FDS dan Genosida Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Masyarakat

| Sabtu, 12/08/2017 09:09 WIB
FDS dan Genosida Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Masyarakat
THOLABUL ilmi faridhotun 'ala kulli muslimin wamuslimatin minal mahdi ilaa lahdi, uthlubul ilmi walau bishshin. Artinya, menuntut ilmu itu diwajibkan atas setiap orang Islam laki-laki dan orang Islam perempuan, dari ayunan (lahir) sampai Liang lahat (akhir hayat/mati). Tuntutlah ilmu meski sampai ke negeri Cina. Belajar sepanjang hayat (long life education) tidak mengenal batasan waktu dan tempat adalah kewajiban bagi setiap Muslim sudah menjadi doktrin kami warga Nahdliyin yang mau mengikuti ajaran pewaris Nabi. Maka tidak mengherankan jika sejak awal masuknya agama Islam ke Nusantara para Ulama salafushsholih sudah mempelopori dan menginisiasi berdirinya lembaga pendidikan ala surau, langgar, padepokan, masjid, mushola dan pondok pesantren sebagai cikal bakal lembaga pendidikan karakter yang mengusung konsep pendidikan berbasis ilmu agama dan kemasyarakatan. Dalam perkembangannya setelah kehadiran negara (pemerintah NKRI) lahirlah sistem pendidikan nasional yang diselenggarakan secara formal melalui kelembagaan yang disebut Sekolah dalam berbagai tingkatan mulai dari SD sampai Perguruan Tinggi, yang sebagian besar adalah mengadopsi dan melanjutkan warisan sistem dari Barat (pemerintah kolonial) sebagaimana sistem ketatanegaraa pemerintahan yang kita anut sampai hari ini yang sudah mengalami proses pembaruan (modernisasi) sedemikian rupa. Bahkan melalui kehadiran departemen agama, secara resmi telah melembagakan terbentuknya sistem pendidikan sekolah formal berbasis agama yaitu Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA) sampai perguruan tinggi Islam (STAIN, IAIN, UIN). Sampai disini, sangat bisa dipahami bahwa negara telah hadir dalam mengembangkan sistem pendidikan yang menghargai kebutuhan dan kondisi obyektif latar belakang keberagamaan masyarakat Indonesia. Mendapatkan pendidikan adalah hak dari semua orang. Oleh karena itu, tidak dibenarkan mengkebiri salah satu unsur yang ada dalam dunia pendidikan dengan cara apapun. Ini sebagai renungan bagi kita semua terutama bagi kebijakan pemerintah, jika terdapat penyelenggara pendidikan (formal-non formal) yang kurang mampu dalam bentuk finansial maupun sarana-prasarana, alangkah baiknya mendorong dan mensupport lembaga pendidikan tersebut untuk maju, bukan malah menutup ruang gerak atau bahkan mematikannya. Kebijakan mengintegrasikan pola pendidikan karakter berbasis kearifan masyarakat ke dalam sekolah formal sebagaimana diatur dalam ketentuan paket kebijakan "Lima hari sekolah" adalah tidak mudah, sangat tidak bijaksana bahkan cenderung membahayakan jika diterapkan tanpa kematangan desain dan perencanaan. Kenapa? Secara filosofis pendidikan karakter berbasis masyarakat lebih menekankan pada aspek internalisasi serta berkembangnya khazanah keilmuan dan nilai-nilai adiluhung yang bersumber pada budaya dan tradisi yang sudah mengakar dalam masyarakat yang barang tentu sangat kaya dengan nuansa kebhinekaan. Sementara jika sudah masuk dalam bingkai kurikulum pendidikan formal akan cenderung terjadi upaya PENYERAGAMAN. Sebagaimana kita ketahui, jika sesuatu sudah diterapkan sebagai kebijakan "sah" oleh negara, maka suka tidak suka, mau tidak mau akan adanya upaya PAKSA agar kebijakan tersebut diikuti oleh semua penyelenggara pendidikan, sungguhpun bagi yang belum memiliki kesiapan. Masyarakat juga sudah tidak akan bisa berbuat apa-apa untuk mengambil jalur lain untuk sekedar mendapatkan perhatian atau "bantuan" dari pemerintah. Lebih dari itu, negara akan hadir dalam wujud hegemoni dan intervensi melalui berbagai perangkat