Hari Pangan se-Dunia; Kembali ke Jatidiri Perekonomian Indonesia

| Rabu, 16/10/2019 09:41 WIB
Hari Pangan se-Dunia; Kembali ke Jatidiri Perekonomian Indonesia Anggota DPR RI Fraksi PKB, Luluk Nur Hamidah (dok. pribadi)

Oleh: Luluk Nur Hamidah, M.Si., M.PA.,*

RADARBANGSA.COM - Semenjak Republik Indonesia berdiri hingga saat ini masalah pangan merupakan sumber masalah utama. Di satu sisi negeri ini dianugerahkan tanah yang luas dan subur serta iklim yang menunjang untuk pertanian. Namun di sisi lain jumlah penduduk yang sangat banyak juga menuntut konsumsi pangan yang besar.

Di awal kemerdekaan, pemerintahan Sukarno yang melepaskan diri dari ketergantungan ekonomi pada Belanda langsung dihadapkan dengan masalah kekurangan pangan. Di tengah kesulitan ekonomi sebagai negara yang baru merdeka dan kemiskinan rakyat yang merata, pemerintah terpaksa berhutang untuk mengimpor pangan.

Tapi Sukarno sebagai pemimpin besar berusaha membangkitkan semangat rakyat dan pemerintahnya. “Pertanian itu hidup mati sebuah bangsa dan karena itu pertanian harus dipertahankan melalui cara apapun. Karena dengan pertanianlah sebuah bangsa akan memperoleh kesejahteraan yang nyata,” tegas Sukarno.

Di masa Suharto, pembangunan Indonesia diletakkan atas dasar pertanian yang kuat. Dari Pelita I hingga Pelita V pembangunan pertanian menjadi fokus utama pemerintahan Orde Baru. Pada Pelita V swasembada pangan telah stabil dan pertanian tumbuh mantab. Suharto lalu mengalihkan pembangunannya pada sektor industri. Dari pembangunan industri ringan dan berat hingga membuat mobil nasional (Mobnas), kereta api (PT INKA), kapal laut (PT PAL) bahkan pesawat terbang (PT IPTN).

Pada era reformasi ini, semua jejak pembangunan orde baru seakan musnah. Di sektor pertanian,  impor pangan tidak terkendali. Bukan hanya beras, tetapi juga kedelai, jagung, sayur, buah, singkong sampai cabai dan bawang. Sehingga Indonesia menjadi negara pengimpor pangan terbesar kedua setelah Rusia, negara di kutub utara itu. Sedangkan di sektor industri, nyaris semua industri yang dibangun oleh Suharto telah “dimuseumkan”.  

Pada hari pangan sedunia ini sudah waktunya kita mengingat kembali usaha-usaha pembangunan pertanian yang telah dilakukan sejak awal merdeka hingga saat ini, dan mengambil pelajaran dari semua itu. Tuhan telah memberikan Indonesia infrastruktur terpenting dalam pertanian yaitu tanah yang subur dan luas, iklim tropis dengan hujan yang teratur dan sinar mataharinya yang dibutuhkan tanaman.

Bangsa ini harus sadar untuk mensyukuri nikmat Tuhan dengan cara mengembangkan pertaniannya. Baik pertanian bagi kebutuhan dalam negeri seperti beras, jagung, kedelai, sayur, buah dst, maupun perkebunan untuk kepentingan ekspor seperti sawit, karet, kopra, kakao, tembakau dst. Dengan pertanian saja sebenarnya Indonesia dapat menjadi negara yang makmur asalkan dikelola dengan baik dan benar. Apalagi bila mengembangkan industri di sektor pertanian.

Sejarahnya, sejak pra kolonial  hingga era penjajahan, penduduk di nusantara telah makmur dari pertaniannya. Lima tanaman asli Indonesia telah menjadi komoditas utama pertanian dunia selama ratusan tahun yaitu, kapur barus, cengkeh, pala, cendana dan gaharu. Berbagai catatan sejarah dunia menyebutkan kerajaan-kerajaan di nusantara waktu itu kekayaannya telah menyamai kerajaan-kerajaan di India.

