Membayangkan Cara Orangtua Afi Menanamkan Warisannya

| Selasa, 30/05/2017 17:09 WIB
Membayangkan Cara Orangtua Afi Menanamkan Warisannya
Tulisannya di laman facebook yang menyoal tentang bagaimana seharusnya kita menyikapi keberagaman itu sontak menjadi trending topic dan buah bibir. Banyak yang memuji meski tak kurang pula yang mencaci. Bukan semata karena isi tulisannya. Tapi lebih dikarenakan, si penulisnya masih dikategorikan belia untuk sebuah tulisan yang dikategorikan “berat” tersebut. Tulisan kali ini, saya buat dalam bingkai hari keluarga, bukan ingin menyoal perkara isi tulisan Afi di facebook tersebut. Tapi lebih semata kepada bagaimana membayangkan sosok orangtua Afi dalam membesarkan dan menanamkan nilai-nilai kematangan dan kedewasaan dalam caranya memandang sesuatu. Sebagaimana pernah disampaikan oleh seorang Dosen Psikologi UIN Malang, Elok Halimatus Sa’diyah, bahwa remaja sebetulnya lebih mudah melakukan perilaku sehat saat dalam keadaan tanpa stres, karena ia mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapinya dan penyelesaian tersebut berimplikasi langsung pada level perilaku sehat remaja. Oleh karena itu, perilaku sehat remaja sangat dipengaruhi oleh kelekatan remaja pada orang tua, teman sebaya, dan rasa harga diri. Kelekatan yang terjalin sejak awal kehidupan antara remaja dengan orang tua dapat berpengaruh ke tahap perkembangan selanjutnya yang akan mengarahkan remaja untuk melakukan aktivitas yang dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan hidupnya. Intinya setiap kata dan tindakan yang keluar dari mulut seorang anak, tentu saja akan banyak diwarnai oleh lingkungan terdekatnya, termasuk dalam hal ini keluarga. Keluarga adalah figur utama dalam pembentukan jati diri seorang anak. Umum kita ketahui, seorang anak yang dibesarkan dengan cara yang tidak tepat lebih rentan untuk bermasalah di usia remajanya. Kembali ke soal Afi, dia adalah anak pertama dari dua bersaudara. Ayahnya bekerja sebagai penjual cilok, sedangkan ibunya menderita Glukoma dan kehilangan penglihatan total sejak setahun terakhir sehingga dia lebih banyak beraktivitas di rumah. Mereka tinggal di Desa Yosomulyo, Kecamatan Gambiran. Banyuwangi. Dengan background orangtua seperti ini tentu saja Afi tidak dibesarkan dalam kondisi serba kecukupan. Bahkan menurut orangtuanya, aktivitas Afi sama saja dengan kegiatan anak-anak seusianya. Hanya saja, Afi lebih suka berdiam diri di dalam kamar dan membaca banyak buku. Sebagai orangtua yang sederhana ia hanya bisa berpesan agar Afi mau dan senang untuk selalu membaca buku. Dengan arahan yang sederhana itu ternyata pemikiran seorang Afi bisa berkembang sedemikian pesat melampaui pemikiran anak-anak sebayanya. Dan satu kelebihan lainnya, seorang Afi mampu menuliskannya dengan sistematika dan tujuan penulisan yang baik. Tidak alay seperti teman-temannya atau tidak sok intelektual seperti kakak-kakaknya. Afi sekarang menjelma menjadi sosok yang matang, minimal secara kepribadian. Dan inilah yang dibutuhkan Indonesia, dari anak-anak seusianya. Kedewasaan dan kemandirian, dua kata yang mudah dikatakan, tapi masih sulit untuk dijalankan, oleh orangtua sekalipun. Sawitri Wulandari, S.Psi, MM, (Pengurus PP Fatayat NU)
Tags :