aturan dan program yang bisa jadi benar-benar memfasilitasi dan atau sekaligus menjadi pembunuh berdarah dingin terutama bagi berbagai entitas penyelenggara pendidikan yang dianggap tidak memenuhi syarat atas nama modernisasi dengan palu-gadha andalannya regim administrasi melalui pukulan vonis akreditasi, sertifikasi, meskipun lembaga pendidikan tersebut sebelumnya sudah bisa bertahan hidup secara mandiri dalam waktu yang lama dan mampu menghasilkan anak-anak didik handal yang mampu bersaing dan berkarakter. Jika demikian yang terjadi, proses genosida terhadap lembaga-lembaga pendidikan yang dianggap tidak bisa beradaptasi dengan keadaan akan berlangsung secara sistematis, terencana dan massif, pada saat yang sama akan dianggap sebagai proses alamiah dan kelumrahan biasa sebagai residu modernisasi. Sementara itu berbicara modernisasi pendidikan sampai hari ini selalu yang digunakan adalah an sich indikator-indikator tehnokratis. Pada saat yang sama, khazanah keilmuan dan nilai-nilai luhur yang berbasis budaya dan tradisi masyarakat sering dipojokkan dengan stigma ketinggalan jaman, barang usang dan kuno. Padahal, nilai-nilai luhur seperti gotong-royong, kekeluargaan, kerukunan sebagai esensi pendidikan karakter adalah yang terbukti mampu membangun daya tahan masyarakat bangsa ini dari berbagai ancaman termasuk krisis multidimensi. Madrasah Diniyah adalah salah satu lembaga pendidikan berbasis kearifan masyarakat yang telah hadir jauh sejak Republik ini berdiri. Dirintis oleh para guru, ustadz, kiai (Ulama) mulai dalam surau, langgar, padepokan, mushola dan masjid. Mengajarkan ilmu agama mulai dari baca tulis (khususnya Al-Quran), ilmu tauhid (mengenal Tuhan), ilmu faroidh, fiqih sampai tasawuf, juga tidak ketinggalan adalah ilmu kemasyarakatan yang mencakup ajaran haqqu jarin (kehidupan bertetangga) sampai membangun kemandirian ekonomi (mu'amalah). Bahkan, ajaran dan anjuran tentang nasionalisme yang berbasis agama lahir dari rahim pendidikan surau ala madrasah diniyah. Doktrin "Hubbul wathon minal iman" adalah bukti bahwa gerakan surau mampu menggelorakan perlawanan rakyat terhadap penjajah di seluruh Nusantara. Peran tersebut terus lestari tidak lekang dimakan zaman meskipun terus mengalami proses dinamisasi. Sangat bisa dimaklumi, bahwa keberadaan madrasah diniyah selain secara fungsional dirasakan oleh masyarakat tetapi eksistensinya juga tergantung dengan dinamika politik yang berkembang, terutama menyangkut perhatian pemerintah yang selama ini masih dirasakan sangat kurang. Tetapi, setidaknya sejak masa reformasi hal tersebut sudah mulai ada peningkatan baik di level pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Namun demikian, alangkah disayangkan perkembangan baik tersebut mulai mendapatkan ancaman tatkala sebuah kementerian yang diberikan tanggungjawab untuk mengurus pendidikan di negara ini mengeluarkan kebijakan yang tidak berpihak kepada semua stakeholder pendidikan secara nasional, khususnya madrasah diniyah. Kebijakan tersebut adalah Permendikbud nomor 23 tahun 2017 yang didalamnya mengatur Paket kebijakan "Lima Hari Sekolah" atau "Full Day School". Melalui kebijakan tersebut baik secara substantif maupun operasional telah terbaca tanda-tanda akan menggusur eksistensi Madrasah diniyah. Tulisan ini dibuat dalam perjalanan tugas dari Kabupaten Banjar ke Kandangan, Ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan (Kalimantan Selatan) sebagai buah keprihatinan dan #JihadTolakFDS, tak kunjung ada tanda-tanda Presiden Jokowi akan bertindak tegas menganulir Permendikbud nomor 23 tahun 2017. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan bersama. Wallahu a'lam bishowab MOCHYIDIN HARIS Pemerhati pendidikan dan Alumni Madrasah Diniyah  
Tags :