The Indonesian Institute: Pemerintah Harus Merevisi Pasal Multitafsir dalam UU ITE

| Rabu, 23/06/2021 19:36 WIB
The Indonesian Institute: Pemerintah Harus Merevisi Pasal Multitafsir dalam UU ITE Ilustrasi teknologi digital. (Foto: winstarlinkcom)

RADARBANGSA.COM - Kebebasan berekspresi menjadi salah satu isu yang paling mengemuka di tengah refleksi 23 tahun Reformasi di Indonesia. Terlebih, hal ini menjadi keprihatinan bersama ketika maraknya ancaman pemidanaan terhadap beberapa aktivis demokrasi yang bersuara kritis. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang sejatinya diperuntukkan untuk melindungi warga negara di ruang digital. Namun dalam praktiknya, undang-undang tersebut rentan digunakan sebagai alat untuk mempidana seseorang.

Direktur Eksekutif, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Adinda Tenriangke Muchtar mengatakan bahwa pemerintah harus merevisi pasal multitafsir dalam UU ITE, pada acara diskusi bulanan The Indonesian Forum yang diselenggarakan TII secara daring (23/6).

Berdasarkan studi kebijakan TII yang berjudul “Mendorong dan Melindungi Kebebasan Berekspresi Warga Negara terhadap Pemerintah dalam Ruang Digital di Indonesia”, diangkat beberapa pasal yang selama ini menjadi permasalahan dalam penerapan UU ITE. Pasal-pasal yang bermasalah tersebut yaitu, Pasal 26 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2), Pasal 29, Pasal 36, Pasal 40 ayat (2a), Pasal 40 ayat (2b), Pasal 45 ayat (3), papar Adinda.

Adinda mengatakan studi TII mencoba melihat konten dan konteks implementasi UU ITE selama ini. Pasal-pasal yang bermasalah tersebut kemudian diperkeruh dengan masih lemahnya perspektif HAM dan kebebasan sipil dari sumber daya manusia yang dikerahkan untuk menegakkan UU ITE tersebut.

"Aparatur negara cenderung menjalankan hukum dalam perspektif mereka sendiri. Dalam beberapa kasus, mereka mengambil tindakan berdasarkan interpretasi mereka sendiri (subyektif). Tindakan yang dilakukan oleh aparat itu justru mengabaikan mandat dari Pasal 4 huruf E UU ITE misalnya, yang bertujuan memberi rasa aman, keadilan dan kepastian hukum," papar Adinda dalam rilisnya yang diterima redaksi, Rabu 23 Juni 2021.

Adinda mengatakan, terdapat beberapa rekomendasi kebijakan dari hasil studi TII diantaranya, yaitu pertama, perlu memperjelas perbedaan antara ekspresi dan pelanggaran hukum. Kedua, mengupayakan kolaborasi antara eksekutif dan legislatif dalam menangani persoalan pasal multitafsir dalam UU ITE. Ketiga, UU ITE harus dikembalikan ke tujuan awal pembentukannya. Keempat, mengembalikan beberapa ketentuan yang memuat sanksi pidana di dalam UU ITE ke KUHP. Kelima, terkait upaya penegakan hukum, pengarusutamaan perspektif HAM kepada penegak hukum sangat diperlukan, didukung dengan merevisi pasal multitafsir dalam UU ITE. Juga dengan mengutamakan pendekatan restorative justice, didukung dengan merevisi pasal multitafsir dalam UU ITE. Lalu, penerapan tugas dan fungsi yang jelas dari para pelaksana UU ITE.

Menyikapi temuan studi TII ini, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika, Kemenkominfo, Semuel Abrijani Pangerapan, mengapresiasi studi dan rekomendasi kebijakan TII tersebut. Semuel juga mengatakan bahwa keputusan untuk merevisi atau tidaknya UU ITE merupakan keputusan politik.

Oleh karena itu, perlu pemahaman yang sama dari berbagai pihak terkait permasalahan UU ITE ini. Semuel juga menambahkan bahwa Kominfo bersama dengan Kejaksaan dan Kepolisian juga tengah mempersiapkan SKB terkait panduan pelaksanaan UU ITE. Selain itu, Semuel juga mengatakan bahwa masalah yang terjadi dalam implementasi UU ITE ini juga banyak terjadi antara warga dengan warga.

Tags : UU ITE

Berita Terkait