Mungkinkah Indonesia Kembali Bangkit?

| Jum'at, 14/07/2017 17:03 WIB
Mungkinkah Indonesia Kembali Bangkit?
Judul artikel ini diadopsi dari tulisan KH Abdurrahman Wahid, Kebangkitan Kembali Peradaban Islam: Adakah Ia? yang menjadi kata pengantar buku kumpulan karangan KH A Wahid Hasyim, Mengapa Memilih NU (1985). Dalam tulisan itu, Gus Dur mengungkapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi sebuah kebangkitan peradaban. Pada 20 Mei 2007, orang ramai memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) yang usianya sudah hampir mencapai satu abad. Namun, tahun ini peringatan itu terasa kurang bergairah, sehingga perayaan tersebut seperti hanya untuk memenuhi seremoni belaka. Mengapa peringatan Harkitnas tahun ini kurang gereget? Apakah karena masyarakat sudah bosan dengan seremoni-seremoni yang dianggap tidak memengaruhi secara langsung kebutuhan hidup mereka? Ataukah ini sebagai gejala bangsa ini telah mengalami rasa putus asa secara kolektif? Kendala untuk Bangkit Dilihat dari sejarah, sumber daya alam dan manusia, serta nilai-nilai yang dimilikinya, Indonesia merupakan bangsa yang sebenarnya sudah memenuhi syarat untuk bangkit sejak lama. Dibandingkan dengan Singapura, Vietnam, atau Malaysia, untuk menyebut beberapa contoh, modal spiritual dan material bangsa ini jauh lebih besar. Namun, mengapa kita sekarang semakin tertinggal dari bangsa-bangsa tersebut yang dulu berada jauh di belakang kita? Setidaknya ada tiga faktor utama yang menyebabkan Indonesia sering kali mengalami kendala serius untuk bangkit. Jika tidak diselesaikan, kendala ini dalam jangka panjang bisa menjadi faktor yang merusak bangsa dari dalam, sehingga peluang untuk bangkit akan jauh lebih sulit di masa depan. Pertama, sudah sejak lama bangsa ini mempunyai masalah dengan ideologinya. Sampai hari ini kita tidak bisa merumuskan suatu clear ideology. Padahal, dalam clear ideology, berbagai aspek kehidupan bangsa, termasuk sumber daya di dalamnya, bisa diikat untuk mencapai tujuan akhir bersama (Abdurrahman Wahid, dalam Dialog: Indonesia Kini dan Esok, 1980). Clear ideology berfungsi sebagai daya ikat sekaligus menjadi petunjuk arah perjalanan bangsa menghadapi berbagai tantangan dan perubahan. Bagaimana dengan Pancasila? Sebagai ideologi bangsa, harus diakui, Pancasila sampai saat ini masih belum clear. Di satu sisi, penafsiran dan rumusan-rumusan Pancasila masih dimonopoli oleh penguasa dan elite politik nasional pada umumnya, sementara rumusan dari bawah tidak muncul. Di sisi lain, setelah dimonopoli dan dimanipulasi oleh para penguasa di masa lalu, kini Pancasila justru tersingkirkan dari diskursus ideologi bangsa karena ada aspirasi yang bersifat masif dari kalangan agama untuk menjadikan agama mereka sebagai ideologi di satu pihak, dan keinginan sekelompok masyarakat untuk melakukan liberalisasi kehidupan politik dan ekonomi bangsa secara total. Tanpa bisa didapat suatu rumusan ideologi yang clear, bangsa ini akan terus mengalami degradasi dalam berbagai bidang kehidupannya. Kelihatan modern dan maju di permukaan, tetapi sangat rapuh di dalamnya, karena tidak ada arah yang jelas dan akumulasi yang dibutuhkan. Kedua, belum munculnya kepemimpinan nasional yang kuat. Kepemimpinan demikian bertugas menjaga dan mengembangkan ideologi nasional secara konsisten, dan sekaligus mengawal kelangsungan tahapan-tahapan pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan. Tugas ini mengharuskan adanya suatu pola kepemimpinan yang meletakkan proses pembangunan bangsa sebagai pekerjaan jangka panjang, sehingga capaian-capaian yang dibuat tidak sekadar memenuhi kepentingan lima tahunan. Pola kepemimpinan nasional kita tidak melembaga secara kuat karena sebagian pemimpin nasional berpikir sektoral dan untuk kepentingan jangka pendek. Jarang ada pemimpin yang menginvestasikan hidupnya untuk satu generasi ke depan, sementara dia sendiri mungkin tidak akan ikut menikmati hasil investasinya. Kebanyakan pemimpin kita sibuk membangun citra guna mempertahankan atau merebut jabatan politik. Ketiga, sebagian besar komponen bangsa ini terus dibuai oleh keyakinan palsu bahwa agama, kelompok, atau ideologi yang diikutinya akan bisa mengatur dan menyelesaikan persoalan kehidupan secara komprehensif. Ini adalah sebuah gejala yang disebut overclaim. Overclaiming menyebabkan kita kehilangan ruang bersama untuk saling berbagi dan berdialog secara sehat, menutup kemungkinan suatu pola kehidupan bersama yang bersifat saling melengkapi (komplementer). A Muhaimin Iskandar Ketua Umum DPP PKB Artikel ini pernah dimuat Kompas edisi Senin 9 Juli 2007, halaman: 36.
Tags :