Melihat Rohingya, Bukan Melihat Konflik Agama

| Selasa, 12/09/2017 18:35 WIB
Melihat Rohingya, Bukan Melihat Konflik Agama
JAKARTA, RADARBANGSA.COM - Tragedi kemanusiaan di Rakhine State, Myanmar yang melanda etnis Rohingya kembali menjadi perhatian dunia, tak terkecuali Indonesia. Pembunuhan, pembantaian, pengusiran serta pembakaran rumah penduduk di alami etnis yang oleh Myanmar tak diakui kewarganegaraannya. Gelombang pengungsi korban krisis kemanusiaan ini menyerbu negara-negara tertangga untuk mencari perlindungan dan bahkan ada negara yang menolak kedatangan mereka. Maka tak heran jika empati, simpati, rasa prihatin serta perhatian publik tertuju pada mereka para korban dari kejahatan kemanusiaan ini. Apalagi etnis Rohingya adalah kelompok minoritas Muslim di Myanmar yang mendapat perlakuan tak berprikemanusiaan oleh negara tempat mereka berpijak yang mayoritas beragama Budha. Biasnya di publik, tragedi kemanusiaan ini pun di giring sebagai konflik agama, antara umat Budha dan umat Islam. Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, masyarakat Indonesia mesti teliti dan selektif dalam mencerna dan menyebarkan informasi tentang krisis Rohingya. Jangan sampai kita terprovokasi oleh isu konflik agama yang diselip dalam krisis Rohingya sehingga merusak toleransi antar umat beragama di Indonesia. Rasa empati, simpati, perhatian dan prihatin terhadap para korban menjadi hal yang wajar karena prinsip kemanusiaan sebagai sesame manusia. Namun menjadi tidak wajar jika kita sebagai muslim Indonesia mengutuk, marah, dendam dan benci terhadap umat Budha karena telah menzholimi umat Islam. Tidak ada Budha vs Islam di Myanmar, tetapi konflik antara pemerintah dan etnis Rohingya. Mengutip pandangan KHR Ahmad Azaim Ibrahimy Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah, Sukorejo, Jawa Timur persoalan yang terjadi di Myanmar tidak lebih hanya perebutan wilayah kekuasaan. Penguasa Myanmar hendak merebut dan menguasai tanah dan wilayah yang dikenal makmur. Hanya saja untuk mendapatkannya, penguasa Myanmar yang kebetulan beragama Budha melakukannya dengan cara membantai penduduk Rohingya yang juga kebetulan beragama Islam. Hal yang sama juga diutarakan oleh Daniel Johan anggota DPR RI Fraksi PKB yang juga mantan Ketua Umum Pengurus Besar Hikamah Budhi, menyebut konflik di Rohingya bukan merupakan persoalan agama. Dalam agama tidak ada yang membenarkan ajaran melakukan kekerasan. Ia menyebut di dalam agama tidak ada yang mengajarkan pembunuhan. Malah di dalam agama dilarang karena dosa. Menurutnya, konflik yang terjadi dipicu sejarah saat Inggris menjajah. Saat itu, pihak penjajah memecah belah masyarakat dengan sentimen etnis. Selain itu, ia juga menilai masalah sumber daya alam juga menjadi perebutan. Sebab di jalur tersebut banyak terdapat sumber energi. Sekarang ini menjadi geopolitik ekonomi karena di tempat tersebut ada sumber energi. Ada konflik kepentingan ekonomi di balik persoalan Rohingya. Di situ ada jalur sumber energi, minyak, dan gas. Saya rasa itu yang utama di sana dan dibungkus dengan konflik agama dan dipelihara oleh militer Myanmar. Seorang pengamat politik dari Unpad, Dr. Muradi juga melihat Rohingya dari sisi politik. Menurutnya selama ini etnis Rohingya tidak mendapat hak politik yang sama. Etnis Rohingya tidak terdaftar dalam konstitusi Myanmar sebagai etnis pendiri Negara Myanmar. Ia menolak jika konflik di rakhine state, Myanmar dikatakan sebagai konflik agama karena melibatkan etnis Rohingya. Dari tiga pandangan di atas, penulis menarik benang merah bahwa tragedy kemanusiaan di Rakhine, Myanmar bukanlah disebabkan oleh konflik agama. Melihat Rohingya, bukan melihat konflik agama. Banyak motiv yang melahirkan tragedi kemanusiaan tersebut, baik motiv politik, motiv ekonomi maupun motiv etnik. Hemat penulis isu konflik agama mesti diredam karena memiliki sensitifitas tinggi yang bisa menyulut konflik yang lebih besar dan meluas. Indonesia sebagai negara dengan keberagaman agama bisa mendapat dampak buruk jika krisis Rohingya digiring ke konflik agama. Di Indonesia hidup masyarakat beragama Budha dan hidup masyarakat beragama Islam serta agama lainnya dengan kehidupan yang berdampingan dengan sikap toleran dalam bingkai kebhinekaan. Masyarakat Indonesia mesti melihat Rohingya bukan melihat konflik agama, tetapi melihat konflik politik antara etnis Rohingya dan pemerintah Myanmar tentang pemberian hak politik diakuinya sebagai warga Negara Myanmar dengan Rakhine sebagai wilayah tempat bermukimnya. Melihat Rohingya bukan melihat konflik antara agama Budha dan agama Islam tetapi melihat konflik ekonomi tentang perebutan wilayah Rakhine dengan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya (adanya jalur sumber energi, minyak dan gas). Melihat Rohingya bukan melihat konflik antara umat Budha dan Umat Islam tetapi melihat konflik etnik antara dua etnis mayoritas Burma dan etnis minoritas Rohingya. Falihin Barakat Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Sulawesi Tenggara
Tags :