Cak Imin; Politisi, Teknokrat dan Agamawan

| Selasa, 10/07/2018 19:19 WIB
Cak Imin; Politisi, Teknokrat dan Agamawan Wakil Ketua MPR RI, A Muhaimin Iskandar (dok PKB)

RADARBANGSA.COM - Cak Imin, sapaan akrab Abdul Muhaimin Iskandar, adalah tokoh dengan segudang prestasi dan sarat pengalaman. Lahir di Jombang, 24 September 1966 dengan ragam pandangan hidup yang toleran dan inklusif. Ia sangat dipengaruhi oleh tradisi pesantren.

Cak Imin adalah sedikit dari politisi yang tak hanya hadir sebagai seorang teknokrat (cendekiawan yang berkiprah dalam pemerintahan, red.), namun juga agawamawan yang mewarisi universalisme ‘ala’ Gus Dur. Hal itu tercermin dalam sejumlah langkah politiknya yang memiliki kepedulian tinggi terhadap unsur-unsur utama dari nilai kemanusiaan sehingga dia bisa dengan mudah diterima oleh siapapun dan kapanpun.

Bekal ini membuat Cak Imin mampu menyerap segala manifestasi kultural dan wawasan keilmuan dalam setiap gerak politiknya. Selain sebagai seorang santri, Cak Imin telah mampu membentuk pemikiran dan watak perjuangan politik yang menyejukkan dan mencerahkan.

Ini adalah sebuah mahkota yang sulit terbentuk dalam diri seorang politisi sekaligus intelektual muslim yang tidak berlatarbelakang pesantren.

Dalam diri Cak Imin tertanam pandangan kosmopolit tentang agama dan politik di mana tidak dipersoalkan lagi mana yang lebih unggul antara masukan Islam dan masukan lain yang datang dari manapun. Jiwa terbuka dan karakter toleran dalam pemikiran dan sikap hidup dihasilkan dari proses pendidikan panjang di pesantren dan di luar pesantren.

Cak Imin adalah pemimpin muda yang kukuh mengikuti dan melanjutkan langkah Gus Dur dalam berpolitik. Tipe pemimpin yang sabar menempuh jalan politik dari bawah, benar-benar dari bawah melalui perjuangan dan tempaan pengalaman. Meski sebagai cucu pendiri NU ia bisa saja mendapat `hak istimewa` untuk mendapatkan posisi tertentu di NU maupun politik, tapi itu tidak ditempuh Cak Imin.

Sekilas perjalanannya sejak tahun 1991, Cak Imin sudah aktif dalam berbagai kelompok studi di Jakarta. Tercatat ia pernah bekerja sebagai peneliti pada Lembaga Pendapat Umum (LPU), menjadi Kepala Litbang Tabloid Detik, dan bekerja pada Hellen Kellner Internasional.

Pada usia yang masih muda (32 tahun), Cak Imin masuk tim pendiri Partai Kebangkitan Bangsa, ikut membidani kelahiran PKB dengan menjadi anggota Tim Sembilan dan dipercaya sebagai Sekretaris Jenderal DPP PKB yang pertama, Wakil Ketua DPR RI dua periode (1999-2004 dan 2004-2009), Menakertrans 2009-2014, Wakil Ketua MPR RI 2017-2019, dan seabrek pengalaman dan prestasi lainnya.

Bukan sekadar posisi dan jabatan mentereng di Indonesia, Cak Imin juga berhasil membumikan tradisi-tradisi NU menjadi kegiatan berskala nasional, seperti gerakan Nusantara Mengaji dan Nariyahan Nusantara. Tradisi, bagi Cak Imin, adalah pondasi untuk menghubungkan masa kini dengan masa lalu, dan menjadi pangkalan pendaratan bagi masa depan yang dicita-citakan.

Hal ini menjadikan Cak Imin sebagai sosok politisi yang komplit. Ditambah pula dengan segudang gagasannya yang terangkum apik dalam banyak karyanya. Gagasan teranyarnya adalah Soedurisme yang dia cetuskan sebagai antitesa dari segala problematika yang melingkupi bangsa ini.

Soedurisme merupakan penggabungan pemikiran Soekarno tentang Nasionalisme dan Gus Dur yang mengedepankan sisi pluralitas dan humanisme global. Rekam jejak dua tokoh nasional tersebut timbul tenggelam ditengah hiruk pikuk politik identitas yang mengungkungi masyarakat. Sehingga, menjadi hal yang mungkin bilamana paradigma Soedurisme dihadirkan dalam lingkup sosio politik hari ini.

Diusianya yang kini menginjak 52 tahun, Cak Imin selalu berupaya untuk memberikan kontribusi nyata bagi peta perpolitikan nasional. Gagasan Soedurisme yang dia usung adalah ide orisinil dan tak sembarangan dicetuskan. Ada makna-makna besar dibalik gagasan itu.

Melalui gagasan itu, Cak Imin berkeinginan untuk menghidupkan kembali rasa kebangsaan yang dibalut dengan agama, kemanusiaan yang ditopang etos kerakyatan dan persatuan yang dibingkai melalui pluralitas. 

Tanpa adanya topangan semangat religiusitas dalam berbangsa, maka rakyat Indonesia akan mudah terkoyak. Dalam hal ini, agama menjadi muara segala nilai bangsa, namun tidak perlu diformalkan menjadi aturan Negara. Selain itu, relasi antar manusia tidak boleh saling menindih sebab hakikat dari kemanusiaan adalah adanya kesejajaran di dalam satu kesatuan.

Dan kini, Cak Imin mendapat mandat dan dukungan dari berbagai elemen bangsa untuk maju sebagai Calon Wakil Presiden pada Pilpres 2019 mendatang, termasuk para Kiai Sepuh dan Ulama Nusantara. Akankah dukungan tersebut buta? Tentu saja tidak.

Para Kiai Sepuh dan Ulama Nusantara serta puluhan ribu relawan tahu betul siapa Cak Imin. Kiprahnya sebagai politisi, teknokrat dan juga agamawan tak bisa dielakkan lagi oleh mereka sehingga dengan mudah memberikan dukungan kepadanya sebagai Cawapres.

Maju terus Cak Imin! Kami mendukungmu!

 

NUR KHOLIM
Ketua DKN Garda Bangsa

Tags : Cak Imin , Soedurisme , Cawapres

Berita Terkait