Penjaminan Mutu Sertifikasi Kompetensi Jarak Jauh

| Senin, 04/05/2020 08:01 WIB
Penjaminan Mutu Sertifikasi Kompetensi Jarak Jauh Wakil Ketua BNSP, Miftakul Azis (foto istimewa)

Oleh: Miftakul Azis*

RADARBANGSA.COM - Kompetensi tenaga kerja masih menjadi salah satu isu utama ketenagakerjaan. Menurut laporan Talent Rangking 2018, tingkat daya saing tenaga kerja Indonesia masih kalah dibanding beberapa negara ASEAN. Di antara faktornya adalah kesiapan tenaga kerja (pertumbunan kuantitas dan kualitas tenaga kerja serta link and match antara pendidikan dan industri).

Maka upaya meningkatkan kualitas tenaga kerja tersebut, pemerintahan Jokowi telah melakukan berbagai inisiasi dan inovasi yang bertumpu pada pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), seperti pengembangan pendidikan vokasi, pelatihan vokasi, sistem pemagangan, dan penguatan sistem sertifikasi kompetensi kerja melalui Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).

Sertifikasi kompetensi kerja adalah proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan obyektif melalui asesmen/uji kompetensi. Asesmen menjadi bagian penting sertifikasi kompetensi karena merupakan proses penilaian kepada seseorang terhadap pemenuhan persyaratan yang ditetapkan dalam skema sertifikasi.

Sertifikasi kompetensi harus telusur kepada standar kompetensi kerja yang menjadi standar kerja industri, dalam lingkup nasional disebut Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI), yang merupakan hasil konsensus pemerintah dan industri. Namun demikian dalam sertifikasi kompetensi juga membuka ruang untuk dapat mengacu kepada standar kompetensi internasional dan standar kompetensi kerja khusus. Ketelusuran terhadap standar kompetensi kerja tersebut menjadi penjaminan mutu sertifikasi kompetensi untuk memastikan asesi (peserta sertifikasi) yang dinyatakan kompeten terbukti memiliki kompetensi sesuai dengan standar kompetensi kerja industri. Pelaksanaan sertifikasi kompetensi kerja menjadi tugas utama BNSP, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 2018 sebagai penganti PP Nomor 23 tahun 2004 tentang BNSP.

Terbitnya PP 10 Tahun 2018 salah satunya berimplikasi pada tugas dan fungsi BNSP, yang sebelumnya hanya bertugas pelaksanaan sertifikasi kompetensi kerja sekarang bertambah dengan enam fungsi yaitu (1) Pelaksanaan dan pengembangan sistem sertfikasi kompetensi kerja, (2) Pelaksanaan dan pengembangan sistem sertifikasi pendidikan dan pelatihan vokasi, (3) Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan sistem sertifikasi kompetensi kerja nasional, (4) Pengembangan pengakuan sertifikasi kompetensi kerja nasional dan internasional, (5) Pelaksanaan dan pengembangan kerja sama antar lembaga, baik nasional dan internasional di bidang sertifikasi profesi, (6) Pelaksanaan dan pengembangan sistem data dan informasi sertifikasi kompetensi kerja yang terintegrasi.

Penguatan tugas dan fungsi ini menjadi modal besar pemerintah untuk dapat melaksanakan sertifikasi kompetensi secara masif dan terjamin mutu/kualitasnya. Apalagi, di era industri 4.0, inovasi merupakan bentuk kemampuan adaptasi paling nyata dalam merespons perubahan. Demikian juga sistem sertifikasi kompetensi harus terus dikembangkan agar akses masyarakat terhadap pelayanan sertifikasi kompetensi lebih mudah dan efisien dengan tetap memastikan kualitas sertifikasi kompetensi sebagai penjaminan mutu, sebab ini merupakan prinsip dasar dan prasyarat pengakuan sertifikasi kompetensi baik oleh industri di nasional maupun internasional.

