Lomba Cerpen Santri 2018

Takziran: Antara Gelap dan Terang

| Jum'at, 23/11/2018 18:21 WIB
Takziran: Antara Gelap dan Terang Dok Radarbangsa

Oleh: Alif Nurlailinda Lestari

RADARBANGSA.COM - “Farah, kok kamu ngelamun?”Suara mbak Lana memecah lamunanku.

“Ayo, lanjutin. Masih bayak tugas yang harus kamu selesaikan.” Pintanya.

Dengan peluh bercucuran, aku kembali menjemur pakaian keluarga ndalem. Aku selalu merasa aneh dengan hari-hari yang aku jalani sekarang. Aku merasa diawasi oleh tatapan yang seakan-akan ingin menerkamku.

***

Karena kesalahan yang aku lakukan, setiap hari aku harus menjalani takziran yang beratselama tiga bulan. Tapi aku berusaha kuat, tabah, dan berkhusnudzon kepada Allah atas segala yang telah aku lakukan. Memang hukuman yang aku jalani berbeda dengan hukuman santri yang lain. Aku harus mencuci piring, mencuci baju, nyapu, menata kitab-kitab dan sandal romo kyai. Ya, memang seperti ini takziran yang aku jalani, yaitu ngabdi di ndalem romo kyai. Bukan hanya itu, aku tidak boleh disambang oleh orang tuaku selama aku menjalani masa takziran.

 “Far, aku boleh tanya sesuatu? ” Aku kenal suara itu. Itu adalah Sarah sahabat dan teman sekamarku.

“Eh, Sarah. Bikin kaget aja. Mau tanya apa?” Sahutku sembari melipat bajuku.

“Emmm..  Aku minta maaf ya kalau aku sedikit lancang bertanya hal ini sama kamu.”

Aku berusaha menebak apa yang akan ditanyakan Sarah padaku. “Maaf Sarah, aku lagi buru-buru. Soalnya habis ini aku harus cepetan ke ndalem. Masih banyak tugas yang harus aku selesaikan.”Aku mencari alasan. Ini pasti mengenai alasan mengapa aku ditakzir seberat ini.

Tanpa berbicara panjang lebar aku bangkit dari tempatku. Tiba-tiba Sarah menghentikan langkahku. “Far, jangan menghindar. Jawab Far! Ada apa ini, kenapa kamu menghindar setiap aku menanyakan hal itu? Kamu tidak mau menceritakan bebanmu padaku? Kenapa kamu merahasiakannya? Apa kamu udah tidak menganggap aku sebagai sahabat? Jawab Farah!” rentetanpertanyaan Sarah menikam hatiku. Membawaku semakin jauh merasakan masa kelam ini.

“Apa maksud kamu? Aku tidak mengerti. Aku sudah berkali-kali bilang, bahwa aku tidak mau membahas hal ini. Kamu ngerti gak sih. Sudahlah, aku capek.” Aku pergi meninggalkan sahabatku yang tertegun mendengar perkataanku. Aku tahu, dia pasti sangat kecewa. Tapi aku harus tetap menyembunyikan hal ini.

Memang semua santri tidak ada yang tahu seberat apa kesalahan yang aku lakukan kecuali keluarga ndalem, pengurus dan orang tuaku tentang alasan mengapa aku ditakzir dengan cara seperti ini sehingga aku memakai kerudung takziran berwarna hitam dan dipindah menjadi anak ndalem. Jika saja mereka tahu, tentu mereka kaget bagaimana bisa aku melanggar peraturan pondok. Bukan hanya peraturan pondok, tetapi aturan agamaku. Aku yang dikenal pandai dalam semua pelajaran khususnya pelajaran diniyah. Aku yang akrab disapa ‘Ning Farah’ oleh sebagian temanku. Aku yang dikenal sebagai anak seorang kiai. Aku yang begitu kritis dan tegas jika ada ketidakberesan di sekitarku. Tapi kini, tidak ada kekuatan. Aku malu meski hanya untuk menengadah ke langit. Aku malu dengan kebodohan yang tidak aku sadari.

Saat itu darah mudaku penuh gejolak. Antara rasa suka yang kupupuk menjadi cinta. Sampai aku sendiri tidak bisa mengendalikannya. Ah, sosok lelaki terlintas lagi di pikiranku. Shobrun. Santri pondok putra yang seangkatan denganku. Kata-katanya yang indah dan melenakan telah membuatku lalai. Dan parahnya aku menikmatinya! Ingin rasanya aku menghapus ingatan tentang itu semua. Jangan sampai nafsu merajai hatiku kembali hingga aku terperosok untuk yang kedua kali.

Baca selengkapnya di sini

Tags : Hari Santri 2018 , Lomba Cerpen , PKB ,

Berita Terkait