Era penjajahan yang diawali oleh VOC, produk utama pertanian tersebut diperdagangkan secara monopoli. Yang kemudian membuat VOC menjadi perusahaan multinasional pertama dan terkaya di dunia pada saat itu. Di masa pemerintahan Kerajaan Belanda, pertanian semakin diintensifkan dengan aturan Sistem Tanam Paksa atau Cultuurstelsel (1830-1870). Dan berhasil menjadikan Kerajaan Belanda menjadi salah satu kerajaan terkaya di dunia waktu itu.  

Pertanian di nusantara telah memberikan bukti kekayaan kepada siapa yang mengelolanya. Sehingga sudah saatnya pemerintah untuk memfokuskan pembangunan ekonominya kepada pertanian. Kembali kepada jatidiri perekonomian bangsa yang sudah terbukti selama ratusan bahkan ribuan tahun mampu memberikan kemakmuran kepada rakyatnya.

Hanya saja celakanya saat ini kita sudah masuk ke dalam tahap pembangunan dunia yang terbaru yaitu era globalisasi dan liberalisasi, termasuk sektor pertanian. Dimana telah disepakatinya sebuah rezim perjanjian multilateral di bidang pertanian dalam kerangka WTO yaitu Agreement on Agriculture (AoA) sejak 1995 yang harus dipatuhi oleh negara-negara anggotanya, termasuk Indonesia.  AoA WTO ini mewajibkan negara anggotanya untuk membuka pasar domestiknya dengan penurunan tarif hingga nol persen bagi produk pertanian negara lain. Dan mengurangi dukungan dan subsidi pemerintah kepada petani, baik bagi pasar dalam negeri maupun untuk ekspor.

Letter of Intent (LoI) IMF yang ditandatangani oleh Suharto pada 1997 semakin memperburuk sektor pertanian. LoI IMF ini secara jelas mengarahkan kebijakkan pertanian untuk semakin pro pasar bebas dengan jalan membuka pasar dalam negeri untuk sektor pertanian dengan tarif hingga nol persen. Dengan masuknya Indonesia ke dalam Perjanjian Pertanian AoA WTO di tahun 1995 dan tunduk kepada LoI IMF  di tahun 1997 membuat terjadi proses liberalisasi pertanian yang radikal.

Menyerahkan sistem pertanian dan nasib petani kepada mekanisme pasar bebas. Siapa yang kuat dia yang menang dan siapa yang lemah dia yang kalah. Si kuat adalah perusahaan-perusahaan importir pangan dan sindikat pangan, pedagang besar, birokrat pengejar rente, para penguasa tanah besar dan perusahaan multinasional yang menguasai benih, pupuk, obat-obatan, dan mesin-mesin pertanian. Si lemah adalah mayoritas petani Indonesia dan masyarakat pedesaan.

Dalam setahun belakangan muncul perbincangan yang menarik mengenai revolusi industri 4.0 yang akan hadir di Indonesia. Sebuah proses otomatisasi dalam industri yang akan mengubah tatanan proses produksi. Dalam hal ini, revolusi industry 4.0 menggunakan internet of things, big data, dan artificial Intelligence sebagai inovasi dalam proses produksi. Tentunya hal ini juga akan berdampak pada sektor pertanian. Dimana sektor pertanian yang notabene merupakan sektor padat karya mungkin akan tergantikan dengan otomatisasi teknologi. Namun di lain sisi, dengan adanya revolusi industri akan membuat proses produksi menjadi lebih efisien. Dalam hal ini, kepentingan dari masyarakat indonesia terancam karena pertanian merupakan mata pencaharian mayoritas masyarakat Indonesia. Sehingga kepentingan petani harus di utamakan dan inovasi teknologi seharusnya bersifat mendukung bukan menggeser, dengan begitu efisiensi akan tercipta serta kebutuhan pangan akan terpenuhi. Seperti dalam kutipan lirik band Feast yaitu “padi milik rakyat”, mengartikan bahwa jati diri kita sebenarnya adalah pertanian.

*Penulis adalah Anggota DPR RI Fraksi PKB Periode 2019-2024

Tags : Luluk Nur Hamidah , PKB , Hari Pangan Nasional

Berita Terkait