satu-persatu. Pertama, sektor pen­di­dikan. Meski pendidikan di level usia SMA/Sederajat sebagai domain generasi milenial sudah dicover oleh Biaya Operasional Sekolah (BOS) tetapi tidak dibarengi dengan semakin terbukanya akses pendidikan berkualitas bagi mereka.

Begitu pun halnya dengan mereka yang duduk dibangku kuliah. Meski beasiswa  Bidikmisi membantu akses pembiayaan pendidikan bagi calon mahasiswa tidak mampu secara ekonomi dan memiliki potensi akademik baik untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi, tetapi belum menjamin menjawab tantangan masa depan mereka.

Kedua, problem ekonomi. Menggejalanya prilaku hedonis, serba instan, dan mengedepankan gengsi dalam pergaulan kaum muda kita membuktikan bahwa generasi milenial cenderung menggunakan uang dari pendapatannya untuk keperluan jangka pendek.

Isu ini dihadapi gene­rasi milenial muda yang masih duduk di bangku sekolah atau kuliah. Bagai­ma­na anak-anak muda milenial ini bisa menda­patkan akses pen­di­­dikan ber­kua­litas guna men­ja­wab tan­tangan masa depan mereka yang semakin tidak mudah.

Kendatipun Menkeu Sri Mulyani optimis generasi milenial akan mampu menjadi penggerak perekonimian negeri ini, penulis kira itu parsial karena akan terkendala dengan akses permodalan yang difasilitasi negara. Tak salah bila ketimpangan ekonomi pada generasi milenial ini memunculkan problem turunan.

Ketiga, isu tenaga kerja. Disekitar tempat tinggal penulis di Kelurahan Tanah Baru Kec. Beji, Kota Depok tak sedikit kaum muda urban berusia 17 tahun dan diatasnya dengan berbagai profesi,  mulai dari pekerja bengkel, tambal ban, pedagang, pencuci mobil dan motor, tukang bangunan dan lainnya.

Fakta ini menegaskan betapa sektor tenaga kerja men­­jadi persoalan yang tak bisa dianggap remeh temeh di­­hadapi generasi milenial. Suka atau tidak, me­reka dihadapkan pada tun­tut­an skill  dan kompetensi baru untuk bisa bersaing dan survive menjalani kehidupannya.

Menghantarkan gairah generasi milenial untuk menjadi entrepreneur terhadap pelajar SMA dan ma­ha­siswa adalah keniscayaan. Yang lebih penting gairah wi­rausahawan mereka perlu di­bantu dan di­fasilitasi baik akses terhadap mo­dal, akses ter­hadap pasar, dan akses ter­hadap sumber daya manusia.

Dengan demikian, kelak mereka tidak lagi berbondong-bondong pergi ke kota dengan alasan minimnya lapangan pekerjaan di kampung. Bila mereka disadarkan, gelontoran dana desa sebenarnya membuka peluang dan akses lapangan pekerjaan baginya.

PKB & Cak Imin Jawabannya

Sebagai kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sejak tahun 2009, penulis merasakan betul suka duka menjadi aktifis partai meski tabu oleh sebagian orang karena dianggap tidak terlalu menjanjikan masa depan.

Anggapan ini sebagai akibat pemahaman umum masyarakat terhadap partai politik. Tidak sedikit orang menganggap bahwa berpolitik di partai hanya mempraktekkan adagium “tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan abadi”.

Suka tidak suka, pameo ini berefek pada minimnya minat masyarakat terlebih generasi muda untuk menjadi anggota, kader bahkan pengurus partai, PKB salah satunya. Partai tak lebih hanya rumah bagi “pengangguran intelek”.

Sebagai orang yang pernah menjadi aktifis intra dan ekstra kampus di lembaga pendidikan yang diasuh oleh KH. Moh. Ilyas Ruhiat (deklarator PKB). Penulis memiliki tanggung jawab moral meneruskan perjuanggannya.

Pada prosesnya ketika penulis menjadi aktifis PKB, semakin yakin bahwa apa yang disangkakan orang terhadap partai sungguh jauh panggang dari api, tidak sesuai dengan fakta riilnya. Sebagai generasi milenial tentu penulis merasa enjoy berpolitik di PKB.

Yang semakin meyakinkan penulis untuk ber-PKB, tidak mungkin tanpa alasan yang jelas tokoh sealim dan sehilim KH. Moh. Ilyas Ruhiat bersama Gus Dur dan kiai sepuh lainnya mendirikan PKB yang menurut kebanyakan orang sebagai “sarang” perebutan kekuasaan.

Di PKB penulis menemukan ajaran berpolitik ala kiayi dan santri yakni mencari wasilah supaya masalah menjadi maslahah, tidak lebih. Jadi bila berpolitik di PKB masih berpakem orientasi kekuasaan dengan halalkan berbagai cara artinya ia sudah ingkar pada uswah dan warisan kiayi pendirinya.

Atmospher (suasana) muda sungguh dirasakan penulis dalam ber-PKB selama ini. Selain penulis yang masuk kategori milenial, faktor H. Muhaimin Iskandar (Cak Imin) sebagai top leader PKB dan dikelilingi orang-orang muda, energik, cerdas, dan luwes tak salah bila PKB dipilih sebagai ruang ekspresi generasi milenial.

Lebih dari itu, penulis kira Cak Imin menjadi simbol atas karakteristik milenial yang plural berdasarkan wilayah dan kondisi sosial-ekonomi. Hal ini beliau praktekkan dalam mengelola PKB sehingga berdampak positif pada bertambahnya minat kaum muda masuk PKB.

Melalui akun media sosial @cakiminNOW menegaskan bahwa Cak Imin ingin menghantarkan generasi milenial pada peningkatan penggunaan dan keakraban dengan komunikasi, media, dan teknologi digital sebagai trendsetternya kini.

Atas tiga problem utama tadi, tak berlebihan kiranya bila penulis menganggap bahwa PKB dan Cak Imin adalah jawaban terhadap problem milenial kini yang tak lepas dari pengaruh peningkatan liberalisasi politik dan ekonomi.

Betapa tidak, Cak Imin menempatkan kadernya di pemerintahan Jokowi-JK sebagai eksekutor atas problem generasi milenial itu. Ada Menpora Imam Nahrawi, Menristekdikti M Nasi, Menteri Desa Eko Putro Sandjojo dan Menaker M Hanif Dhakiri yang tak henti lahirkan entrepreneur baru. Sudah ada bukti bukan!

Penulis Usep Saeful Kamal, Tenaga Ahli Anggota FPKB DPR RI, Ketua Departemen DPN Gerbang Tani, Sekretaris Garda Hijau DKN Garda Bangsa.

 

Tags : Cak Imin , Cawapres 2019 , Milenial

Berita Terkait