Pengembangan sistem sertifikasi kompetensi bukanlah hal aneh atau dilarang dalam sistem sertifikasi kompetensi, karena sebenarnya, merupakan pelaksanaan amanat dari PP 10 tahun 2018, terkait dengan pengembangan sistem informasi tahun 2013 BNSP yang telah menerbitkan Pedoman BNSP 508 tentang Pedoman Manajeman Sistem Informasi Sertifikasi LSP dan BNSP. Jika merujuk kepada prinsip-prinsip panduan ASEAN untuk Penjaminan Mutu dan Pengakuan Sistem Sertifikasi Kompetensi (ASEAN Guiding Principles for Quality Assurance and Recognition of Competency Certification System), yang di dalamnya dikenal salah satu prinsip perbaikan berkelanjutan (continuous improvement). Artinya, prinsip ini meniscayakan penjaminan mutu harus menggunakan strategi meningkatkan pelayanan yang seimbang dengan kebutuhan masa depan. Sedangkan dalam lingkup akreditasi kelembagaan jarak jauh pada tahun 2015 Internasional Accreditation Forum (IAF) telah menerbitkan principles on remote assesment.

Sertifikasi Kompetensi Jarak Jauh

Sertifikasi kompetensi jarak jauh merupakan pengembangan sistem sertifikasi kompetensi. Beberapa Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) terlisensi BNSP sudah mulai mengembangkan sistem ini dan semakin relevan dengan kebijakan pembatasan sosial akibat Covid-19. BNSP merespons kebijakan pembatasan sosial akibat Covid-19 dengan menerbitkan Surat Edaran Nomor 011/BNSP/2020, yang di antaranya mengatur tentang ketentuan pelaksanaan asesmen jarak jauh. Ketentuan ini diharapkan menjadi acuan LSP dalam pengembangan asesmen jarak jauh dan menjadi acuan BNSP dalam memverifikasi kesiapan sumber daya LSP untuk dapat melaksanakan sertifikasi kompetensi jarak jauh yang dilaksanakan dengan memanfaatkan teknologi. BNSP harus memastikan bahwa sertifikasi kompetensi jarak jauh yang dikembangkan oleh LSP tetap menjamin mutu sertifikasi kompetensi.

Paling tidak ada 9 hal yang harus diperhatikan dalam rangka penjaminan mutu sertifikasi kompetensi jarak jauh. Pertama, skema sertifikasi dan metode asesmen. Hal ini penting untuk dikaji karena setiap skema dimungkinkan diasesmen dengan berbagai metode asesmen, sehingga perlu dipastikan apakah dimensi kompetensi skema sertifikasi kompetensi tersebut dapat asesmen dari jarak jauh dengan semua metode asesmen yang dipakai.

Kedua, persyaratan teknis TUK, yang merupakan sumber daya sistem sertifikasi kompetensi, sehingga persyaratan teknis TUK harus sesuai dengan skema sertifikasi kompetensi dan metode asesmen yang digunakan untuk sertifikasi jarak jauh harus sudah ditetapkan.

Ketiga, verifikasi TUK menjadi kewajiban LSP untuk memastikan bahwa TUK yang akan digunakan sudah sesuai dengan persyaratan teknis yang ditetapkan dalam melakukan sertifikasi kompetensi jarak jauh. Verifikasi penting untuk dicermati mengingat verifikasi TUK dimungkinkan dilakukan dari jarak jauh dan sertifikasi kompetensi jarak jauh dimungkinkan TUK di rumah asesi.

Keempat, personil LSP harus siap dan benar-benar mampu melakukan asesmen jarak jauh, mulai dari staf, asesor kompetensi, dan personil lainnya yang akan dilibatkan. Pelaksanaan sertifikasi jarak jauh bukan sekadar ketersediaan teknologi, tapi juga keberadaan personil yang mampu dan bertanggung jawab dalam penggunaan teknologi.

Kelima, pemenuhan terhadap standar asesmen jarak jauh tidak boleh keluar dari standar asesmen, mulai dari tahapan asesmen, pemenuhan prinsip asesmen, dan aturan bukti, karena penggunaan teknologi adalah membantu penerapan metode asesmen bukan menggantikan metode asesmen.

Keenam, teknologi yang digunakan merupakan sumber daya penting yang harus diperhatikan dalam asesmen jarak jauh. Sebab kalau mencermati perencanaan pengembangan sertifikasi jarak jauh yang dikembangkan LSP masih cukup beragam dari sisi tahapan dan teknologi yang digunakan. Pada sisi tahapan pelaksanaan, ada yang sudah mulai pada tahap/proses pendaftaran sampai pengambilan keputusan sertifikasi kompetensi; tapi juga ada yang hanya menggunakan pada saat asesmen; dan ada juga yang hanya menggunakan pada metode asesmen tertentu.

Sedangkan pada sisi teknologi yang digunakan, ada yang sudah membangun sistem informasi sendiri; dan ada yang masih menggunakan terbatas pada email dan aplikasi meeting jarak jauh. Teknologi yang digunakan harus legal dan memastikan pemenuhan terhadap jaminan keamanan, karena kerahasiaan juga merupakan prinsip sertifikasi kompetensi; tidak boleh membuka ruang/kesempatan personil untuk melewati prosedur dan penyalahgunaan; harus dipastikan apakah dapat digunakan untuk semua pengumpulan dan verifikasi bukti pada setiap skema sertifikasi dan metode uji; harus dapat menjamin komunikasi interaktif antara asesor dan asesi karena untuk mendapatkan hasil asesmen yang berkualitas keduanya harus memaksimalkan partisipasinya.

Ketujuh, Kebijakan mitigasi risiko, yang dimaksudkan agar meskipun penggunaan teknologi dan jarigan internet sudah disiapkan sesuai prosedur, namun demikian jika dalam proses sertifikasi kompetensi terjadi masalah, maka perlu dibuat kebijakan agar ada acuan bersama.

Kedelapan, prosedur banding yang merupakan hak asesi, apakah masih dilakukan dengan cara prosedur yang sudah ada sebelumnya atau dapat dilakukan jarak jauh sehingga diperlukan prosedur banding jarak jauh.

Kesembilan, SOP sertifikasi kompetensi jarak jauh akan dapat mengambarkan prosedur pelaksanaan asesmen jarak jauh, dan kepastian pemenuhan terhadap delapan poin/hal sebelumnya apakah sudah ditetarapkan dalam SOP sertifikasi kompetensi jarak jauh atau justru belum.

Yang pasti, pemanfaatan teknologi dalam pengembangan sertifikasi jarak jauh menjadi perhatian utama bagi BNSP. Meski dalam praktiknya, saya amati, secepat apapun perkembangan teknologi, juga tetap memiliki keterbatasan. Contoh dalam asesmen, saat ini mungkin belum semua pengamatan langsung pada saat demontrasi asesi dapat dilakukan jarak jauh karena keterbatasan teknologi yang digunakan/kemampuan personil yang menggunakan atau juga karena skema sertifikasi tersebut belum mungkin diasesmen jarak jauh.

Namun demikian, perkembangan teknologi adalah hal yang pasti dan terus berjalan. Kita harus terus meningkatkan kompetensi dan mampu berkolaborasi dengan perkembangan teknologi tersebut, sehingga dalam sistem sertifikasi kompetensi, teknologi dapat mempermudah masyarakat mendapat akses terhadap sertifikasi, bukan sebaliknya menjadi ekslusif dan alat memonopoli, dan di atas semua itu penjaminan mutu sertifikasi kompetensi adalah hal yang sangat penting dalam ekosistem sertifikasi kompetensi. Semoga.

*Penulis adalah Wakil Ketua Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP)

Tags : BNSP , Sertifikasi Profesi , Asesmen , Vokasi , Tenaga Kerja , Sertifikasi Kompetensi

Berita Terkait